Website counter

Sunday, June 21, 2015

SELAMAT JALAN, PAPA


    
     Innalillahi wa inna ilaihi rojiun...... wajah papa tenang, napasnya perlahan lembut.... lembut... sekali, aku bahkan tak mengetahui kapan itu terjadi. Aku terus berbisik di telinganya, sampai aku mendengar isak tertahan mama dan Ois di belakangku. Papa baru saja kembali menghadap Khaliknya. Begitu pasrah, ikhlas terpatri lekat di wajahnya. Terimalah papa ya Allah, sayangilah dia seperti dia menyayangi kami.....
     Baru kemarin aku meninggalkan kota ini, tapi hari ini pesawat telah membawaku kembali. Sejak kemarin sebelum berangkat, aku merasa sangat berat untuk pergi. Pada semuanya, kutitipkan pesan agar segera menghubungiku bila terjadi apa-apa dengan papa. Perasaanku benar-benar tidak ingin memesan tiket lanjutan, aku justru malah menanyakan jadwal keberangkatan pesawat untuk kembali ke Gorontalo. Benar saja, baru beberapa jam berada di Makassar, Nang telah menelponku memberitahukan keadaan papa.
   
      Kira-kira pukul dua belas siang itu aku sampai, segera aku menuju kamarnya. Papa sudah tidak sadar, dadanya turun naik. Aku mencium pipinya seperti yang selalu kulakukan bila datang. Namun kali ini dia tidak sadar, tidak bergerak sama sekali. Kudekatkan mulutku di telinganya, lalu mulai membacakan Surah Yasin. Aku pindah ke atas tempat tidur di sebelah kiri papa, aku mulai membaca doa iftitah, "Kuhadapkan mukaku ke hadirat yang menjadikan langit dan bumi dengan tunduk dan menyerahkan diri. Aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Sesungguhnya shalatku, ibadahku dan matiku hanyalah untuk Tuhan semesta alam......". Kuulang-ulang doa itu, meskipun aku sama sekali tak punya referensi bahwa doa iftitah bisa digunakan untuk orang yang sedang menjelang ajal. Bagiku doa itu sangat indah dan aku yakin bagi papa juga. Bahu papa bergerak-gerak, satu dua kali terlihat papa menelan ludah. Aku memanggil Ning yang baru datang, kami berdua membacakan syahadat dan istigfar. Telunjuk papa terangkat seperti orang yang sedang shalat, wajahnya cerah dan bahagia.
     Papa telah menunaikan semua tugasnya sebagai insan, papa telah mempersiapkan hari ini sejak lama. Beberapa hari yang lalu, jauh di lubuk hatiku masih ingin melihatnya ada, bagaimanapun keadaannya. Namun hari ini kusadari semua telah tertulis. Sang Pemilik hidup ingin mengambilnya kembali. Bukan kesedihan karena ditinggal papa yang menyebabkan air mata ini jatuh. Bagaimanapun kami telah memiliki hidup masing-masing. Papa telah memberi bekal yang sangat banyak untuk survive menjalani hidup ini. Kesedihan ini karena begitu banyak kenangan yang tak mungkin dapat kulupakan seumur hidupku.
     Pribadi yang keras dengan prinsipnya, sangat berani, tapi sangat penyayang dan sangat peduli terhadap sesama. Setelah papa tiada, orang-orang yang mengenalnya mengakui kehilangan pribadi yang sebenarnya dirindukan. Di tengah kehidupan materialistis dan mengenyampingkan nilai-nilai moral, papa adalah segelintir orang yang justru menekankan moral pada kami anak-anaknya.
     Bersama papa kami hidup sederhana, namun papa melebihkannya dalam bidang pendidikan dan moral, meski untuk itu papa harus mencari tambahan lain selain penghasilannya sebagai PNS. (Baca juga : Everlast ). Papa akan sangat keras dan tak ada orang yang mampu menghalanginya bila sudah menyangkut soal moral. Papa memberi teladan pada kami bagaimana menyelesaikan berbagai masalah tanpa mesti mengingkari nilai-nilai moral.
     Secara fisik papa telah tiada, tetapi kehadirannya dapat aku rasakan dalam setiap denyut nadiku. Apa yang telah papa ajarkan, apa yang telah papa perjuangkan akan kami bawa sebagai pedoman dalam hidup kami. Selamat jalan, papa......... 11 Juni 2011.

No comments: