Website counter

Monday, April 20, 2020

PANDEMI COVID 19 DALAM PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO DI RUMAH SAKIT



Sejak diumumkan kasus Covid-19 pertama pada tanggal 2 Maret 2020, jumlah pasien terkonfirmasi Covid-19 semakin bertambah. Dari laporan resmi Pemerintah,  hingga hari ini, jumat 17 April 2020, jumlah pasien Covid-19 telah mencapai 5.923 kasus. Sebanyak 4.796 kasus dalam perawatan, 607 kasus dinyatakan sembuh dan 520 kasus meninggal.

Sifat penularannya yang masif, pola penyebaran yang luas dan berjalan dengan cepat, merupakan kendala bagi pengendalian virus ini. Berbeda dengan infeksi virus pada umumnya, covid-19 menginfeksi lebih berat dan kritis. Inilah yang menyebabkan mortalitas karena covid-19 jauh lebih tinggi dibanding kasus infeksi virus lainnya.

Penyebaran virus umumnya terjadi antar manusia melalui cairan/droplet yang keluar pada saat batuk, bersin bahkan saat berbicara normal dari orang yang telah terinfeksi. Cairan yang mengandung virus corona dapat menempel pada tubuh atau benda yang kemudian terhirup masuk ke saluran pernapasan orang yang sehat. Oleh sebab itu upaya preventif dilakukan dengan menjaga jarak antar manusia, 1 - 2 meter.  Lockdown adalah salah satu cara yang mampu menahan penyebaran virus ini.

Lonjakan kasus menunjukkan ancaman pandemi menjadi sangat nyata. Peningkatan jumlah kasus setiap hari yang masuk ke rumah sakit rujukan Covid-19 merupakan ancaman risiko yang serius bagi keberlangsungan rumah sakit. Kesiapan rumah sakit menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan.Kesiapan bangunan/ruangan, kesiapan tenaga, kesiapan fasilitas, hingga kesiapan sistem dan prosedur kerja di dalam rumah sakit. Kesiapan ini sangat penting untuk dikelola, sebelum kasus covid-19 menghancurkan semua pertahanan rumah sakit.

Beberapa rumah sakit saat ini tengah berkejaran dengan waktu untuk menambah kapasitas ruangan isolasi, akibat peningkatan jumlah pasien covid-19 yang harus dirawat. Rumah sakit lain kekurangan tenaga dokter dan perawat akibat puluhan tenaga kesehatannya harus menjalani isolasi sejak terkonfirmasi  positif covid-19. Dan teriakan minimnya APD kompak bergema dari semua rumah sakit dan tenaga kesehatan se Nusantara.

Situasi ini menuntut rumah sakit menerapkan 'manajemen risiko' untuk pandemi covid-19 ini. Dengan memperhatikan sifat dan karakteristik virus ini, maka penting bagi rumah sakit untuk menerapkan 'Kewaspadaan Isolasi' yang terdiri dari Kewaspadaan Standar dan Kewaspadaan Berbasis Transmisi.

Kewaspadaan Standar harus diterapkan secara rutin bagi seluruh pasien, yang terdiagnosis infeksi (confirm), diduga terinfeksi (suspect) ataupun kolonisasi (quarantine).Sedangkan Kewaspadaan Berbasis Transmisi ada 3 jenis, Kewaspadaan transmisi kontak, Kewaspadaan transmisi percikan (droplet) dan Kewaspadaan transmisi udara (airborne). Ketiga kewaspadaan berbasis transmisi ini seharusnya bisa dipergunakan untuk mempengaruhi cara dan kebijakan rumah sakit rujukan covid-19 dalam memberikan pelayanan kesehatan.

Dalam Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS), "Manajemen Risiko" merupakan standar penting yang dibicarakan dalam Kelompok Standar Manajemen Rumah Sakit. Manajemen Risiko adalah upaya yang logis dan sistematis dalam pengendalian risiko. Jadi seharusnyalah dalam menghadapi Pandemi Covid-19 ini, manajemen rumah sakit lebih difokusnya pada pengelolaan bahaya dan risiko dengan menerapkan 'manajemen risiko' yang benar. Pengaturan pelayanan berdasarkan manajemen risiko dengan mempertimbangan semua hazard dan risk yang dihadapi, baik oleh Petugas Rumah sakit, pasien dan keluarganya maupun masyarakat pada umumnya.

Sebagai Fasilitas Pelayanan kesehatan, ancaman Pandemi Covid-19 ini merupakan bahaya potensial biologis bagi rumah sakit. Semua petugas rumah sakit memiliki peluang mengalami dampak pada keselamatan dan kesehatan sebagai akibat adanya pajanan potensi bahaya biologis dari Covid-19.

Probabilitas dan konsekuensi merupakan hal yang perlu dipertimbangkan dengan mengingat sifat Covid-19 dalam menginfeksi tubuh manusia, adanya Orang Tanpa Gejala (OTG), skrining pasien yang kurang akurat, kebohongan pasien, Alat Pelindung Diri (APD) yang kurang memadai, pengetahuan dan pengalaman Petugas, sistem dan prosedur kerja, serta kesiapan sarana dan prasarana rumah sakit dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini.

Menilai tingkat risiko adalah aktivitas yang penting dari penerapan manajemen risiko. Apakah risiko terpapar bahaya covid-19 dapat diterima (acceptable) atau tidak dapat diterima (unacceptable). Biasanya potensi bahaya biologis di rumah sakit unacceptable, maka rumah sakit memiliki pilihan untuk mengelola risiko. Meniadakan, meminimalisir atau mengendalikan bahaya Covid-19.

Sebagai Fasilitas Pelayanan Kesehatan, rumah sakit tidak mungkin meniadakan bahaya Covid-19. Bahaya itu akan tetap mendatangi rumah sakit sebagai fasilitas pelayanan publik di bidang kesehatan. Tetapi rumah sakit bisa meminimalisir bahaya itu dengan memperhatikan penerapan kewaspadaan standar dan kewaspadaan berbasis transmisi, untuk meminimalisir paparan penularan dari Covid-19.

Bagi semua petugas rumah sakit, penerapan kewaspadaan standar biasanya menjadi pembelajaran rutin dan diwajibkan dilaksanakan sebagai bagian dari membangun budaya kerja yang selamat dan sehat. Kaitannya dengan situasi Pandemi Covid-19 saat ini, Kewaspadaan Standar harus diterapkan secara rutin bagi seluruh pasien, yang terdiagnosis infeksi (confirm), diduga terinfeksi (suspect) ataupun kolonisasi (quarantine).

Sedangkan Kewaspadaan Berbasis Transmisi ada 3 jenis, Kewaspadaan transmisi kontak, Kewaspadaan transmisi percikan (droplet) dan Kewaspadaan transmisi udara (airborne). Ketiga kewaspadaan berbasis transmisi ini seharusnya bisa dipergunakan untuk mempengaruhi cara dan kebijakan rumah sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan, terutama pelayanan penyakit infeksi yang berpotensi menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat.






Thursday, April 16, 2020

PRAKTIK KEDOKTERAN GIGI DALAM PUSARAN PANDEMI COVID 19

Sampai saat ini sudah puluhan tenaga kesehatan yang gugur dalam menunaikan tugas mereka. Profesi yang menjadi garda terdepan menerima risiko paparan virus berbahaya ini. Bukan hanya karena tugas melayani pasien yang terinfeksi COVID 19, namun lebih dari itu karena tugas utama tenaga kesehatan adalah memberikan pelayanan kesehatan.

Salah satu profesi tenaga kesehatan yang cukup menarik perhatian di antara korban yang gugur dalam pandemi COVID 19 ini adalah dokter gigi. Sebagian besar dokter gigi tidak bertugas merawat pasien yang terinfeksi COVID 19. Dokter gigi bertugas melayani pasien dengan keluhan penyakit gigi dan mulut di instalasi rawat jalan Rumah Sakit atau di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama seperti Puskesmas, Klinik maupun praktik pribadi.

Sebagaimana yang diumumkan langsung oleh Ketua Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI) pada hari minggu tanggal 5 April 2020, sebanyak 6 orang dokter gigi meninggal dunia akibat terinfeksi COVID 19.

Diketahui berdasarkan penelitian, COVID 19 menular melalui kontak erat dengan penderita dan atau melalui droplet penderita. Penularan COVID 19 dapat menyebar dari orang ke orang melalui percikan dari hidung atau mulut orang yang telah terinfeksi COVID 19. Percikan itu terjadi bila penderita batuk atau bersin, bahkan bisa terjadi ketika sedang berbicara secara normal. Oleh karena itu dianjurkan untuk selalu menjaga jarak minimal 1 meter.

Dalam perkembangannya, Kementerian Kesehatan mengemukakan satu kelompok baru yang perlu diwaspadai selain  Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan Pasien dalam Pengawasan (PDP). Kelompok baru itu disebut sebagai Orang Tanpa Gejala (OTG). OTG adalah seseorang yang tidak bergejala tapi berisiko telah tertular virus corona dari penderita COVID 19. OTG dapat menularkan virus corona walaupun orang tersebut tidak menunjukkan gejala. Pada OTG prosedur skrining standar yang dilakukan di Puskesmas, klinik ataupun Rumah Sakit tentu saja tidak akan terdeteksi.

Pekerjaan dokter gigi yang notabene berjarak yang hanya beberapa centimeter dari pasien dengan pemeriksaan yang justru mengharuskan pasien membuka mulutnya, merupakan tantangan praktek kedokteran gigi pada pandemi COVID 19 saat ini. Dokter gigi bukan saja berisiko terinfeksi dari pasien, tetapi juga dapat menjadi sebab penyebaran dan penularan COVID 19.

Prinsip Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam melihat bahaya dan risiko, meniadakan bahaya adalah hal pertama yang harus dilakukan, kemudian bila meniadakan tidak bisa dilakukan maka bahaya diminimalisir, bila kedua hal itu tidak bisa kita lakukan maka upaya terakhir yang bisa dilakukan adalah mengendalikan bahaya. Pada pelayanan kesehatan, potensi bahaya/hazard dari pasien yang datang berkunjung di fasilitas pelayanan kesehatan tentu saja tidak bisa ditiadakan.Yang bisa dilakukan adalah meminimalisir atau mengendalikannya.

Pada kondisi dan situasi pandemi COVID 19 seperti saat ini, semua pasien sudah bisa digolongan bahaya (hazard), oleh karena adanya kelompok OTG. Berbagai upaya dilakukan untuk meminimalisir bahaya. Fasilitas kesehatan menyediakan pelayanan skrining kepada semua pasien sebelum dilakukan pemeriksaan. Tetapi dengan adanya kelompok OTG, hasil skrining tentu tidak sepenuhnya menjamin bahwa pasien tidak akan memaparkan COVID 19. Upaya lain yang dilakukan dengan mewajibkan semua pasien menggunakan masker, bila tidak pasien tidak akan dilayani. Cara ini mungkin bisa diterapkan oleh dokter gigi bila pemeriksaan hanya dalam bentuk anamese, dengan jarak minimal 1 meter dari pasien. Tapi apakah cara ini sesuai dengan Standar Operasional Prosedur pemeriksaan penyakit gigi dan mulut ?.

Cara yang terakhir dari prinsip K3 dalam mengelola bahaya adalah mengendalikan bahaya. Pada semua prosedur pelayanan kesehatan, pengendalian bahaya merupakan prosedur rutin sehari-hari. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) adalah kewajiban bagi tenaga kesehatan maupun non kesehatan yang bekerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Pada situasi normal, dokter gigi dianggap cukup menggunakan APD standar seperti masker bedah dan sarung tangan (handskun). Pada beberapa tindakan pelayanan, dokter gigi juga menggunakan pelindung wajah (face shield) dan celemek (apron). Meskipun potensi bahaya biologis pada dokter gigi, sudah ada sejak sejarah pelayanan gigi dan mulut berdiri, semua potensi bahaya itu belum cukup bila dibandingkan dengan potensi bahaya yang ditimbulkan oleh COVID 19. Transmisi penularan serta sifat virus yang agresif menjadikan proses pengendalian bahaya menjadi tidak biasa.

Pada situasi pandemi COVID 19 saat ini, sesuai dengan Rekomendasi yang dikeluarkan oleh Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Dokter Gigi dan Perawat Gigi menggunakan APD level 3 untuk menangani pasien selama periode COVID 19. APD level 3 digunakan pada ruang prosedur dan tindakan kedokteran gigi pada pasien asimtomatik/suspek atau terkonfirmasi COVID 19. Juga digunakan pada tindakan kedokteran gigi yang menimbulkan penyebaran droplet atau aerosol.

Sejak ditetapkan sebagai pandemi pada tanggal 11 Maret 2020 dan kemudian Indonesia menetapkan COVID 19 sebagai bencana nasional pada tanggal 14 Maret 2020, kasus COVIT 19 di Indonesia meningkat setiap hari. Kebutuhan APD juga ikut meningkat tajam, harga APD melambung dan tak mampu dikendalikan. Kelangkaan APD menjadi masalah utama di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan.

Atas nama tugas dan kewajiban, atas nama sumpah yang telah terikrar, ataupun atas nama perjanjian kerja dengan perusahaan/badan/dsb, maka dokter gigipun tetap menjalankan tugasnya seperti biasa dengan menggunakan APD yang tersedia. Menggunakan APD level 1, level 2, ataupun level 3 tergantung dari persediaan dan kemampuan masing-masing fasilitas pelayanan kesehatan. Belum lagi jika harus mempertimbangkan standar waktu penggantian APD. Apakah APD bisa digunakan berkali-kali untuk beberapa pasien atau hanya sekali pakai ?

Dokter gigi bukan hanya rentan terinfeksi dari pasien, namun dokter gigi juga sangat mungkin untuk menjadi sumber dari penularan. Pelayanan kesehatan yang tidak membutuhkan waktu yang lama, tidak seperti pelayanan pasien di Instalasi Rawat Darurat atau Instalasi Rawat Inap, bukan tidak mungkin menjadi pertimbangan bahwa APD sekali pakai bisa dipakai untuk beberapa pasien bahkan beberapa hari. Di sisi lain yang seringkali diabaikan bahwa syarat COVID 19 untuk menginfeksi, hanya membutuhkan kontak dalam jarak dekat dan atau percikan droplet. Dan kedua syarat itu sangat dekat dengan aktifitas dokter gigi dalam memberikan pelayanan kesehatan.