Kami sekeluarga pasti mengingat dengan jelas peristiwa ini. Tetapi Ois adikku, menceritakan kembali padaku detailnya. Sebagai satu-satunya anak lelaki, ia mengingat dengan baik petualangan kami bersama papa, terutama yang menyangkut tehnik otomotif yang kurang kupahami. Bahkan ia pernah mencoba apa yang pernah dilakukan papa, namun ia mengakui tidak seberani papa.
Manado -Gorontalo masih terletak dalam satu daratan, namun transportasi saat itu belum senyaman kini. Perjalanan yang umum dilakukan biasanya lewat kapal laut ataupun dengan pesawat kecil yang berbaling-baling. Sampai saat inipun pesawat antar Manado Gorontalo masih menggunakan pesawat baling-baling, padahal pesawat berbadan besar telah lama mendarat di bandara Jalaluddin Gorontalo. Hal ini mungkin karena transportasi darat telah menjadi perjalanan yang menyenangkan, sehingga banyak orang yang lebih memilih melewati daratan. Bagi orang yang memerlukan waktu cepat untuk sampai ke tujuan, sebaiknya memilih pesawat, hanya membutuhkan waktu tiga puluh menit sudah tiba. Bila memilih mobil, bisa memakan waktu delapan jam.
Waktu itu aku baru lulus SMP, kami akan menikmati liburan panjang. Papa memutuskan kami akan berlibur ke Gorontalo dan melakukan perjalanan darat dari Manado ke Gorontalo. Saat itu jalan darat antar kedua kota itu baru mulai di aspal, banyak sungai yang belum memiliki jembatan.
Papa mempersiapkan segala sesuatu untuk perjalanan yang jauh itu, kurang lebih jaraknya empat ratus dua puluh lima kilometer. Beberapa hari sebelum berangkat, papa berkutat dalam garasi mengutak-atik mobil yang akan digunakan mendarat. Ban cadangan dan segala macam perkakas mobil telah siap. Papa kemudian mengajak kami berempat ke toko pakaian. Papa membelikan kami kaos dan celana panjang jeans yang keren bila dipakai bertualang. Aku yang baru lulus SMP, rasanya seperti sudah gadis dewasa. Aku, Nang, Ois dan Ning tampak bagai koboi-koboi muda yang siap naik kuda.
Mobil hardtopberwarna krem itu menjadi tunggangan kami sekeluarga menuju Gorontalo. Papa mengemudikannya sendiri, tanpa sopir cadangan. Selain kami berenam, papa mengajak Om Panja dan Mama Ade, kakak-kakak papa serta Un salah seorang anak laki-laki Mama Ade, yang seumurku. Berjejal kami di dalam mobil itu, namun perjalanan terasa riang gembira. Banyak kelucuan yang terjadi sepanjang perjalanan yang sangat panjang itu. Koper-koper yang berisi pakaian diletakkan di atas kap mobil. Perjalanan dimulai pukul tiga pagi dari rumah kami di Manado.
Ketika fajar mulai nampak di ufuk timur, keindahan alam Sulawesi Utara, mulai memamerkan kecantikannya. Kami menikmati pemandangan pedesaan Minahasa yang indah. Melewati daerah-daerah perkebunan yang asri dan sejuk. Sepanjang jalan kami melihat petani yang menggunakan pakaian berlapis-lapis untuk melindungi tubuhnya dari suhu desa yang dingin. Topi yang lebar menutupi wajah mereka yang ranum kemerah-merahan. Melewati perkebunan sayuran yang tumbuh subur dengan tanah hitam yang gembur terpelihara. Melewati deretan pohon-pohon cengkeh yang berjejer rapi. Harumnya bunga-bunga cengkeh, membuat cuping hidung kami kembang kempis, penasaran ingin menghirup baunya lebih lama lagi.
Papa mengemudikan mobil dengan santai, sehingga kami dapat menikmati setiap detik kemewahan alami yang diberikan Tuhan kepada mahluknya. Mobil berjalan meliuk-liuk diantara pegunungan dan jurang-jurang. Sampai di Kawangkoan hari masih pagi, pasar belum ramai, hanya ada beberapa penjual yang baru membuka dagangannya di emperan toko. Papa memarkir mobilnya, kami turun dan mulai memilih-milih camilan yang bisa dimakan sepanjang perjalanan. ‘Kacang tore kawangkoan’ merupakan camilan yang wajib dibeli. Meskipun banyak kacang di berbagai daerah, tetapi kacang tore kawangkoaan adalah kacang terbaik kegemaran kami.
Papa kemudian memanggil kami, untuk melanjutkan perjalanan. Ketika naik kembali ke dalam mobil, rasanya semakin sesak. Camilan yang dibeli dan diisi dalam tas-tas plastik, mengambil ruangan yang tersisa di dalam mobil.
Om Panja berteriak panik, “Awas, jeruk…..jeruk…..jeruk…..LEMOOOON………….!!!”. Ceprooot……., jeruk manis yang baru dibelinya diinjak Un. Om Panja mengibas-ngibaskan tangannya, memukul kaki Un. “Tidak mengerti, jeruk itu sama dengan lemon”, ujar Om Panja merengut kesal. Kami tertawa geli melihat lemon manis atau jeruk manisnya bonyok diinjak Un. Di Manado semua jenis jeruk sering kami sebut lemon, entah itu lemon manis, lemon cui, lemon nipis dan lemon-lemon yang lain. Tentu saja Un sudah lupa pelajaran bahasa Indonesia, sekarang kan lagi liburan hi...hi...hi....
Tiba di jalan pertigaan, papa membelokkan mobil ke kanan, kemudian memasuki sebuah jembatan yang panjang, papa berkata, “Ini perbatasan Kabupaten Minahasa dan Kabupaten Bolaang Mongondow”. Adik-adikku sudah tertidur dengan tubuh bergoyang-goyang mengikuti larinya mobil yang berlari bagai burung Kasuari. Aku masih mengunyah-ngunyah ‘halua’, yaitu camilan yang terbuat dari kacang tanah dan gula merah, manis rasanya.
Hari sudah gelap ketika kami tiba di sebuah sungai yang sangat lebar, mungkin lebarnya ada seratus meter. Papa berkata, “Sekarang kita akan naik ponton melewati sungai ini”. Aku tidak mengerti apa itu ponton, jadi aku langsung bertanya pada papa. Papa kemudian menjelaskan, “Ponton itu seperti rakit yang lebar, mobil akan di naikkan ke ponton agar bisa menyeberang. Sungai ini belum ada jembatan”.
Deretan mobil berjejer sepanjang jalan, papa heran dengan banyaknya mobil, “Mungkin mobil antri naik ponton, kan ini musim liburan”, ujar papa. Setelah memperhatikan lebih seksama, ternyata mobil-mobil yang di depan tidak ada penumpangnya. Papa kemudian turun dan bertanya pada beberapa orang yang berdiri di pinggir jalan.
“Air sedang pasang besar”, kata papa begitu membuka pintu dan naik lagi ke dalam mobil. Beberapa saat kemudian, beberapa orang menghampiri mobil kami. Mereka berbincang-bincang dengan papa. Air sungai sedang pasang besar, istilah penduduk sekitar, air sedang guih. Tidak ada ponton yang berani menyeberang, karena takut akan terseret arus sungai yang deras. Sungai itu juga banyak buaya, kata mereka. Kami yang mendengarnya bergidik. Air mungkin akan turun besok atau bahkan bisa beberapa hari lagi.
Mendengar penjelasan itu, papa turun dan memantau langsung ke tepi sungai itu. Beberapa saat kemudian papa kembali menghampiri mobil kami. “Tutup rapat semua jendela”, kata papa sambil melongok ke dalam mobil. “Kita akan menyeberang”. Papa memeriksa keadaan mobil. Semua barang di kap mobil dimasukkan ke dalam mobil, di atas pangkuan kami.
Papa kemudian naik ke dalam mobil, “Bismilahirrahmanirrahim…..”, kata papa sebelum menghidupkan mesin mobil. Meskipun kami semua khawatir dan takut, tapi tak ada yang berani mengeluarkan suara. Keputusan kapten telah bulat, dan penumpang hanya bertugas memanjatkan doa agar semuanya selamat sampai di seberang. Kami melewati deretan mobil yang sedang antri.
Tiba di tepi sungai, papa menjelaskan pada kami, bahwa tidak boleh panik, tenang saja dan berdoa. Papa meminta bantuan mobil-mobil di tepi sungai itu agar menyalakan lampu mobil mereka, untuk menyoroti sungai yang akan kami lalui. Papa memasang berek, menekan kopling di kaki kirinya, memindahkan perseneling satu kemudian perlahan menekan pedal gas dengan kaki kanan. Dengan perseneling satu dan tidak sedikitpun menginjak kopling, mobil berjalan membelah sungai yang sedang pasang besar dan banyak buayanya itu.
Om Panja yang sering menjadi imam shalat kami sekeluarga, komat kamit. Di dalam mobil kami tegang sekali. Menurut cerita orang-orang yang berdiri di tepi sungai itu, mereka juga tak kalah tegang. Apalagi ketika melihat mobil telah tenggelam seluruhnya di dalam air, mereka semua menahan napas. Di dalam mobil kami seperti berjalan di dalam aquarium, semuanya air dan gelap keabu-abuan.
Ketika atap mobil perlahan mulai menyembul dari air, napasku agak sedikit longgar. Dari dalam mobil kulihat orang-orang di tepi seberang sungai itu bertepuk tangan, mengepal-ngepalkan tangan bahkan ada yang melompat-lompat. Masih tetap dengan perseneling satu, mobil keluar dari air, disinari oleh lampu-lampu mobil dari kiri kanan sungai.
Papa membuka kaca mobil, terdengar tepuk tangan dan suara gemuruh yang mengagumi keberanian papa. Tak ada yang berani mengikuti langkah papa, meskipun mereka telah melihat hasilnya, mereka tak mau bertaruh nyawa. Entah berapa hari lagi mereka harus menunggu untuk dapat menyeberangi sungai itu.
Papa menyuruh kami turun dan makan di warung dekat sungai itu. Orang-orang masih mengerubuti mobil kami dan bersalaman dengan papa. Kebanyakan mereka adalah sopir-sopir yang mengerti tentang pembicaraan seluk beluk mobil. Mereka membicarakan teknik-teknik mengendarai mobil di dalam air. Kelihatannya semua teori telah dibahas, semua pengetahuan telah didiskusikan. Papa meninggalkan mereka untuk mengisi perut. Papa telah mempraktekkan teori yang dibicarakan, tapi tak satupun yang berani mengikutinya.
Kami tiba di Gorontalo dengan selamat. Tiga minggu kemudian kami pulang lagi ke Manado dengan perjalanan darat yang sama. Kali ini Om Panja tidak ikut, rumahnya memang di Gorontalo, namun beliau sempat berkata padaku, “Tidak dua kali aku mengikuti papamu itu, rasanya aku mau pingsan….”.
No comments:
Post a Comment