Website counter

Sunday, May 31, 2015

SEPEDA BARU



    
      Sepeda itu berwarna merah. Sadelnya panjang, dibagian belakangnya ada sandaran punggung yang berdiri tegak, kelihatannya terasa nyaman bila bersandar di situ. Aku melihatnya terkagum-kagum. Papa baru saja membelinya untukku. Tapi adik-adikku juga bisa dibonceng di belakang sambil bersandar. Masalahnya aku belum bisa naik sepeda roda dua.
      Pulang sekolah aku tak bisa tidur. Papa bolak balik menyuruh kami tidur siang. Kami bertiga berjejer melintang di tempat tidur kamar depan. Adikku yang bungsu tidur di kamar sebelah bersama mama. Mataku tak bisa diajak tidur, sesekali aku melihat jendela sambil berharap matahari cepat-cepat  turun. Bila kudengar pintu kamar sebelah berderit, segera mata kututup, pura-pura tidur pulas. Tong….tong….tong….es putar atau yang biasa kami sebut es tong-tong berbunyi tepat di depan rumahku. Ah…..nyamannya minum es tong-tong sambil duduk di atas sepeda baru……
      Sore tiba, aku bersiap-siap di atas sepeda di halaman rumah. Adik-adikku mengelilingi menatapku dengan bangga. Tapi eee….. sepeda miring ke kiri, aku menahannya dengan kaki kiriku. Kucoba lagi menaikinya eeee…. miring ke kanan, aku cepat-cepat turun dan menahannya dengan kaki kanan. Ois adikku yang laki-laki menangis, ingin ikut  diajak naik sepeda baru. Mama membujuknya, “kakak belum pintar naik sepeda, nanti jatuh”. Ois tak mau mengerti, pokoknya ia harus naik sepeda juga. Ia membanting-bantingkan kaki kecilnya ke tanah dan tetap menangis.
       
     “Ayo….ayo….”, papa datang, mengangkat Ois lalu mendudukkannya di sadel sepeda yang panjang. “Sandar di sini ya…..”, kata papa sambil memegang sepeda. “Papa pegang ya……”, aku pelan-pelan meletakkan kaki di pedal dan meletakkan pantat di sadel sepeda. Dengan sekuat tenaga pedal kuputar, satu….dua….tiga… sepeda mulai berjalan. Papa mengikuti kami dari belakang, sambil tetap memegang sandaran belakang sepeda yang tegak itu. Sesekali papa berlari mengikuti arah sepeda yang aku kemudikan.
Aku membawa sepeda keluar halaman rumah, ke jalan lorong depan rumah kami yang beraspal kasar. Adikku Nang dan teman-teman mengikuti di samping sepeda. Hore….hore…..
       “Pelan….pelan”, kata papa mulai terengah-engah. Ois tertawa kegirangan. Sepeda mulai kencang wuisssss……. “Hore…..hore….”, teriak teman-teman. Papa dengan sabar tetap mengikuti kami dari belakang. Sesekali tangannya dilepas, tapi segera dipegangnya lagi ketika sepeda mulai miring. Ah senangnya….     
      Setiap hari aku merindukan sore tiba lebih cepat. Entah papa tahu atau tidak, bahwa semenjak ada sepeda baru, aku tak bisa tidur siang lagi. Pikiranku menghayal suatu saat aku akan naik sepeda  ke sekolah, mataku menatap jendela kamar tidur kami, apakah matahari telah turun ?.
       Setiap sore papa mengajariku naik sepeda, tak kenal lelah papa berlari di belakang sepeda. Papaku mungkin satu-satunya papa papa atau papi papi di lingkungan kompleks kami, yang mau berlelah-lelah mendampingi anak-anaknya bermain sore. Kelebihan itu tak pernah kuperhatikan ketika aku kecil, tapi ketika dewasa dan berkeluarga, aku baru menyadari bahwa tak mudah perhatian seperti itu kuberikan pada anak-anakku……

EVERLAST



      EVERLAST’ itu nama yang disepakati papa dan mama bagi mobil penumpang daihatsu yang baru dibelinya. Mama menjahit penutup kursinya berwarna hijau daun dengan renda di pinggirannya.Ada sopir yang datang pagi hari, mengantar kami ke sekolah, lalu membawa pulang mobil pada malam hari dengan uang setoran hari itu. Awalnya uang setoran itu sesuai dengan yang disepakati, namun lama-kelamaan banyak alasan yang dikemukakan sopir untuk mengurangi setorannya. Ketika itu aku masih SD sehingga belum begitu memahami apa yang terjadi. Yang aku tahu kemudian, everlast tidak lagi beroperasi.
        Tidak seperti biasa, beberapa malam ini, papa keluar malam dengan jaket dan topi membawa everlast. Papaku pegawai negeri sipil, kegiatannya biasanya siang hari, kalaupun ada malam hari biasanya itu bila menghadiri undangan. Kutanya mama, “papa ke mana ma ?”, mama hanya menjawab, “ada urusan”. Mama kembali sibuk mengajari Nang dan Ois adik-adikku membuat PR. Dalam hati aku masih penasaran, terbayang cerita beberapa temanku, papa mereka pulang dengan botol cap tikus, lalu terjerembab dalam selokan di depan pagar rumah mereka.
      
   Malam itu malam minggu, kemarin malam aku telah menyelesaikan PR matematika yang diberikan ibu guru, jadi malam ini rencananya aku akan nonton televisi sepuasnya. Stasiun televisi satu-satunya yang ada di Manado hanya TVRI, sesekali muncul siaran televisi lokal menyiarkan acara kolintang dan musik bia.
       “Ko, ikut papa yuk “ tiba-tiba papa muncul dari ruang makan. Papa dan mama baru selesai makan malam. Itulah kebiasaan kami ketika kecil, anak-anak makan duluan, setelah itu baru papa dan mama. Aku pernah bertanya tentang hal ini pada papa, mengapa bukan papa dan mama yang duluan makan atau kita makan bersama saja ?. Papa hanya menjawab, ingin melihat dan memastikan bahwa semua anaknya makan makanan yang terbaik yang bisa diberikan. Sisanya meskipun tinggal nasi dan dabu-dabu bagian papa dan mama. Ketika itu tentu saja aku belum bisa mencerna filosofi apa yang tersirat dalam kata-katanya.
        “Mau kemana pa ?” tanyaku belum beringsut. “Ayo ambil sandal cepat”, kata papa sambil berjalan ke depan. Aku segera mengambil sandal di belakang, kemudian berlari mengikuti papa naik everlast.
       Everlast berjalan pelan membelah jalanan gelap dan basah ditengah rintiknya hujan bulan ber ber (september, oktober, november, desember) kota Manado. Sepi, aku masih belum mengerti mengapa mobil berjalan lambat, sementara papa yang duduk di belakang kemudi, menatap harap pinggir jalan. Sampai kemudian ada dua orang ibu yang berdiri di pinggir jalan mengangkat tangannya, everlast berhenti, mereka naik. Papa kemudian menggantungkan plat trayek ‘pasar 45’ di depan kaca everlast. Pada masa itu mobil penumpang masih bebas memasang trayek apa saja yang diinginkan. 
      Selanjutnya satu orang, dua orang sampai akhirnya mobil penuh dan papa kemudian melambaikan tangannya bila ada orang yang memberi kode berhenti. Satu per satu penumpang turun ditujuannya masing-masing, mereka turun dan  membayar lewat kaca jendela disampingku yang aku turunkan setengahnya. Aku menatap papa, raut wajahnya gembira, sedikit demi sedikit laci everlast terisi recehan. Sampai di stasiun, papa mengganti trayek yang lain, penumpang naik, kemudian turun, diganti dengan penumpang baru, begitu seterusnya.

   
   Sepanjang jalan aku bernyanyi-nyanyi, “Helly….guk guk guk….kemari guk…guk…guk… ayo lari-lari...” Papa mengangguk-angguk mengikuti irama lagu-lagu penyanyi cilik era 70-an. Masa itu belum ada tape recorder di mobil penumpang. Everlast adalah generasi terbaru mobil penumpang dijaman itu. Bemo dengan tiga roda masih merajai jalanan kota Manado.
     Hujan telah berhenti, laci everlast makin gemerincing. Sekarang aku makin lancar  mengambil uang dari tangan penumpang, mengobok-obok laci everlast kemudian mengembalikan sisanya. Papa berkata, “musik…..!!”, aku melanjutkan sambil mengacung-acungkan kepalan tangan, membayangkan diriku menjadi Chicha Koeswoyo,  “Taman mini Indonesia... tempat kebanggaanku.. rukun adil dan sentosa….. bangsa dan negaraku… Indahnya negeriku…. jayalah bangsaku… tak segan jiwaku membela……”

TELEVISI



         Kami semua mengelilingi benda itu, meja bukan, lemari bukan juga. Bentuknya kotak persegi, berkaki empat seperti meja, tetapi ada pintu seperti lemari. Kami anak-anak bertanya-tanya benda apakah ini ? Apa gunanya ? Papa dan mama hanya tersenyum.
       

       Teman-temanku makin banyak yang datang ingin melihat, wajah mereka juga bingung seperti aku. Kami mencoba meraba-raba kotak itu sambil berharap bisa menebak benda apa ini. Papa kemudian membuka pintunya, ternyata cara membukanya sangat berbeda dengan lemari. Papa hanya menarik pegangannya ke samping, hingga pintu yang terlipat-lipat itu mengumpul di kiri kanannya. Nampaklah kaca cembung yang berwarna abu-abu di balik pintu yang telah terbuka itu. Ooo….dengan segera aku teringat foto ketika aku masih bayi bersama papa dan mama di Jakarta. Di foto itu terlihat bentuk kaca yang sama dengan yang ada di depanku saat ini. Mama pernah menjelaskan padaku, benda itu namanya televisi. Sayang kata mama, di kota ini siarannya belum dapat ditangkap, sehingga kami tidak bisa menonton televisi.
        Pelajaran di sekolahku menyatakan, televisi tidak termasuk kebutuhan primer ataupun sekunder. Kata bu guru, televisi itu kebutuhan tersier, sama seperti halnya rekreasi. Tapi kata mama, di Jakarta banyak orang yang telah memilikinya, televisi bisa menjadi gudang ilmu, banyak sekali informasi yang bisa ditemukan seperti halnya surat kabar atau radio. Tetapi televisi gambarnya bisa bergerak, seperti bila kita menonton di bioskop. 
       
      Rasanya lama sekali menunggu malam tiba. Kata papa, siaran televisi nanti malam baru dimulai. Setelah sejak tadi sibuk memasang antena di atas atap rumah, papa tidur-tiduran sambil membaca koran. Aku dan teman-teman masih sibuk membicarakan televisi di teras rumah, kami duduk membentuk lingkaran. Kira-kira apa ya yang bisa kami tonton ? Apakah Dina Mariana dan Adi Bing Slamet bisa dilihat di televisi ? Selama ini kami hanya bisa mendengar suara mereka dari tape recorder. Pernah sekali waktu aku melihat wajah Adi Bing Slamet dalam mobil yang melewati jalanan dari Bandara menuju Kota Manado. Ia hanya melambai-lambaikan tangan ke arah kami, anak-anak yang berdiri di pinggir jalan raya.
      Dibanding teman-teman, aku memiliki sedikit pengetahuan mengenai televisi, karena mama sering menceritakan padaku bila kami sedang melihat-lihat album foto lama. Jadi hari itu akupun menjadi narasumber utama dan teman-teman menyimak penjelasanku dengan berbinar-binar. Nampak jelas angan mereka melambung tinggi ke awan mendengar ceritaku.
       “Ayo semua pulang, mandi dulu”, terdengar suara papa, “nanti selesai magrib, kita nonton televisi”. Kami saling berpandangan penuh harap, seperti dikomando serempak kami bangkit, teman-temanku pulang ke rumah masing-masing, sementara aku dan adik-adik langsung sibuk mencari handuk. Sambil menggosok-gosok sabun di tubuhku, aku mulai menyanyikan lagu-lagu penyanyi cilik idolaku, “Kelinciku…kelinciku….kau manis sekali….”.
      
     Sejak saat itu, setiap malam rumah kami penuh orang, tua muda, besar kecil, pria wanita tak mau ketinggalan. Ada yang duduk di kursi, ada yang duduk di lantai, bahkan banyak yang tiduran di depan televisi. Rumah kami seperti bioskop dan kami senang dengan keramaian itu. Keramaian yang sangat jarang terjadi di kompleks kami. Meskipun siarannya hanya sampai acara ‘Dunia Dalam Berita’, kami sudah senang sekali. Bila kaca televisi sudah seperti hujan gerimis maka papa akan mematikan kotak berkaki empat itu, dan para tamu akan beranjak pulang. Kompleks perumahan kamipun sepi kembali.
       Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, siaran televisi makin beragam. Banyak tetangga yang juga sudah memiliki televisi. Di sekolahku pelajaran telah berubah, televisi bukan lagi kebutuhan tersier, televisi kini ada di setiap rumah, lebih baik tak punya radio dari pada tak punya televisi. Kalau sebelumnya permainan sepak bola hanya bisa dinikmati dengan mendengarkan komentar dari radio, sekarang papa senang sekali menonton pemainan sepak bola di televisi. Menonton bersama, sambil mendengarkan komentar reporter sepak bola ‘Sambas’, merupakan kegembiraan yang tiada terkira, “Gol…gol…goool”.
       Di kompleks kami, antena televisi terlihat bagai tiang-tiang kapal yang menjulang di atap-atap rumah. Tahun berganti tahun, televisi dan antenanya semakin mengalami evolusi. Saat ini anak-anakku tinggal memencet tombol remote control, siaranpun seketika berganti. Ah….indahnya mengenang masa kecil…..

PENATA RAMBUT

     Dengan agak malu-malu aku melangkah ke kelas, teman-teman menatapku. Mereka kemudian mengerubutiku. Ada yang bertanya, sebagian lagi memegang-megang rambutku dan menatapku heran. Pak Guru yang baru masuk ke kelas, menatapku terbelalak.
  
      Pagi itu aku muncul dengan penampilan yang tidak biasa. Rambut  keriting. Kemarin sepulang sekolah, mama mempraktekkan ilmu menata rambut di kepalaku. Bersama seorang guru kursus yang beberapa hari ini sering datang ke rumah, mama mulai menggunting rambutku. Ibu guru kursus itu adalah teman lama mama.
      Beberapa hari yang lalu, ia datang mengunjungi mama. Kulihat mereka bercerita di ruang tamu. Keesokan hari, ia datang dengan peralatan penata rambut. Awalnya mama diberi teori tentang cara menggunting rambut. Ibu guru itu selalu memuji-muji mama, katanya mama cepat sekali pintar menerima ilmunya. Selama ini aku tahu mama memang pintar, apalagi kalau membantuku membuat PR berhitung. Kata mama, dulu di sekolahnya kalau murid tidak bisa berhitung, guru akan menyuruhnya memilih rotan-rotan yang tergantung di depan kelas. Rotan itu ada dalam berbagai ukuran, mulai dari yang berdiameter kecil sampai yang besar. Makanya mama selalu berusaha keras untuk belajar berhitung, perkalian dan pembagian harus dihafal, agar tidak disuruh memilih rotan dan dipukul oleh guru.
       Dulu ketika adik-adikku belum lahir, mama bekerja. Saat itu mama dan papa sekantor di Jakarta, Ketika adikku Nang lahir, papa meminta mama untuk berhenti bekerja. Kesibukan mengurus dua anak batita, membuat keputusan itu merupakan hal yang terbaik. Namun mama tidak pernah berhenti belajar, mama sangat gemar membaca dan mempunyai segudang hobby. Mulai dari menyanyi, menjahit, memasak hingga membuat berbagai kerajinan tangan, semuanya dikuasai mama dengan baik.
      Ketrampilan yang kuperoleh dari sekolah sering kuajari pada mama dan kami buat bersama-sama. Mama akan membeli bahannya kemudian membuat sendiri untuk dihias di rumah kami. Bunga dari benang wol, taplak meja dari selang, boneka dari kain perca atau dari benang wol, sulaman-sulaman aplikasi hingga menyulam kroistik, selalu ku buat bersama mama. Semua hasil kerajinan tangan itu sampai saat ini masih menghiasi rumah kami.
       Kemarin, ibu guru kursus penata rambut teman mama itu, meminta mama untuk melakukan praktek setelah pelajaran teori diberikan. Aku yang baru bangun tidur sore itu, langsung menjadi kelinci percobaan. Rambutku diutak-atik mama dan guru kursus itu. “Ya…ini diangkat dulu, ditarik….okey, yang lurus ya….”, kres….kresss…kudengar suara gunting mulai memotong rambutku. Aku meminta cermin, agar aku dapat melihat hasilnya. Mama memberikan cermin, tetapi tak lama kemudian mengambilnya lagi. Rupanya karena ingin melihat hasilnya, aku memutar-mutar kepalaku dan mengganggu konsentrasi mama.
       Setelah digunting, rambutku yang lurus itu kemudian dikeriting. Mama mengambil sedikit rambutku, membungkusnya dengan kertas, lalu menggelung rambutku pada suatu alat yang terbuat dari plastik berwarna merah muda dan ada karet yang berwarna hitam untuk penahannya. Sambil menggelung rambut, mama menyemprotkan cairan yang berbau sangat busuk. Aku mulai merasa mual dan mau muntah. Mama dan tante itu menahanku agar tidak lari. Mereka kemudian menutup kepalaku dengan handuk. Akupun dilepas dengan kepala yang baunya menyengat itu. Kata tante si guru kursus, “Didiamkan setengah jam, lalu diperiksa dulu, kalau sudah jadi dibuka semua, namun kalau rambutnya kebal, ditambah sepuluh atau lima belas menit lagi”. Katanya rambutku tebal, jadi mungkin butuh waktu yang lebih lama.
       Hari sudah menjelang malam ketika tante itu pulang. Aku agak khawatir, bagaimana dengan rambutku ?. Tante itu meyakinkan aku, bahwa mama sudah tahu prosesnya. Setengah jam kemudian rambutku diperiksa mama, tapi katanya belum jadi, mama kemudian menggelungnya kembali. Lima belas menit kemudian rambutku dibuka. Aku tercengang menatap di cermin, rambut yang tadinya lurus sudah menjadi kriwil-kriwil. Aku protes, tapi mama mengatakan belum selesai, masih akan digelung dengan gulungan rambut yang besar.
     Aku membungkuk di kamar mandi, kemudian rambutku dicuci mama, caranya masih sangat primitif. Setelah itu aku kembali duduk di kursi, mama mengipas-ngipas rambutku agar cepat kering. Tidak ada hair dryer, jadi kepalaku dikipas seperti ikan bakar. Setengah kering rambutku kemudian digelung dengan gulungan rambut yang besar dan berduri-duri. Dikipas lagi, lama sekali, aku sudah tidak betah duduk. Punggung dan leherku sudah pegal, berulang-ulang mama menyuruhku duduk tegak, tak boleh bergerak. Benar-benar perjuangan yang melelahkan menjadi kelinci percobaan.     
      Setelah melewati berjam-jam di kursi praktek itu, hasilnya sangat mengejutkan. Rambutku yang memang sudah tebal dan banyak, makin mengembang dan bergelombang. Sepertinya seorang anak kelas empat SD yang muncul dalam cermin itu, bukan aku. Kepalaku tampak bagai ibu-ibu pejabat yang kulihat di surat kabar, dengan rambut yang disasak tinggi bergelombang. Seandainya di masa itu sudah ada cara  rebounding seperti saat ini, pasti aku minta rambutku direbounding saja, biar kembali menjadi lurus. Sekarang aku harus menunggu waktu yang sangat lama untuk kembali seperti semula.
     Aku pura-pura tidak peduli ketika Pak Guru mondar-mandir di sisi mejaku sambil melihat ke arah rambutku. Mungkin beliau heran, ada ibu gubernur yang tersesat di kelasnya.

LOMBA MENYANYI


     “Sekali lagi”, kata papa sambil menekan tombol tape recorder di atas lemari ukir. Terdengar suara Chicha Koeswoyo, “Aku punya anjing kecil…..kuberi nama Heli….”, aku mengikutinya sambil bergoyang-goyang di atas kursi kayu di hadapan papa. “Kepala digoyang juga….senyum…..”, ujar papa lagi, ikut bergoyang mengikuti irama lagu. “Bayangkan ada Heli di sini…..” kata papa lagi sambil menggerak-gerakkan tangannya. “Heli…….”, Aku masih bernyanyi, lalu suara gonggongan anjing terdengar dari kotak persegi itu, aku bingung dan berhenti menyanyi. “Tidak apa-apa, Icko bilang saja,guk…guk…guk….”, dahi papa berkerut  lalu menekan tombol stop, kemudian papa menekan lagi tombol play, “kemari… guk guk guk”, lanjut papa mengikuti musik, aku bernyanyi lagi mengikuti papa. Perlahan aku mulai paham, aku harus menyanyi menjadi Chicha sekaligus si Heli. Ketika itu umurku 8 tahun.  

    Hari itu pun tiba, hari lomba nyanyi untuk memperingati hari proklamasi 17 Agustus. Kami berkumpul di Taman Kanak-kanak kompleks perumahan. Banyak anak-anak berhias, menggunakan pakaian warna-warni. Aku dengan percaya diri datang bersama mama. Mama baru saja menjahitkan baju baru untukku.
     Sebenarnya kami adalah warga baru di kompleks ini. Banyak dari anak-anak yang aku lihat, tidak kukenal. Mereka cantik-cantik dan ganteng-ganteng. Banyak yang sudah lebih besar, mungkin mereka sudah kelas 5 atau 6. Mereka juga di antar orang tuanya masing-masing. Tapi kata papa, fokuskan pikiran pada penampilanku sendiri, jangan melihat atau menilai orang lain. Jadi aku hanya mengingat-ingat lagu yang akan aku bawakan dan akan seperti apa nanti bila aku naik panggung.
       Satu per satu peserta dipanggil naik panggung. Panggung itu adalah delapan buah meja Taman Kanak-kanak. Tiap peserta naik di atas meja itu dan mempersembahkan penampilannya. Aku tidak terlalu memperhatikan penampilan mereka. Ketika tiba giliranku aku bernyanyi sejiwa raga, persis seperti yang papa ajarkan, lengkap dengan membayangkan Heli si anjing kecil bermain bersamaku. Tepuk tangan bergema, aku mengembangkan rok baruku, menekuk lutut sambil tersenyum manis ke arah penonton. Aku turun panggung dengan tepuk tangan yang menggema di telingaku. Malam itu aku bermimpi menjadi Chicha Koeswoyo……
         Besoknya mama ditemui panitia lomba. Aku diminta tampil pada malam acara puncak. Aku pun dilatih papa untuk menyanyi lagu yang lain, masih lagu Chicha. Namun kali ini agak sulit, selain karena aku tidak hapal syairnya, lagu itu juga bernada tinggi. Papa meyakinkan aku bahwa, aku pasti bisa menyanyikannya dengan baik. Akupun jadi berpikir bahwa aku bisa, tak ada keraguan lagi kalau papa sudah  mengatakan begitu.
       Sejak sore mama dan papa telah bersiap-siap untuk mengantarku. Tapi ada kekhawatiran diwajah mama, pasalnya ketiga orang adikku harus ditinggal bersama Ijah seorang gadis yang baru beberapa hari ini bekerja di rumah kami. Selepas magrib papa menidurkan adik-adikku, sementara mama mendandani aku dengan baju baru yang dijahit mama kemarin. Mamaku pintar menjahit, bila aku besar nanti aku ingin seperti mama, tidak hanya pintar menjahit, mama juga pandai menyanyi. Menidurkan adik mama menyanyi, mencuci pakaian menyanyi, di kamar mandipun mama menyanyi.
       Meski cemas mama berpesan pada Ijah, agar menjaga adik-adikku. Malam hari lorong di depan rumah kami sepi. Jaman itu belum ada TV, satu-satunya hiburan malam ini cuma perayaan hari proklamasi di kompleks perumahan kami. Hiburan yang hanya setahun sekali.
      Para tamu undangan memenuhi gedung SMP di kompleks perumahan kami. Bapak-bapak, ibu-ibu, pemuda pemudi dan anak-anak kompleks, bersuka cita memeriahkan acara peringatan kemerdekaan negara Indonesia. Di mana-mana terlihat bendera merah putih yang bersinar diterpa cahaya lampu.
Aku masuk digandeng papa dan mama, Baju rok mini berkerut banyak warna ungu dengan bunga-bunga kecil berwarna putih, ada ikat pinggang warna putih yang diikat dibagian belakang. Sepatu putih dengan kaus kaki putih, rambut dikucir dua,  lengkap dengan pita rambut berwarna ungu.
      Acara dimulai, pidato ketua panitia, pidato Kepala Kompleks, sampai pada acara yang ditunggu-tunggu, pemenang lomba. Banyak lomba yang diadakan, tentu saja banyak pula pemenangnya, juara 1, 2, 3, harapan 1, 2, dan 3. Gedung SMP pun gemuruh oleh tepuk tangan.
    
Ketika lomba nyanyi SD kelompok B diumumkan. Namaku disebut, juara satu. Aku melangkah ke depan menerima fandel, piagam dan sekotak hadiah. Kemudian aku diminta untuk mempersembahkan sebuah  lagu. Tepuk tangan diiringi musik kolintang…..”Hom..pim..pa ala ayum gambreng…….” Aku mulai bergoyang. Ketika nada makin meninggi dan akhirnya tinggi sekali, aku pun berteriak sekuat-kuatnya. Tepuk tangan bergema keras, plok…plok…plok…aku bisa…seperti kata papa, aku bisa……..Dari atas panggung yang besar dan tertata rapi itu, kulihat papa dan mama tersenyum bangga.
     Acara belum selesai ketika kami bergegas pulang, kecemasan mama terlihat jelas. Aku berlari-lari kecil mengikuti papa dan mama yang berjalan tergesa-gesa. Mama segera membuka pintu yang tidak terkunci, masuk kamar dan melihat ketiga adikku tertidur pulas. Mama keluar kamar, ke dapur sambil memanggil-manggil Ijah. Tidak ada sahutan. Aku telah mengantuk, hari telah larut malam.
      Saat bangun keesokan harinya kudapati Ijah di belakang rumah sedang merendam pakaian sambil bergoyang menyanyikan lagu hompimpa. Ketika melihatku yang berdiri di depan pintu dapur, ia menarik tanganku, “Bagus…bagus….tadi malam kak Ijah melihat Icko nyanyi….aduh rame sekali tadi malam….”. Rupanya Ijah meninggalkan adik-adik di rumah yang tidur pulas, ia tak mau ketinggalan hiburan yang hanya setahun sekali itu.