Cerita-cerita heroik tentang papa, banyak diingatkan oleh Ois adikku. Barangkali karena ia anak laki-laki sehingga Ois lebih banyak mengingat kenangan yang lebih bersifat maskulin daripada aku. Bagi kami papa adalah seorang yang sangat pemberani, apalagi bila melihat kami ketakutan, papa akan menjadi sangat berani. Papa mampu membuat keputusan yang berani hanya dalam waktu sedetik, dikala kami semua masih menimbang-nimbang untuk melakukannya. Saat ini bila dipikir, semua keputusan itu seratus persen benar.
Saat itu aku masih kuliah di kota lain, aku hanya mendengar berita itu melalui telpon ketika aku menelpon mama, dari wartel yang ada di seberang jalan tempat tinggalku. Saat itu belum ada telpon genggam. Papa sedang dirawat di rumah sakit karena luka bakar di sekujur tubuhnya. Aku menangis dalam wartel itu, membayangkan keadaan papa. Papa mempunyai penyakit diabetes yang tentunya akan mempengaruhi penyembuhan luka-luka bakar di tubuh papa.
Ceritanya, hari itu mama sedang memasak. Ketika kembali ke dapur, mama melihat api telah menutupi seluruh badan kompor dan mulai menjilati plafon rumah. Mama berteriak-teriak, berusaha mengambil keset yang basah untuk menutupi kompor itu. Tetapi api bukannya padam malah semakin bertambah besar. Papa datang, tanpa pikir panjang, kompor yang masih terbakar itu diangkatnya dengan kedua belah tangannya yang tidak beralaskan apapun. Papa berlari sekitar lima meter keluar dari dapur, lalu melempar kompor itu. Apipun perlahan-lahan padam.
Mama dan Ois yang saat itu berada di rumah dan melihat kejadian itu tercengang. Mereka segera berusaha memberikan pertolongan pada papa. Adikku Ning yang baru pulang sekolah, seketika merasa pusing dan lemas melihat keadaan papa. Ning tak kuasa melihat luka bakar di tangan dan kaki, sampai sebagian rambut dan alis papa juga hilang ikut terbakar. Ois segera membawa papa yang masih mampu berjalan ke rumah sakit, sedangkan mama merawat Ning yang lemas tak mampu bangun di rumah. Ning ketika itu masih duduk di bangku kelas dua SMP dan Ois kelas satu SMA.
Ois membawa papa ke Rumah Sakit Gunung Wenang di ruang UGD. Setelah mendapat perawatan darurat di sana, papa dianjurkan untuk rawat inap. Rumah sakit milik Pemerintah itu, memiliki ruang UGD di kaki gunung, sedang ruang perawatannya ada di puncak gunung. Papa diminta menunggu mobil ambulance yang akan mengangkut pasien-pasien UGD yang perlu perawatan lanjutan ke ruang rawat inap. Setelah menunggu beberapa saat mobil ambulance belum datang juga, papa memutuskan untuk berjalan kaki, menaiki anak tangga menuju ke ruang perawatan di puncak gunung itu.
Papa kemudian dirawat selama beberapa hari di rumah sakit. Syukur Alhamdulillah, beberapa hari dirawat, luka-luka bakar itu kemudian sembuh. Keberanian papa itu, menyelamatkan rumah dan kompleks kami dari kebakaran hebat. Tindakan berani yang diputuskan hanya dalam waktu sedetik, menghindarkan musibah yang lebih besar.
Ketika liburan semester tiba dan aku pulang. Kulihat bekas-bekas luka bakar di tubuh papa. Namun papa masih seperti yang dulu, dengan semangat dalam hari-harinya, tak tersisa sedikitpun bila musibah pernah menggores kehidupannya.
No comments:
Post a Comment