Website counter

Friday, October 27, 2017

SISTEM MANAJEMEN RUMAH SAKIT




Memahami sistem organisasi rumah sakit merupakan langkah awal dalam menjalankan semua kegiatan pelayanan rumah sakit. Kegagalan dalam memahami sistem organisasi, berdampak pada penerapan seluruh sistem rumah sakit, mulai dari prosedur kerjanya hingga sistem pelaporan. Rumah sakit bisa saja memberikan pelayanan kepada masyarakat, namun berbagai ketimpangan dalam sistem akan terus mengganggu proses pelayanan rumah sakit. Ibarat membangun rumah tanpa tiang-tiang penyangga, dinding rumah senantiasa bergoyang dan mengancam keselamatan penghuni rumah.

Pada umumnya suatu organisasi memiliki stakeholder tertentu. Rumah sakit memiliki keistimewaan, dimana organisasinya memiliki stakeholder yang tidak terbatas, baik internal maupun eksternal. Stakeholder internal rumah sakit terdiri dari berbagai macam profesi, pengetahuan dan ketrampilan. Tingkat pendidikan yang ada di rumah sakit beragam, mulai dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Demikian pula stakeholder eksternal rumah sakit, tidak hanya terbatas pada orang sakit, namun semua elemen masyarakat dan Pemerintah adalah stakeholder eksternal rumah sakit. Dan kewajiban rumah sakit memberikan kepuasan pada semua stakeholdernya baik internal maupun eksternal.

Rumah sakit dikenal sebagai suatu organisasi yang paling unik. Rumah sakit mempekerjakan berbagai macam profesi dalam satu organisasi dengan jumlah yang banyak. Ada profesi dokter, perawat, apoteker, fisioterapis, analis, sanitarian, radiografer dan lain-lain. Masing-masing profesi itupun terbagi lagi dalam beberapa kelompok profesi yang lebih kecil. Jumlah kelompok profesi yang lebih kecil ini, ada yang hanya terdiri dari 1 hingga 5 orang di satu rumah sakit, namun ada juga yang hingga ratusan orang. Tetapi yang uniknya, mereka terhubung dengan organisasi profesinya yang memiliki anggota lebih banyak dengan budaya organisasinya sendiri, yang sedikit banyak mampu mempengaruhi sistem di rumah sakit. 


Masing-masing profesi akan membentuk suatu budaya  yang memiliki kesamaan dalam bekerja ataupun kesamaan pandangan dalam menanggapi masalah. Kelompok profesi terikat oleh etika profesionalismenya. Berbeda dengan organisasi birokratis yang bersifat hierarkis, hubungan struktur kelompok profesi bersifat setara. Melalui komunitas yang setara inilah para profesional mempertahankan kontrol atas bidang mereka. Dalam bidang tersebut mereka bekerjasama untuk meningkatkan kepentingan bersama, mempertahankan monopoli atas pengetahuan mereka, melindungi diri dari serangan pihak lain, serta mengawasi keahlian dan etika anggota-anggota kelompoknya. Anggota-anggota suatu profesi memiliki tingkat otonomi yang tinggi dalam praktek memberikan pelayanan.

Ketika berbagai macam profesi itu bergabung dalam kelompok unit kerja atau instalasi di rumah sakit, maka akan terjadi interaksi antar budaya. Perbedaan profesi, derajat pengetahuan dan tata nilai menjadi penghalang utama. Kegagalan beradaptasi satu orang dapat mengganggu unit kerja yang bersangkutan. Meskipun benar bahwa  "budaya pribadi" yang dianut para anggota akan selalu dipertimbangkan, namun budaya organisasilah yang harus lebih dominan.  Bila kelompok unit kerja itu memiliki suatu budaya yang kuat, maka proses adaptasi dapat berjalan dengan lancar dengan budaya unit kerja yang sesuai dengan karakteristik atau prosedur kerja kelompok itu. 

Semakin tinggi tipe suatu rumah sakit, maka akan semakin kompleks sistem-sistem kecil yang ada di dalamnya, dengan budayanya masing-masing. Rumah sakit diharapkan dapat membangun budaya rumah sakit yang dipatuhi oleh semua unit kerja beserta anggota-aggotanya. Untuk membangun budaya organisasi rumah sakit, sosialisasi visi dan misi dari organisasi harus menjadi bagian keseharian dari semua petugas yang tergabung dalam unit-unit kerja. Visi dan misi merupakan landasan untuk memotivasi pemanfaatan Sumber Daya serta menjadi moral dan dasar perilaku dalam organisasi. Dan tugas utama pengelola rumah sakit adalah memanejerial sistem-sistem kecil ini, dengan membangun budaya organisasi rumah sakit yang kuat, agar dapat berkolaborasi membentuk satu sistem besar yang biasa dikenal sebagai Sistem Manajemen Rumah Sakit.

Berbeda dengan sistem organisasi lainnya, rumah sakit menjalankan dua sistem manajerial sekaligus, yaitu manajemen administrasi dan manajemen klinik. Manajemen administrasi telah banyak dipahami dikalangan manajer secara umum, namun untuk memahami manajemen klinik dibutuhkan profesi tertentu. Itulah sebabnya dalam Undang-undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah sakit, dikatakan dengan sangat jelas bahwa, "direktur rumah sakit harus seorang tenaga medis". Hal ini sangat berhubungan erat dengan bagaimana sistem manajemen rumah sakit dijalankan. Sebagai tenaga medis, diharapkan pimpinan rumah sakit mampu menjalankan kedua sistem manajemen ini secara lebih efektif dan efisien.

Dalam sistem organisasi rumah sakit, manajemen klinik sama pentingnya dengan manajemen administrasi, dan keduanya harus dijalankan secara bersama-sama. Apabila  manajemen obat, manajemen rekam medis atau bahkan manajemen klinik SDM atau manajemen klinik keuangan tidak mampu dikelola secara baik, maka rumah sakit tetap akan dinilai tidak menjalankan sistem organisasi sebagaimana mestinya. Dan hal ini akan langsung dapat dirasakan oleh kalangan internal rumah sakit ataupun masyarakat umum pengguna jasa rumah sakit.



Kebingungan sering kali terjadi di tingkat unit-unit kerja, ketika rumah sakit lebih fokus menjalankan sistem manajemen administrasi. Laporan yang bersifat birokrasi seperti halnya pada "manajemen keuangan" bisa saja menperoleh penilaian Wajar Tanpa Pegecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan karena pemeriksaan secara administratif telah dikelola dengan baik. Di sisi yang lain, pengelola rumah sakit dituntut juga untuk mampu mengelola manajemen keuangan yang bersifat manajemen klinik. 

Rumah sakit memiliki sistem keuangan yang lebih kompleks daripada organisasi lainnya. Sistem keuangan rumah sakit bukan hanya mengelola anggaran operasional dan penggajian secara umum, tetapi juga mengelola sistem remunerasi. Komponen remunerasi lebih luas cakupannya, karena tidak saja mengatur penggajian bulanan berdasarkan job grade. Sistem remunerasi juga mengatur indikator penilaian berdasarkan kompetensi, resiko, emergensi, posisi dan kinerja. Kesemuanya itu sangat berhubungan dengan kegiatan pelayanan medis kedokteran yang dijalankan rumah sakit. 

Bisa dibayangkan bagaimana kacaunya pengklasifikasian besaran jasa petugas, bila pengelola keuangan tidak memahami kompetensi dan resiko yang dijalani petugas pemberi jasa pelayanan. Hanya melalui diagnose dan terapi yang tertulis pada rekam medis, petugas dituntut untuk mampu menerjemahkan klasifikasi pekerjaan para pemberi jasa pelayanan. Inilah yang melahirkan perasaan adil serta kepuasan stakehorder internal, yang akan tercermin dalam kenyamanan bekerja dan kesetiaan pada organisasi.

Dalam hal manajemen SDM juga demikian. Manajemen SDM bukan hanya mengatur masalah kepegawaian seperti kepangkatan, tetapi juga mengelola SDM berdasarkan profesi, kewenangan klinik dan lain sebagainya. Dan ini tentunya sangat berhubungan erat dengan kompetensi SDM dalam memberikan kegiatan pelayanan di rumah sakit. Pengelola SDM dituntut untuk dapat menghitung dengan akurat, perencanaan tenaga yang disesuaikan dengan kompetensi, jumlah dan kebutuhan di setiap unit kerja. Pengelola SDM rumah sakit diharapkan mampu mengelola sistem manajemen klinik ini dan mampu mengintegrasikan sistem ini dengan sistem lainnya di rumah sakit. Ada begitu banyak ancaman hukum yang bisa menjerat pengelola rumah sakit atau pemberi jasa pelayanan di rumah sakit, apabila manajemen SDM tidak dikelola dengan baik. 

Sistem manajemen obat yang tidak terkoordinir dengan baik, sangat mengganggu seluruh sistem pelayanan rumah sakit. Perencanaan persediaan obat melalui perhitungan yang detail, merupakan bagian dari sistem manajemen obat. Pelayanan rumah sakit yang beroperasi 24 jam non stop membutuhkan ketersediaan obat setiap saat. Ada 3 logistik yang perlu mendapat perhatian utama di rumah sakit yaitu, logistik farmasi, logistik non medis dan dapur. Logistik farmasi yang terdiri dari obat dan Bahan Habis Pakai (BHP) medis, merupakan salah satu pendukung utama proses pelayanan di rumah sakit. Namun keberadaan sistem manajemen obat, mulai dari kebijakan pengadaan hingga pendistribusian membutuhkan pengedalian yang tepat.

Akreditasi yang diwajibkan untuk rumah sakit telah mengatur berbagai standar yang wajib dipenuhi oleh rumah sakit. Standar-standar itu ditulis secara rinci dalam elemen-elemen penilaian yang ada dalam tiap bab dan dilaksanakan melalui kelompok-kelompok kerja (pokja). Namun seringkali, pokja-pokja hanya berkutat pada sistem-sistem kecil, sesuai elemen penilaian yang terdapat pada pokjanya masing-masing. Kewenangan pokja yang terbatas ini tidak mampu menembus sistem di luar kewenangannya tanpa bantuan kewenangan lain yang seharusnya mengelola sistem yang lebih luas.

Sebenarnya struktur rumah sakit telah memberi jalan keluar terhadap masalah ini, yaitu dengan adanya Komite dan Satuan Pengawas Internal (SPI) dalam struktur organisasi rumah sakit. Komite dan SPI merupakan unit kerja non struktural dan terdiri dari petugas-petugas fungsional, sehingga diharapkan mampu memahami sistem manajerial klinik di rumah sakit. Fungsi Komite dan SPI diharapkan dapat membantu Direktur untuk menjalankan sistem manajemen rumah sakit dengan menyatukan sistem-sistem kecil untuk membentuk sistem manajemen rumah sakit. 

Komite memiliki kewenangan khusus pada satu sistem tertentu sesuai dengan bidangnya. Tugas komite mengintegrasikan antara sistem manajemen klinik dan manajemen administrasi pada unit-unit kerja. Komite Medis, Komite Keperawatan dan Komite Nakes Lain/Penunjang, membantu direktur dalam hal pengaturan SDM yang disesuaikan dengan profesi dan kompetensinya dalam melakukan tugas-tugas pelayanan serta semua permasalahan antar SDM kesehatan dengan menerapkan tata kelola klinik (clinical governance). Demikian pula Komite-komite lainnya, dibentuk atas dasar kebutuhan rumah sakit untuk mengelola suatu sistem, dalam rangka membantu Direktur dan jajaran strukturalnya dalam tugas-tugas manajerial rumah sakit.

Sedangkan tugas SPI adalah memastikan bahwa semua sistem yang ada berjalan sebagaimana mestinya. Petugas SPI harus mampu memahami dengan baik sistem manajemen mulai dari tingkat unit-unit kerja, hingga pada sistem jabatan struktural dibawah Direktur rumah sakit. Tugas SPI yang utama adalah membantu Direktur dalam perbaikan sistem pengawasan internal serta memberi masukan  dalam hal tugas direktur sebagai governing board di rumah sakit. 

Meskipun kegagalan memahami keunikan sistem manajemen rumah sakit, bukanlah satu-satunya penyebab rumah sakit masih sering mendapat banyak keluhan dari berbagai pihak, namun dengan memahami sistem kita sudah selangkah lebih maju. Dengan memahami sistem, jalan mencapai tujuan akan tampak lebih jelas. Namun demikian, memahami sistem tidak bisa menjamin penerapannya akan mudah. Ada banyak faktor yang turut berperan menentukan sistem bisa jalan atau tidak. Salah satu faktor penting penerapan sistem, adalah otonomi rumah sakit. Bagi rumah sakit, otonomi bisa diartikan seberapa luas Direktur rumah sakit diberikan kewenangan melakukan berbagai kebijakan manajemen. 

Di beberapa negara konsep otonomi rumah sakit merupakan bagian dari reformasi pelayanan publik. Di Indonesia, isu-isu tentang konsep otonomi rumah sakit sudah dibicarakan sejak lebih dari dua dekade yang lalu. Bentuk BLU adalah salah satu upaya ke arah otonomi rumah sakit. Model perencanaan yang sebelumnya birokratis, mengalami perubahan menjadi perencanaan strategis yang biasa disebut Renstra rumah sakit. Semua itu merupakan upaya-upaya ke arah otonomi rumah sakit. Tetapi hingga saat ini, otonomi yang dimaksud hanyalah sebagian kecil dari berbagai aspek otonomi rumah sakit. Otonomi rumah sakit seringkali hanya sebatas penyebutan atau penggunaan istilah baru, sedangkan penerapannya masih tetap menggunakan cara lama. Penentuan tarif pelayanan rumah sakit dan rekrutmen SDM rumah sakit, adalah salah satu contoh bahwa otonomi rumah sakit belum benar-benar diterapkan.  

Tuesday, October 24, 2017

BUKIT CINTA MOLOTABU - GORONTALO



Keindahan pemandangan dari atas bukit ini tak terungkap dengan kata....
Kali ini biarlah gambar yang bicara....





















Monday, September 4, 2017

LIMBAH MEDIS




Limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan dari aktivitas rumah sakit, baik aktivitas klinik maupun penunjang lainnya, dalam bentuk padat, cair atau gas. Limbah rumah sakit dikelompokkan menjadi 2 yaitu limbah medis dan limbah non medis.


Pengolahan limbah rumah sakit dilakukan sejak dari tahap pembuangan limbah oleh Petugas, pasien dan pengunjung rumah sakit. Penting sekali pemahaman dan kepedulian mengenai proses pembuangan limbah rumah sakit, terutama limbah medis bagi Tenaga Kesehatan, yang merupakan penghasil limbah medis. Limbah medis digolongkan sebagai limbah B3, sehingga pengelolaan limbah medis rumah sakit yang tidak benar, bukan saja diancam dengan tuntutan hukum, tetapi juga dapat membahayakan keselamatan dan keamanan jiwa maupun lingkungan.

Rumah sakit merupakan penghasil limbah medis terbanyak, sehingga membutuhkan pengolahan limbah yang baik, sejak awal sebelum diangkut ke tempat pengumpulan dan dimusnahkan. Rata-rata limbah medis padat yang dihasilkan rumah sakit sekitar 140 gr/ tempat tidur/ hari. Jadi bila sebuah rumah sakit memiliki 350 buah tempat tidur, maka limbah medis yang dihasilkan kira-kira 49.000 gr per hari atau 49 kg per hari. Jumlah yang tidak sedikit dan perlu penanganan yang bijak, untuk ukuran limbah yang dikategorikan sebagai limbah B3. 

Ada berbagai macam limbah medis di rumah sakit dan masing-masing jenis membutuhkan penanganan yang berbeda.

  1. Limbah Infeksius adalah limbah yang mengandung mikroorganisme patogen (bakteri, virus, parasit dan jamur)
  2. Limbah Patologis adalah limbah jaringan atau potongan tubuh manusia, organ tubuh, darah, muntah, urine, atau cairan tubuh lainnya.
  3. Limbah Benda Tajam adalah semua benda medis yang mempunyai permukaan tajam, seperti jarum suntik, infus set, ampul, preparat glass dan lain-lain.
  4. Limbah Farmasi adalah limbah obat kadaluarsa, obat terkontaminasi ataupun obat buangan.
  5. Limbah Sitotoksik adalah limbah obat sitotoksik/ genotoksik.
  6. Limbah Kimiawi adalah limbah yang mengandung zat kimia.
  7. Limbah Logam Berat adalah limbah yang mengandung logam berat, biasanya terdapat dalam konsentrasi yang tinggi dan sangat toksik, misalnya mercuri yang terdapat dalam termometer dan tensimeter air raksa.
  8. Limbah Kemasan Bertekanan adalah limbah kemasan bertekanan, misalnya tabung gas, cartridge atau kaleng aerosol.
  9. Limbah Radioaktif adalah limbah yang dihasilkan oleh kegiatan radio diagnostik atau radioterapi yang berbentuk padat dan cair.
  10. Limbah Cair adalah semua air buangan yang berasal dari kegiatan rumah sakit yang kemungkinan mengandung mikroorganisme, bahan kimia beracun dan radioaktif yang berbahaya.
  11. Limbah Gas adalah semua limbah berbentuk gas yang berasal dari kegiatan di rumah sakit seperti hasil pembakaran insinerator, generator, anestesi maupun pembuatan obat sitotoksik.
Dengan mengetahui berbagai jenis limbah medis, diharapkan Petugas rumah sakit akan lebih berhati-hati dalam menangani limbah medis. Kegiatan awal pemilahan jenis limbah medis, ketika Petugas rumah sakit membuangnya ke tempat sampah, sangat berpengaruh dalam penanganan limbah medis selanjutnya. Kelalaian dalam memilah jenis limbah medis, dapat mengakibatkan Kecelakan Akibat Kerja (KAK) dan Penyakit Akibat Kerja (PAK), yang dapat terjadi kapan saja dan dapat menimpa siapa saja. Oleh karena itu, cara pemilahan sampah seringkali menjadi salah satu penilaian penting pada telusur lapangan survey akreditasi rumah sakit. 





Saturday, September 2, 2017

MENGENAL B3 DI RUMAH SAKIT




B3 adalah singkatan dari Bahan Berbahaya dan Beracun, merupakan suatu zat, bahan kimia dan biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran, yang dapat membahayakan  kesehatan dan lingkungan secara langsung maupun tidak langsung. B3 bersifat racun, karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif dan iritasi. 

Di rumah sakit, B3 dapat berupa bahan kimia, obat kanker (sitostatika), reagensia, antiseptik dan disinfektan, limbah infeksius, bahan radioaktif, insektisida, pestisida, pembersih, detergen, gas medis dan gas non medis. Keragaman jenis B3 yang ada di rumah sakit, membuat rumah sakit menjadi salah satu industri yang diwajibkan mampu mengelola B3 dengan baik. 

Pengelolaan B3 adalah rangkaian kegiatan yang mencakup pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pengangkutan, penggunaan, pengolahan dan pembuangan limbah B3. Penerimaan B3, harus disertai dengan Material Safety Data Sheet (MSDS). MSDS adalah lembar petunjuk yang berisi informasi B3 mengenai sifat fisika B3, sifat kimia, cara penyimpanan, jenis bahaya, cara penanganan, tindakan khusus dalam keadaan darurat, cara pengelolaan limbah B3 dan sebagainya. 

Ancaman hukuman bagi orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa ijin dan atau menghasilkan limbah B3, adalah pidana 1 sampai 3 tahun dan denda 1 sampai 3 milyar rupiah. Bagi pejabat yang berwenang yang tidak melakukan pengawasan, juga diancam pidana 1 tahun dan denda 500 juta rupiah. Sedangkan bagi yang berani mengimpor limbah B3, hukuman pidananya hingga 15 tahun dan denda hingga 15 miliar rupiah. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi petugas rumah sakit untuk mengenal jenis-jenis B3 yang terdapat di lingkungan kerjanya.
 B3 di rumah sakit terbagi atas dua bagian besar yaitu :

1. B3 Medis  


B3 Medis berasal dari Instalasi Farmasi terdiri dari :
  •   Antiseptik dan Disinfektan    
         - Alkohol, H2O2, Microshield, Formalin, Natrium hipoklorida, Povidone Iodin
            -  Cidex , Presept Tablet, Phisohex
            -  Wash bensin, Lysol, Karbol
  •   Semua obat yang diperoleh dari Instalasi Farmasi.
  •   Obat- obat kanker
  •   Reagensia terdiri dari Reagensia untuk Laboratorium  dan Farmasi, Aseton, Larutan    amonia, dietil eter, HCl pekat 35%, NaOH crystal, KOH crystal,  H2SO4 (asam sulfat),  Phenol crystal, asam asetat, asam formiat, asam sitrat, methanol, xylol. 
  •   Gas Medis yaitu O2, N2, CO2, Acetylen, N2O.                         

2. B3 Non Medis 



B3 non medis berasal dari IPSRS, CSSD dan penggunaan rumah tangga, terdiri dari :
  •  Disinfektan yaitu disinfektan linen, Ultra clorox rain clean bleach, Chlor bleach, Cidezyme, Detergent enzimatic, SOUR, Detergen.
  • Pembersih yaitu softener, Foamy Hand Soap, Rugbee shampoo, Magic Glass, Forward, Floor Kleen, Marble Kleen, Waxstrip, Hygenc.
  • Gas non medis yaitu Elpiji.
  • Insektisida, Peptisida Nuvet 200 EC, Protect safe 0,005 BB, Inseckil 50 EC
  • Solar, Diesel Fuel, Freon (bahan pendingin), Chemical NAJCO (untuk boiler), Air Accu, Oil, Oil Lubricant, Emulsifier.    

Friday, September 1, 2017

SATE DAN DABU-DABU


Idul Adha hari ini, kenangan itu melintas lagi. Ketika melihat sate dan dabu-dabu di atas meja makan dengan nasi putih yang masih panas. Kami berempat berjejer di meja makan dan makan dengan lahapnya. Itu makanan istimewa kami dan lebih istimewa lagi, papa yang membuatnya untuk kami. Dengan keringat yang masih mengkilat di lehernya, papa tersenyum puas menatap kami. 


Sesekali menu istimewa ini hadir di meja makan kami. Pagi-pagi, papa akan bergegas ke pasar Paal 2 mencari penjual daging langganannya. Penjual itu biasanya akan memberikan daging sapi terbaik untuk papa. Daging sapi itu dipotong-potong dengan ukuran agak besar, dibakar dengan bara dari tempurung kelapa dan papa sendiri yang akan mengipas-ngipasnya dengan penuh semangat. Sate akan matang setusuk demi setusuk, dan kami tak bisa menahan diri lagi untuk menikmatinya. Mama sudah menyajikan nasi dan dabu-dabu di atas meja, dabu-dabu yang terbuat dari cabe dan bawang merah saja. Kamipun sudah memegang piring masing-masing dan mengambil posisi di meja makan.


Papa masuk dengan sepiring sate, panas bara api tidak menghilangkan rona kepuasan di wajahnya. Melihat anak-anak yang sudah bernafsu menatap sate di piring, wajah papa akan makin bersinar bahagia. Sambil tetap mengipas sate yang belum matang di luar rumah, papa bolak balik ke meja makan, "Tambah No'u.... Tambah Uti.... ". Tangan-tangan kecil kami berlumuran dabu-dabu, papa mengusap-usap punggung kami dan kamipun makan semakin lahap.

Papa adalah tipe orang tua yang keras, namun kasih sayangnya kepada keluarga sangat nyata. Dan kasih itulah yang tetap terpatri dalam hati kami anak-anaknya, hingga kini. Banyak orang yang ingin terkenal, menjadi pahlawan di hati banyak orang yang bahkan tidak dikenalnya, namun seringkali lupa menjadi pahlawan di hati keluarganya. Tapi papa selalu menjadi pahlawan bagi kami, sosok yang memberi pelajaran nyata bagaimana seharusnya mencintai keluarga. Dan ketika papa sampai di penghujung usianya, kami selalu ada bersamanya.... sayangilah papa kami ya Rabbi... seperti papa selalu menyayangi kami....

Monday, August 28, 2017

MENGENAL ALAT PELINDUNG DIRI (APD) DI RUMAH SAKIT



Alat Pelindung Diri atau lebih dikenal dengan singkatan APD adalah peralatan yang dipakai Petugas kesehatan pada saat bekerja, untuk melindungi dirinya dari bahaya Fisika, Kimia dan Biologis. Penggunaan APD oleh Petugas diharapkan dapat melindungi pakaian, kulit, membran mucosa Petugas, dari resiko terpajan darah, cairan tubuh, sekret, kulit yang tidak utuh atau selaput lendir pasien. Selain itu juga penggunaan APD oleh Petugas, dapat melindungi pasien dari paparan Petugas itu sendiri.

Mari kita mengenal jenis APD yang sering digunakan di Rumah sakit :
 
1. Gloves (Sarung Tangan)

Sarung tangan berguna untuk melindungi tangan dari kontak dengan darah, cairan tubuh, sekret, benda-benda yang terkontaminasi dan lain sebagainya. Ada 3 jenis sarung tangan yang biasa digunakan di rumah sakit, yaitu  sarung tangan bersih, steril dan untuk rumah tangga. Sarung tangan yang ideal harus tahan robek, tahan bocor, biocompatibility (tidak toksik) dan pas di tangan.
Sarung tangan untuk tenaga kesehatan berfungsi sebagai pelindung dari kontak cairan infeksius pasien, terbuat dari bahan lateks karet, polyvinyl chloride (PVC), nitrile, polyurethane.
 
2. Gown (Baju Pelindung/Apron)
Dimanfaatkan untuk melindungi kulit dan baju Petugas dari kemungkinan percikan darah, cairan tubuh pasien atau material yang tercemar serta untuk melindungi tubuh Petugas selama prosedur dan kegiatan di rumah sakit. Ada 2 jenis gown, steril dan bersih. Bahannya bisa terbuat dari kain, plastik atau kertas. Menurut penggunaannya gown terdiri dari gown sekali pakai (disposable) dan gown yang dapat digunakan kembali (reuseable). Gown disposable dirancang untuk dibuang setelah satu kali pakai, bahan yang digunakan adalah synthetic fibers (misalnya polypropylene, polyester, polyethylene). Sedangkan gown reuseable bisa dipakai berulang, terbuat dari bahan 100% katun atau 100% polyester, atau kombinasi antara katun dan polyester. Selain itu ada juga Apron (celemek).

3. Masker
Masker berguna untuk melindungi Petugas dari kontak material infeksi dari pasien, juga berfungsi sebaliknya melindungi pasien terpapar material infeksi dari Petugas. Masker digunakan untuk menutupi mulut dan hidung. Masker yang biasa digunakan di rumah sakit adalah masker bedah dan masker N95.
Masker bedah terdiri dari 3 lapisan material dari bahan non woven (tidak dijahit), loose - fitting dan sekali pakai untuk menciptakan penghalang fisik antara mulut dan hidung pengguna dengan kontaminan potensial sekitar, sehingga efektif untuk memblokir percikan (droplet) dan tetesan dalam partikel besar.
Sedangkan masker N95 terbuat dari bahan polyurethane dan polypropylene adalah alat pelindung pernapasan yang dirancang dengan segel ketat di sekitar hidung dan mulut untuk menyaring hampir 95% partikel yang lebih kecil < 0,3 mikron. Masker ini dapat menurunkan paparan terhadap kontaminasi melalui airborne.

4. Goggles (Kaca Mata)
Kaca mata berfungsi untuk melindungi selaput lendir mata, terbuat dari plastik yang menutup erat area mata agar terhindar dari cipratan yang dapat mengenai mukosa. Goggles digunakan pada saat beraktifitas dimana kemungkinan risiko terciprat, khususnya pada prosedur yang menghasilkan aerosol.
 
 5. Face Protector (Visor, Face Shields)
Face protector umumnya terbuat dari plastik jernih transparan, yang menutupi wajah sampai ke dagu sebagai proteksi ganda bagi tenaga kesehatan dari percikan infeksius pasien saat melakukan perawatan. 
 
6. Head Coverings (Penutup Kepala, Topi)
Merupakan pelindung kepala dan rambut dari percikan cairan infeksius pasien selama melakukan perawatan. Penutup kepala terbuat dari bahan tahan cairan, tidak mudah robek dan ukurannya pas di kepala, digunakan sekali pakai. 
 
7. Sepatu Pelindung
Sepatu pelindung dapat terbuat dari karet atau bahan tahan air atau bisa dilapisi dengan kain tahan air. Sepatu merupakan pelindung kaki , harus menutupi kaki bahkan sampai betis.


Friday, August 25, 2017

KODE BENCANA DI RUMAH SAKIT




Salah satu hal penting dalam prosedur tanggap darurat adalah prosedur pemberitahuan dalam sistem komunikasi internal di rumah sakit. Kemungkinan terjadinya bencana di rumah sakit, setiap saat dapat terjadi. Keadaan darurat dalam masyarakat, bencana eksternal ataupun bencana internal rumah sakit, dapat menimbulkan gangguan dalam proses pelayanan kesehatan. 

Penilaian resiko dan kesiapsiagaan terhadap bencana di rumah sakit dapat diketahui dari hasil assessment Hazard Vulnerability Analysis (HVA), yang setiap tahunnya diassessment oleh Komite K3RS. HVA adalah cara untuk menganalisa bahaya atau bencana, serta dampak dari hazard tersebut terhadap rumah sakit, baik langsung maupun tidak langsung.

Untuk dapat mengkomunikasikan bencana yang terjadi di rumah sakit kepada semua petugas, dengan tidak mengganggu kenyamanan pasien di dalam rumah sakit, maka perlu adanya pemberitahuan  dengan penyebutan suatu kode yang hanya dapat dipahami oleh petugas rumah sakit secara umum dan khususnya petugas tanggap darurat di rumah sakit itu. Penggunaan penyebutan suatu kode berbeda disetiap rumah sakit, namun yang paling banyak digunakan adalah penyebutan dengan kode warna. Demikian pula jenis bencana, setiap rumah sakit memiliki jenis bencana yang tergantung situasi, lingkungan ataupun daerah dimana rumah sakit itu berada.

Berikut salah satu contoh kode bencana di rumah sakit :

1. Kode Merah
   
Digunakan untuk memberitahukan bahwa telah terjadi kebakaran pada salah satu lokasi di rumah sakit. Dengan penyebutan kode merah, petugas rumah sakit yang sedang berjaga diharapkan tanggap terhadap terjadinya darurat kebakaran di lingkungan rumah sakit. Petugas jaga dilokasi yang diinformasikan terjadi kode merah, akan bersiap melakukan evakuasi pasien dan fasilitas, sedangkan petugas di unit kerja lain sekitar lokasi akan bersiap membantu. Tim Keselamatan dari Struktur Organisasi Tanggap Darurat dibawah kendali Koordinator Keselamatan, Keamanan dan Pemantauan, segera menuju ke lokasi kejadian untuk membantu Tim Kode Merah di Unit Kerja yang mengalami kebakaran. Dalam standar akreditasi, pengetahuan dan ketrampilan dasar kode merah, diwajibkan untuk seluruh petugas rumah sakit. 


2. Kode Biru
Kode biru digunakan untuk memberitahukan telah terjadi kegawatdaruratan medik. Ketika mendengar pemberitahuan kode biru dari pengeras suara, seketika itu juga Tim Kode Biru dari Struktur Organisasi Tanggap Darurat di bawah kendali Koordinator Medik, akan segera menuju ke lokasi kejadian dan mengambil alih bantuan yang telah dilakukan oleh petugas di lokasi kejadian. Seperti halnya kode merah, pengetahuan dan ketrampilan dasar kode biru wajib bagi seluruh petugas rumah sakit.

3. Kode Hijau
Secara umum kode hijau adalah pemberitahuan kepada petugas untuk segera melakukan evakuasi, baik untuk evakuasi manusia maupun evakuasi untuk barang atau fasilitas rumah sakit. Kode hijau terdiri dari :

  • Kode hijau 1 evakuasi untuk bencana gempa 
  • Kode hijau 2 evakuasi untuk bencana banjir 
  • Kode hijau 3 evakuasi untuk bencana angin puting beliung. 
Evakuasi diprioritaskan untuk pasien, rekam medis pasien yang sedang dirawat inap dan peralatan medis mayor seperti monitor, defibrilator, ventilator, infus pump, syringe pump dan lain-lain. Tujuan evakuasi adalah titik kumpul terdekat, apabila lokasi titik kumpul termasuk daerah yang aman sehingga dapat dilakukan penanganan pasien untuk sementara dan melakukan perhitungan jumlah pasien, pengunjung dan petugas. 

Bila bencana terus berlanjut maka pasien akan ditampung di ruang rawat inap sesuai kriteria jenis pelayanannya. Dan apabila pasien membutuhkan penanganan lebih lanjut, namun kondisi ruangan di rumah sakit tidak memungkinkan lagi, maka  evakuasi dilanjutkan ke daerah evakuasi lanjutan, yaitu rumah sakit terdekat yang aman dari bencana.

Yang juga sangat penting untuk diperhatikan pada Kode hijau ini adalah data daftar nama pasien dan petugas. Data ini digunakan untuk mengecek keberadaan pasien dan petugas di tempat evakuasi. Pastikan bahwa semua pasien dan petugas telah dievakuasi tanpa ada yang tertinggal.

4. Kode Coklat
Pemberitahuan kode coklat dimaksudkan bahwa telah terjadi pencurian di rumah sakit. Kode ini secara umum memberi sinyal kepada semua petugas rumah sakit agar senantiasa waspada terhadap keberadaan orang yang tidak dikenal di sekitarnya. Secara khusus kode coklat memberi perintah siap siaga dan waspada kepada semua Security yang bertugas saat itu. Security akan menutup pintu atau jalan keluar masuk dan memperhatikan gerak gerik setiap orang, mengamankan lokasi kejadian, memeriksa CCTV untuk upaya mengidentifikasi pelaku agar dapat menangkap pelaku pencurian.

5. Kode Ungu
Kode ungu berarti telah terjadi keributan di rumah sakit. Pemberitahuan kode ungu akan menggerakkan Security yang bertugas jaga, untuk menuju ke lokasi kejadian dan mengamankan sumber keributan. 





6. Kode Pink
Kode ini berarti telah terjadi penculikan bayi. Sama seperti halnya kode coklat dan kode ungu, kode pink akan membuat semua Security yang bertugas jaga lebih waspada dan memperhatikan semua gerak gerik orang di sekitarnya. Pintu masuk keluar akan segera ditutup dan monitor CCTV akan diperiksa. Semakin cepat pemberitahuan kode pink, semakin besar kemungkinan pelaku akan tertangkap.

7. Kode Kuning
Kode kuning adalah pemberitahuan adanya ancaman bom di rumah sakit. Ancaman bom bisa melalui telepon, penemuan bom di lingkungan rumah sakit atau dibawa sendiri oleh pelaku. 

Untuk ancaman melalui telepon, dianjurkan penerima telepon tetap bersikap tenang dan usahakan mencari informasi sebanyak mungkin mengenai penelepon dengan mengajaknya terus berbicara. Siapkan catatan atau rekaman dan tetap bersikap sopan terhadap si penelepon. Untuk penemuan barang yang dicurigai bom, Security harus berhati-hati. Isolasi lokasi barang yang dicurigai bom. Kemudian segera dilaporkan kepada atasan. Direktur Tanggap Darurat atas persetujuan Direktur Rumah Sakit dapat menghubungi pihak Kepolisian untuk penanganan yang lebih profesional.   

8. Kode Oranye
Kode oranye memberitahukan adanya tumpahan atau kebocoran Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Ada banyak bahan yang digolongkan B3 dan digunakan sehari-hari di rumah sakit, namun biasanya penggunaannya dalam jumlah yang sedikit. Pemberitahuan kode oranye akan diaktivasi apabila tumpahan atau kebocoran B3 membutuhkan penanganan khusus dengan menggunakan spill kit B3, karena dapat membahayakan manusia dan lingkungan sekitarnya.

9. Kode Putih
Kode putih adalah bencana epidemik di rumah sakit. Kode putih dapat diaktivasi manakala wabah penyakit menular dalam masyarakat telah menjadi bencana epidemik sehingga mengancam kondisi kesehatan petugas rumah sakit, pasien dan pengunjung. Situasi  ini sangat berpotensi mengganggu pelayanan rumah sakit akibat banyaknya petugas yang tidak bisa bekerja karena tertular.
Penetapan kode putih di rumah sakit dilaksanakan oleh Komite PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi) bersama Pimpinan rumah sakit.
Penyakit yang memenuhi kriteria untuk dinyatakan sebagai kode putih adalah :

  • Memiliki jalur transmisi lewat udara 
  • Sangat menular
  • Gejala sedang sampai berat sehingga tidak memungkinkan penderitanya bekerja dengan normal bahkan dapat menyebabkan resiko yang fatal.
Penanggulangan kode putih disesuaikan dengan prosedur penanganan wabah yang ada di Komite PPI.

10. Kode Hitam
Kode hitam merupakan suatu kode dari Instalasi Rawat Darurat (IRD) yang menyatakan bahwa jumlah pasien yang datang melebihi kapasitas IRD, baik dari segi fasilitas maupun dari segi ketenagaan. Keputusan untuk mengaktifkan kode hitam adalah kewenangan mutlak dari dokter IRD yang sedang bertugas.



Kode hitam terbagi atas :
  • Multiple Casualty Incident (Kode Hitam 1), yaitu suatu keadaan dimana jumlah pasien melebihi kapasitas dari IRD, tapi masih dapat ditanggulangi dengan sumber daya rumah sakit pada saat kejadian. Pada bencana kode hitam 1, Direktur Tanggap Darurat akan mengaktifkan Struktur Organisasi Tanggap Darurat untuk membantu memobilisasi ketenagaan dan fasilitas dari unit kerja lain ke IRD.
  • Mass Casualty Incident (Kode Hitam 2), merupakan suatu keadaan dimana jumlah pasien jauh melebihi kapasitas dari IRD dan tidak dapat diatasi oleh seluruh sumber daya rumah sakit pada saat kejadian. Pada bencana kode hitam 2, Direktur Rumah Sakit dapat berkoordinasi dengan Badan/Dinas terkait dan Rumah sakit terdekat untuk membantu penanggulangan bencana selanjutnya.













Thursday, August 24, 2017

CARA PENGGUNAAN APAR




Alat Pemadam Api Ringan atau biasa disebut APAR merupakan suatu alat pemadam manual yang digunakan pada tahap dini terjadinya kebakaran. APAR dipasang maksimal 1,5 meter tingginya dari lantai. Idealnya, jarak antar APAR 25 meter pada lokasi normal, sedangkan untuk tempat yang beresiko kebakaran, APAR dipasang dengan jarak 15 meter.

Salah satu pengetahuan dan ketrampilan yang diwajibkan untuk diketahui bagi semua petugas rumah sakit dalam penilaian akreditasi, adalah mampu menggunakan APAR dengan baik dan benar. Untuk memudahkan penggunaan APAR bagi petugas rumah sakit, ingatlah kata PASS. 
Berikut tahapan penggunaan APAR dengan kata kunci PASS :

1. P : Pegang Pin, putar dan tarik
    Pada kepala APAR terdapat pin pengunci yang berfungsi mengunci tabung APAR agar isinya tidak mudah keluar. APAR yang belum pernah digunakan biasanya masih tersegel dengan gelang, maka untuk bisa digunakan gelang itu harus diputus terlebih dahulu dengan cara memutar pinnya. Setelah gelang pengaman putus, tariklah pin keluar agar APAR siap untuk digunakan. Setelah pin terbuka harap berhati-hati memegang pegangan APAR, agar isinya tidak keluar. Bawalah tabung APAR ke dekat sumber api.



2. A : Arahkan Nozzle 
      Arahkan Nozzle (selang) dengan cara melepaskan ujung bawah nozzle yang terpasang pada dinding tabung APAR, memegang erat ujungnya, kemudian diarahkan ke titik api. Pastikan ujung nozzle dalam genggaman tangan yang kuat dan kedua kaki tegak membentuk posisi kuda-kuda agar dapat mengendalikan berat tubuh dan tabung APAR yang sedang dipegang. Hal ini dimaksudkan supaya nozzle tidak bergerak dan tubuh tetap seimbang ketika isi APAR dikeluarkan.




3. S : Satukan Tuas Atas dan Bawah
    APAR memiliki tuas atas dan bawah. Pada saat pin masih terpasang, kedua tuas tidak bisa disatukan atau di rapatkan. Setelah pin dicabut, kedua tuas dapat dirapatkan dengan cara menggenggam kedua tuas, kemudian memencetnya. Seketika isi APAR akan keluar dengan tekanan yang cukup besar. Untuk itulah pentingnya mempersiapkan posisi tubuh, agar ketika isi APAR keluar, tubuh kita tetap seimbang.



4. S : Sapukan Ke Sumber Api
    Nozzle yang berada dalam genggaman disapukan ke kiri dan kanan menuju ke sumber api. Usahakan arah semprotan isi APAR tidak melawan arah angin. Arah angin dapat dilihat dari arah api yang menyala. Dengan demikian semprotan isi APAR dengan mudah menuju ke sumber api dan memadamkan api.




K3RS & PPI DALAM PENANGANAN KAK & PAK




Tertusuk jarum bekas yang telah digunakan pasien atau terpapar cairan tubuh pasien merupakan kejadian yang tidak mengenakan bagi petugas rumah sakit. Kedua kejadian ini termasuk dalam Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) dan dapat menyebabkan Penyakit Akibat Kerja (PAK). 

Ada banyak kasus akibat tertusuk jarum atau terpapar cairan tubuh pasien, yang telah dilaporkan dan mengakibatkan petugas kesehatan tertular penyakit pasien. Namun hingga saat ini masih banyak kasus yang belum teridentifikasi atau belum ditangani secara baik dan benar. Hal ini bisa terjadi akibat kurangnya kepedulian petugas itu sendiri dan menganggap remeh kejadian tersebut atau karena kebingungan dalam hal melakukan pelaporan kejadian tersebut. Seringkali, KAK dan PAK diketahui jauh setelah kejadian berlangsung lama.

Dalam hal melakukan proses pelaporan, acapkali petugas bimbang antara melaporkan kejadian tersebut pada Komite K3RS atau pada Komite PPI. Bahkan antara  K3RS dan PPI masing-masing merasa KAK tertusuk jarum dan terpapar cairan tubuh dari pasien, merupakan wilayah kerjanya. Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi bila terjalin kerjasama yang baik antara Komite K3RS dan Komite PPI, karena keduanya berperan dalam membantu keselamatan Petugas serta kelengkapan data laporan rumah sakit.




Kecelakaan kerja akibat tertusuk jarum atau terpapar cairan tubuh pasien, merupakan kasus kecelakaan yang melibatkan K3RS dan PPI, namun dalam konteks yang berbeda. K3RS mengolah laporan KAK  dan PAK yang terjadi pada petugas di rumah sakit dengan cara menginvestigasi kejadian dengan menganalisa, mengevaluasi, memonitor dan mereviuw kejadian tersebut. Sedangkan pada PPI lebih dimaksudkan pada pengawalan proses kejadian, akibatnya dan penanganan selanjutnya bagi petugas yang bersangkutan. 

Petugas yang tertusuk jarum atau terpapar cairan tubuh pasien, dianjurkan untuk segera membersikan diri dengan air mengalir. Untuk luka tusuk jarum sebaiknyanya tidak ditekan, namun cucilah seperti biasa. Segera laporkan ke atasan atau Kepala Ruangan. Petugas akan dibantu oleh Kepala Ruangan untuk segera membuat laporan tertulis. Form laporan KAK biasanya sudah terdapat di Unit Kerja masing-masing. 

Berikan laporan itu kepada Komite K3RS dan Komite PPI untuk ditindaklanjuti. Penting untuk memberikan laporan sebelum kejadian itu melewati 4 jam. Ini untuk mengantisipasi kasus-kasus tertentu. Pemeriksaan petugas yang tertusuk jarum atau terpapar cairan tubuh pasien, selanjutnya akan dibantu oleh Komite PPI. Investigasi, analisa , evaluasi dan monitor akan terus di lakukan oleh Komite K3RS dan Komite PPI. Kerjasama dari Petugas yang bersangkutan, sangat menentukan proses ini dapat ditanggulangi hingga tuntas.  

Thursday, August 17, 2017

MENGENAL BAHAN BAKU APAR




APAR adalah singkatan dari Alat Pemadam Api Ringan. APAR merupakan alat pemadam yang digunakan pada tahap awal dalam mengatasi bencana kebakaran. Di Rumah sakit, pengetahuan penggunaan APAR diwajibkan untuk seluruh Petugas. 




APAR berupa suatu tabung yang berisi bahan yang dapat memadamkan api. Ada beberapa jenis bahan baku yang biasa digunakan untuk mengisi tabung APAR.

1. Air
Air memiliki kemampuan untuk menyerap panas dan hingga saat ini masih dianggap sebagai bahan pemadam api yang paling utama.

2. Busa (Foam)
Busa merupakan campuran bahan kimia yang terdiri dari pencampuran garam basa dan garan asam dalam air. Reaksi kimia tersebut menghasilkan busa yang berasal dari karbondioksida. Pemadaman api dengan busa pada prinsipnya mengisolasi bahan bakar dari oksigen (udara) serta mendinginkan karena mengandung air. Namun untuk kebakaran dengan bahaya yang mengandung aliran listrik, APAR yang berisi busa ini tidak efektif.

3. Serbuk Kimia Kering (Dry Chemical Powder)
Merupakan campuran partikel-partikel padat dan halus. Prinsip pemadaman bahan ini yaitu dengan menurunkan konsentrasi oksigen di titik nyala dan menutup permukaan bahan bakar dengan bahan kimianya, namun efek pendinginnya kurang signifikan untuk memadamkan api. Bahan-bahan kimia dari serbuk ini dapat berupa, amonium phospate base, potasium bicarbonate base, sodium bicarbonate base, urea potasium bicarbonate base dan gas nitrogen sebagai gas pendorong yang bersifat inert (tidak bereaksi).
Kelebihan bahan ini mampu memadamkan kebakaran kelas A, B dan C. Namun untuk kelas A, dapat terjadi penyalaan kembali karena sifatnya yang tidak mampu meresap ke pori2 bahan yang terbakar. Kekurangan lainnya, serbuknya mengotori sekitar tempat kebakaran dan dapat merusak peralatan elektronik.

4. Gas Karbondioksida (CO2)
Merupakan gas CO2 yang dipadatkan. Apabila digunakan akan keluar berupa busa putih dan sedikit bersalju. Prinsip pemadaman dengan pendinginan dan mengurangi oksigen di sumber api. Gas CO2 tidak efektif untuk kebakaran kelas A karena berbentuk gas yang tidak meresap ke bahan yang terbakar, setelah gas CO2 hilang, penyalaan dapat terjadi lagi. Bahan ini tidak ekonomis dan dapat menyebabkan sesak napas karena kadar oksigen yang menurun di sekitar lokasi kebakaran.
Penggunaan gas CO2 lebih efektif bila digunakan untuk pemadaman cairan yang mudah terbakar baik tertutup maupun yang terbuka. Gas CO2 juga tidak menghantar arus listrik, tidak merusak dan meninggalkan noda, serta mampu memadamkan nyala api pada kebakaran kelas A. 

5. Halon
Halon adalah hidrokarbon terhalogenisasi. Ada beberapa jenis halon, namun hanya halon tertentu yang bisa digunakan untuk memadamkan api. Halon yang biasa digunakan untuk pemadaman api adalah Halon 1301 (Bromotriflouromethane) dan Halon 1211 (Bromochlorodiflouromethane). Halon tidak menghantar arus listrik, sehingga cocok untuk kebakaran cairan, material padat atau kebakaran listrik. Prinsip pemadamannya secara kimiawi, yaitu menghentikan proses pembakarannya dengan memutus rantai kimianya. Proses kimia pemadaman dapat terjadi hanya dengan sedikit konsentrasi halon, bahkan untuk kebakaran yang relatif besar. Sayangnya, harga halon cukup mahal dan efek yang ditimbulkannya dapat merusak lingkungan (ozon).

6. Kimia Kering Khusus 
Bahan kimia kering khusus digunakan untuk kebakaran logam. Bahan ini spesifik untuk memadamkan logam yang terbakar.





Sunday, August 13, 2017

BOTU LANGGELO (BATU PANDANG) BOTUTONUO GORONTALO



Pagi ini aku berjanji bertemu dengan sahabatku semasa SMA di suatu rumah makan. Kebetulan sahabatku itu sedang berada di Kota Gorontalo dalam rangka tugas kantornya. Setelah berbincang-bincang sejenak sambil sarapan "Tinutuan" dan "Mie cakalang", kami pun sepakat jalan-jalan karena jadwal pertemuan yang akan dihadirinya diadakan nanti sore. 



Sambil berbincang-bincang terlintas dalam benakku mengajaknya ke Botutonuo, salah satu tempat wisata di Provinsi Gorontalo. Jaraknya yang tidak terlalu jauh dari Kota Gorontalo memungkinkan bagi kami untuk memanfaatkan waktu yang singkat beberapa jam ini. 

Desa Botutonuo merupakan salah satu desa di kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango. Desa ini terletak di sepanjang bibir pantai. Dari Kota Gorontalo, kami menyusuri jalan yang berkelok-kelok. Di sebelah kiri jalan adalah perbukitan dengan rumah-rumah penduduk, sedangkan di sebelah kanannya pemandangan laut terhampar luas. 

Kabupaten Bone Bolango memiliki banyak tempat-tempat wisata yang bisa dikunjungi, salah satunya di desa Botutonuo yang menawarkan wisata laut dan perbukitan. Ada beberapa bukit di desa ini yang telah disulap menjadi tempat wisata, baik oleh Pemerintah Daerah Bone Bolango, maupun yang dikelola sendiri oleh masyarakat.



Sesampainya di desa Botutonuo, kami sepakat mengunjungi perbukitan "Botu Langgelo" atau biasa lebih dikenal dengan nama "Batu Pandang". Mobil memasuki suatu areal yang telah di pagari, kurang lebih 100 meter dari tepi jalan raya. Setelah itu kami harus mendaki untuk mencapai persinggahan. Ternyata di sini ada 3 tempat persinggahan. Maka kamipun sepakat mengunjungi persinggahan yang pertama. 



Setelah kurang lebih 15 menit mendaki, sampailah kami pada persinggahan pertama di Bukit Pandang Botutonuo ini. Rasa lelah saat mendaki, seketika hilang saat melihat pemandangan alam yang tersaji di depan mata. 

Woooooowwww.....