Website counter

Tuesday, September 4, 2018

MANAJEMEN RISIKO RUMAH SAKIT




Manajemen risiko adalah upaya yang logis dan sistematis dalam pengelolaan risiko. Manajemen risiko merupakan bagian dari manajemen proses kegiatan dalam organisasi, yang bertujuan menurunkan risiko pada tahap yang tidak bermakna sehingga tidak menimbulkan kerugian.

Di rumah sakit, program-program manajemen risiko meliputi seluruh proses pelayanan atau kegiatan yang dilakukan di rumah sakit, termasuk kegiatan yang dilakukan oleh pihak ketiga. Pengelolaan manajemen risiko di rumah sakit meliputi manusia, material, mesin/fasilitas, hingga metode kerja. 

Penerapan manajemen risiko pada manusia selain pasien, rumah sakit juga harus menjamin keselamatan dan kesehatan karyawan, vendor, pengunjung, bahkan masyarakat sekitar lingkungan rumah sakit. Manajemen risiko di rumah sakit juga mengelola material, yang harus dipastikan bahwa keberadaan berbagai material di rumah sakit tidak menyebabkan risiko kerugian. Demikian pula faktor keamanan dari mesin, peralatan medis, bangunan dan semua fasilitas rumah sakit. 

Rumah sakit juga harus memastikan bahwa lingkungan rumah sakit sehat, aman dan nyaman, karena semua potensi bahaya yang ada dapat dikelola dengan baik. Tidak hanya terbatas sampai di situ, manajemen risiko rumah sakit bahkan bertanggung jawab atas keberlangsungan bisnis rumah sakit, di mana semua metode kerja baik klinis maupun non klinis termasuk dalam program manajemen risiko rumah sakit.

Rumah sakit adalah sebuah organisasi yang memiliki banyak sekali potensi bahaya. Potensi bahaya itu harus dikelola dengan baik, sehingga tidak merugikan atau menimbulkan kerusakan. Potensi bahaya di rumah sakit dapat menyebabkan berbagai resiko melalui berbagai faktor. 

Faktor organisasi dan manajemen bisa menjadi sumber risiko apabila struktur organisasi, standar kebijakan dan budaya keselamatannya tidak dikelola dengan baik. Kualifikasi staf, beban kerja, dukungan fasilitas dan administrasi bisa menjadi sumber risiko. Faktor komunikasi dan keberhasilan membangun budaya organisasi, hingga karakteristik pasien dan keluarga, merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya risiko di rumah sakit.

Bahaya potensial yang terdapat di rumah sakit juga cukup beragam. Bahaya potensial yang mengancam keselamatan dapat berupa bahaya mekanik, elektrik dan kinetik bisa menyebabkan kecelakaan. Demikian pula bahaya potensial yang mengancam kesehatan seperti halnya bahaya fisik, kimia, biologi, ergonomi maupun psikososial.

Ruang lingkup manajemen resiko di rumah sakit sangat luas, sehingga penerapan  program manajemen resiko dibagi dua berdasarkan potensi bahaya dalam pelayanan medis dan potensi bahaya non medis. 

Pengelolaan manajemen risiko pada proses pelayanan medis berhubungan dengan keselamatan pasien terkait dengan asuhan pasien, pedoman klinik, praktik kedokteran, serta berbagai literatur ilmiah dan regulasi yang sesuai dengan perkembangan pelayanan ilmu kedokteran. Manajemen risiko dalam proses pelayanan medis ini biasanya dikelola oleh Tim Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP).

Sedangkan pengelolaan manajemen risiko berdasarkan potensi bahaya non medis meliputi keselamatan secara umum, baik pasien, petugas rumah sakit, pengunjung, vendor serta masyarakat sekitar lingkungan rumah sakit, termasuk manajemen risiko yang meliputi, bahaya potensial dari fasilitas dan lingkungan. Pengelolaan manajemen resiko ini, lebih berfokus pada keselamatan umum yang tidak terkait proses pelayanan medis dan asuhan pasien. Penanggung jawab pada manajemen risiko ini, biasanya adalah Tim Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit (K3RS).

Program manajemen risiko yang dikelola Tim K3RS meliputi keselamatan kerja petugas rumah sakit, keselamatan dan keamanan rumah sakit, Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan limbahnya, penanggulangan bencana (emergency), proteksi kebakaran, peralatan medis, dan sistem utilitas.

Penerapan manajemen risiko baik terkait pelayanan medis maupun non medis,menggunakan metode yang sama. Manajemen risiko dimulai dari tahap persiapan, identifikasi risiko, analisis risiko, evaluasi risiko dan pengendalian risiko. Pada tahap persiapan, rumah sakit menentukan parameter yang akan digunakan dalam manajemen risiko. Kemudian rumah sakit mengidentifikasi risiko dengan mengenali potensi bahaya yang ada. Tahap ketiga menganalisa risiko. Terdapat metode penilaian secara analisis kualitatif, analisis semi kuantitatif dan campuran. Analisis risiko merupakan data awal untuk menilai apakah risiko bisa diterima atau tidak dan sebagai pedoman dalam penyusunan program pengendalian risiko. 

Tahap berikutnya evaluasi risiko, yaitu membandingkan antara hasil analisis risiko dengan kriteria risiko, membandingkan tingkat risiko yang ada dengan kriteria standar. Dari hasil evaluasi risiko, rumah sakit memiliki gambaran tentang risiko yang ada, dan menentukan prioritas penanggulangan risiko yang ada, kemungkinan kerugian dalam parameter biaya ataupun parameter lainnya. Evaluasi risiko juga merupakan informasi untuk mempertimbangkan tahapan pengendalian. Pada tahap ini, dapat ditentukan kategori tingkat risiko, sehingga rumah sakit dapat menentukan prioritas pengendalian risiko dan jangka waktu pengendaliannya.

Tahap terakhir adalah pengendalian risiko. Pada tahap ini, bila risiko tidak dapat diterima, maka risiko harus dikendalikan hingga risiko bisa diterima. Metode pengendalian risiko yang dapat diterapkan yaitu berdasarkan lokasinya atau berdasarkan hirarkinya. 


Pada dasarnya manajemen resiko di rumah sakit dimaksudkan untuk mengelola risiko keselamatan dan keamanan pada pasien, petugas rumah sakit, fasilitas rumah sakit, lingkungan rumah sakit termasuk pengunjung dan masyarakat sekitar, hingga kondisi bisnis rumah sakit. Dengan menerapkan manajemen resiko diharapkan mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit semakin meningkat.



Friday, August 24, 2018

HAK PASIEN DAN KELUARGA (HPK)



Salah satu customer penting rumah sakit adalah pasien dan keluarganya. Untuk dapat memberikan pelayanan yang baik, rumah sakit harus memperoleh kepercayaan dari pasien dan keluarganya, serta membangun komunikasi yang baik. Rumah sakit harus bisa memahami dan melindungi nilai-nilai budaya, psikososial, serta nilai spiritual pasien dan keluarganya.

Pasien dan keluarga berhak memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban mereka. Demikian pula, para staf di rumah sakit, harus dididik untuk memahami dan menghormati kepercayaan, nilai-nilai pasien dan keluarganya serta memberikan pelayanan dengan penuh perhatian.

Dalam SNARS edisi 1, Hak Pasien dan Keluarga diuraikan dalam standar-standar sebagai berikut :

Standar HPK 1
Ada regulasi bahwa RS bertanggungjawab dan mendukung hak pasien dan keluarga selama dalam asuhan.

Standar HPK 1.1
RS memberikan asuhan dengan menghargai agama, keyakinan dan nilai-nilai pribadi pasien, serta merespon permintaan yang berkaitan dengan bimbingan kerohanian

Standar HPK 1.2
Informasi tentang pasien adalah rahasia dan RS diminta menjaga kerahasiaan informasi pasien serta menghormati kebutuhan privacinya.

Standar HPK 1.3
RS menetapkan ketentuan untuk melindungi harta benda milik pasien dari kehilangan atau pencurian.

Standar HPK 1.4
Pasien yang rentan terhadap kekerasan fisik serta kelompok pasien yang beresiko diidentifikasi dan dilindungi.

Standar HPK 2
RS menetapkan regulasi dan proses untuk mendukung partisipasi pasien dan keluarga di dalam proses asuhan.

Standar HPK 2.1
Pasien diberitahu tentang semua aspek asuhan medis dan tindakan

Standar HPK 2.2
Pasien dan keluarga menerima informasi tentang penyakit, rencana tindakan, dan DPJP serta para PPA lainnya, agar mereka dapat memutuskan tentang asuhannya.

Standar HPK 2.3
RS  memberitahu pasien dan keluarganya tentang hak dan tanggungjawab mereka yang berhubungan dengan penolakan atau tidak melanjutkan pengobatan. 

Standar HPK 2.4  
RS menghormati keinginan dan pilihan pasien untuk menolak pelayanan, resusitasi, menunda atau melepaskan bantuan hidup dasar.
   
Standar HPK 2.5
RS mendukung hak pasien terhadap asesmen dan manajemen nyeri yang tepat.

Standar HPK 2.6
RS mendukung hak pasien untuk mendapatkan pelayanan yang penuh hormat dan penuh kasih sayang pada akhir kehidupannya

Standar HPK 3
RS memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarganya tentang proses untuk menerima, menaggapi dan menindaklanjuti bila ada pasien menyampaikan keluhan, konflik, serta perbedaan pendapat tentang pelayanan pasien. RS juga menginformasikan tentang hak pasien untuk berpartisipasi dalam proses ini.

Standar HPK 4
Semua pasien diberitahu tentang hak serta kewajiban dengan metode dan bahasa yang mudah dimengerti.

PERSETUJUAN UMUM (GENERAL CONSENT)
Standar HPK 5
Pada saat pasien diterima waktu mendaftar rawat jalan dan setiap rawat inap, diminta menandatangani persetujuan umum (general consent). Persetujuan umum harus menjelaskan cakupan dan batasannya.

PERSETUJUAN KHUSUS (INFORMED CONSENT)
Standar HPK 5.1
RS menetapkan regulasi pelaksanaan persetujuan khusus (informed consent) oleh DPJP dan dapat dibantu oleh staf yang terlatih dengan bahasa yang dapat dimengerti sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Standar HPK 5.2
Persetujuan khusus (informed consent) diberikan sebelum operasi, anestesi (termasuk sedasi), pemakaian darah dan produk darah, tindakan dan prosedur, serta pengobatan lain dengan resiko tinggi yang ditetapkan oleh regulasi rumah sakit.

Standar HPK 5.3
RS menetapkan proses dalam konteks peraturan perundang-undangan siapa pengganti pasien yang dapat memberikan persetujuan dalam informed konsent bila pasien tidak kompeten. 

PENELITIAN, DONASI DAN TRANSPLANTASI ORGAN
Standar HPK 6
Pimpinan RS bertanggungjawab untuk melindungi manusia/pasien sebagai subjek penelitian.

Standar HPK 6.2
RS memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarganya tentang bagaimana cara mendapatkan akses untuk penelitian/ uji klinis (clinical trial) yang melibatkan manusia sebagai subjek.

Standar HPK 6.3
RS harus memberi penjelasan kepada pasien dan keluarganya tentang bagaimana pasien ikut berpartisipasi dalam penelitian / uji klinis mendapatkan perlindungan.

Standar HPK 6.4
Informed consent penelitian diperoleh sebelum pasien berpartisipasi dalam penelitian/ uji klinis.

Standar HPK 7
RS mempunyai sebuah komite etik penelitian untuk melakukan pengawasan atas semua penelitian di RS tersebut yang melibatkan manusia/pasien sebagai subyeknya.

DONASI ORGAN
Standar HPK 8
RS memberi informasi pada pasien serta keluarga tentang bagaimana memilih untuk mendonorkan organ dan jaringan lainnya.

Standar HPK 8.1
RS menetapkan regulasi untuk melakukan pengawasan terhadap proses kemungkinan terjadi jual beli organ dan jaringan.

Standar HPK 8.2
RS menyediakan pengawasan terhadap pengambilan serta transplantasi organ dan jaringan.


Saturday, August 11, 2018

CAKE NENAS (DIET SEHAT)





Bahan :
200 gram nenas yang sudah dipotong-potong
65 ml santan kara (1 bungkus)
200 gram tepung terigu
100 gram mentega
100 gram gula halus
4 butir telur
Spikel untuk hiasan


Cara membuat :

  1. Nenas yang sudah dipotong-potong diblender bersama santan kara, sisihkan
  2. Mentega dan gula halus di mixer hingga lembut
  3. Tambahkan telur hingga tercampur rata
  4. Tambahkan sebagian tepung terigu sedikit demi sedikit sambil dimixer perlahan
  5. Masukkan nenas dan santan kara yang sudah diblender
  6. Tambahkan sisa tepung terigu
  7. Aduk perlahan hingga tercampur merata
  8. Tuang adonan ke dalam loyang yang sudah diolesi mentega dan ditaburi sedikit tepung terigu
  9. Masukkan dalam oven hingga setengah matang
  10. Keluarkan dan taburi permukaan cake dengan spikel
  11. Masukkan kembali dalam oven hingga matang
  12. Sajikan sesuai selera



Sunday, April 29, 2018

JASA PELAYANAN RS DI ERA SISTEM INA-CBGs




Sistem INA-CBGs menggunakan metode pembayaran prospektif, yaitu metode pembayaran yang besarannya sudah diketahui sebelum layanan kesehatan diberikan. Penentuan tarifnya berdasarkan pengelompokan diagnosis dan prosedur yang mengacu pada ciri klinis yang mirip atau sama. Total pembayaran tidak merinci tarif per item dari biaya sarana dan jasa pelayanan yang diberikan, sehingga seharusnya dibutuhkan suatu proses lagi agar biaya pelayanan dapat dibagi sesuai layanan yang telah diberikan, baik berupa sarana maupun jasa. 

Pembagian jasa pelayanan adalah pembagian prosentase pada operator utama dan operator lainnya sebagai penunjang, baik medis maupun non medis. Pekerjaan ini tidak bisa dianggap remeh, karena menyangkut perasaan-perasaan negatif yang bisa menimbulkan konflik internal, menurunnya motivasi kerja  serta kecemburuan sosial. Manajemen rumah sakit memiliki kewenangan penuh untuk mengatur prosentase pembagian jasa. Tugas manajemen rumah sakit adalah mengkonversikan jasa pelayanan dalam sistem INA-CBGs yang menggunakan perhitungan per paket pelayanan, ke sistem yang menggunakan perhitungan unit cost agar jasa pelayanan bisa dibagikan.

Pada dasarnya perubahan sistem dari perhitungan tarif pelayanan kesehatan berdasarkan unit cost, ke perhitungan tarif berdasarkan INA-CBGs yang menggunakan perhitungan per paket pelayanan, dimaksudkan untuk mengubah budaya, mindset dan perilaku semua SDM yang ada di rumah sakit. SDM rumah sakit diharapkan untuk bisa bekerja dengan lebih efektif dan efisien, baik dalam hal penggunaan waktu pelayanan, penggunaan sarana dan prasarana rumah sakit, serta memperhatikan kerjasama antar mitra kerja dalam proses-proses pelayanan kesehatan. 

Pada sistem perhitungan tarif yang menggunakan perhitungan unit cost, semua komponen sarana, prasarana dan jasa pelayanan dihitung per item berdasarkan realitas harga di mana rumah sakit itu berada (regional), sehingga tarif yang ditetapkan dapat menutupi biaya pelayanan rumah sakit. Berbeda dengan sistem perhitungan tarif berdasarkan INA-CBGs. Meskipun seperti diakui, bahwa sistem ini juga mempertimbangkan faktor regional, namun pada kenyataannya sangat banyak keluhan pada besaran perhitungan jasa setelah biaya sarana di pisahkan.  Beberapa penelitian bahkan membuktikan bahwa tarif pada pelayanan non tindakan/bedah seringkali lebih tinggi daripada tarif pelayanan dengan tindakan/bedah.

Beberapa pakar perumahsakitan mencoba menerapkan berbagai metode pembagian jasa, namun pada dasarnya setiap rumah sakit memiliki metode pembagian jasa pelayanan berbeda yang disesuaikan dengan kebijakan internal manajemen, perbandingan jumlah profesi maupun faktor-faktor internal lain yang perlu dipertimbangkan. Manajemen rumah sakit dituntut untuk mampu melihat masalah pembagian jasa ini secara utuh.

Peningkatan mutu rumah sakit dengan meningkatkan mutu pelayanan kepada pasien, alangkah baiknya diikuti dengan meningkatnya empati kepada mitra-mitra kerja di sekitar kita. Tidak ada pelayanan kesehatan yang bermutu tanpa gotong royong dari semua SDM yang ada di rumah sakit. Bekerja sama dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip kemitraan dalam pelayanan kesehatan adalah budaya yang terus disosialisasikan hingga kini. Dalam budaya rumah sakit, rekan kerja adalah customer internal, yang juga berhak memperoleh kepuasan dan kenyamanan dalam bekerja. Dokter sebagai operator penanggungjawab dalam sebuah proses pelayanan diberikan kewenangan untuk menandatangani, tapi bukan berarti petugas lainnya tidak penting. Di mana saja, dalam suatu proses yang melibatkan banyak profesi, sangat penting untuk memahami arti dari kata "mitra kerja". Meskipun mungkin salah satu memiliki peran yang dominan, bukan berarti peran profesi lain harus diabaikan.

Beberapa unit kerja di rumah sakit bisa saja memperoleh pemasukan yang besar, sebaliknya ada juga unit-unit tertentu yang hanya mampu menyumbangkan pemasukan yang sedikit. Hal ini terkait dengan jumlah pasien dan kasus penyakit, tentu saja ini bukan salah profesi. Namun rumah sakit sebagai institusi yang mempekerjakan, wajib memberikan rasa adil dan penghargaan jasa atas keberadaan mereka di dalam rumah sakit. Tentunya dengan mempertimbangkan berbagai faktor, pendidikan, profesi, hingga kebutuhan rumah sakit, Pemerintah dan masyarakat terhadap suatu profesi. 

Pada titik ini kita bisa melihat bahwa rumah sakit sebagai lembaga bisnis, sangat berbeda dengan lembaga bisnis lainnya. Rumah sakit tidak bisa mengabaikan jenis pelayanan hanya karena tidak memberikan keuntungan bisnis bagi rumah sakit. Kebutuhan dan tuntutan jenis pelayanan rumah sakit, justru menempatkan rumah sakit sebagai lembaga sosial, dimana yang lebih penting adalah menyediakan sebanyak mungkin jenis pelayanan kesehatan. Namun setiap ketersediaan jenis pelayanan di rumah sakit harus diikuti dengan ketersediaan profesi, peralatan medis dan non medis, serta obat dan Bahan Habis Pakai (BHP). Rumah sakit bertanggungjawab menyediakan semua itu, meskipun mungkin pola tarif dari pemberi jaminan pelayanan kesehatan, tak sebanding dengan nilai modal yang dikeluarkan.

Makin besar tipe suatu rumah sakit, maka makin banyak pula jenis-jenis pelayanan kesehatan yang harus disediakan oleh manajemen rumah sakit. Bagi rumah sakit umum, makin banyak jenis pelayanan yang tersedia, tentu saja makin baik. Pasien bisa memperoleh pelayanan sesuai jenis penyakitnya sehingga bisa menghemat banyak biaya, dibanding harus di rujuk ke rumah sakit lain yang lebih jauh. Namun harus diingat bahwa tiap jenis pelayanan tidak mungkin memberikan kontribusi yang sama kepada rumah sakit. 

Rumah sakit terdiri dari banyak profesi. Setiap profesi memiliki keahliannya masing-masing.  Profesi-profesi ini akan saling bekerjasama dalam suatu proses pelayanan, dan mereka disebut sebagai "mitra kerja". Beberapa profesi tertentu bisa jadi merupakan penyumbang besar dalam suatu proses pelayanan kesehatan. Tapi tanpa keterlibatan profesi lain, mustahil proses itu dapat berjalan sesuai standar pelayanan kesehatan. Oleh karena itu dalam pembagian jasapun haruslah mempertimbangan mitra kerja lainnya. Profesi lain mungkin memiliki keahlian yang terlihat tidak begitu penting, tapi suatu saat akan terasa sangat penting manakala kita harus bekerja sendiri. Di rumah sakit, sebagian profesi dapat terlihat besar dan sebagian lagi nampak kecil. Tetapi dari kacamata manajemen, semua orang harus bisa bekerja sama untuk mencapai tujuan. 


Manajemen rumah sakit diharapkan mampu memberi perasaan nyaman kepada semua SDM, meskipun mungkin ada profesi yang tidak setenar profesi lainnya, tapi paling tidak kebijakan dalam hal menghargai suatu profesi dapat dirasakan, disamping kebutuhan rumah sakit untuk melengkapi jenis pelayanan kepada customerDibutuhkan keseragaman pola pikir antar SDM rumah sakit, bahwa yang sebaiknya menjadi fokus utama adalah keberlangsungan rumah sakit. Manajemen rumah sakit seharusnya dapat memastikan apakah perhitungan bisnis rumah sakit mengalami surplus atau justru mengalami defisit. Dengan perhitungan sistem paket yg diterapkan pada tarif INA-CBGs, diharapkan SDM rumah sakit bisa melakukan penghematan dalam pemberian tindakan medis, penggunaan obat dan BHP. 

Penggunaan obat dan BHP yang tidak terkontrol justru menjadi salah satu sebab terjadinya defisit rumah sakit, karena pembayaran prospektif sudah menghitung secara paket bukan dihitung per unit cost. Tindakan pelayanan yang berlebihan, penggunaan obat dan BHP yang berlebihan, justru akan merugikan rumah sakit, termasuk para pemberi layanan kesehatan. Itulah sangat penting untuk mengetahui berapa selisih antara tarif berdasarkan perhitungan unit cost dan berdasarkan perhitungan tarif INA-CBGs. 

Jasa pelayanan hanyalah merupakan bagian dari sistem remunerasi. Sedangkan remunerasi itu sendiri sesuai definisinya adalah bentuk dari pemberian hadiah atau penghargaan atas jasa dsb. Dengan memberikan penghargaan atas kinerja, diharapkan etos kerja SDM dan mutu pelayanan rumah sakit, makin baik. 

Jasa pelayanan nilainya bersifat tidak tetap, tergantung kinerja SDM setelah dikonversi menggunakan sistem fee for services. Pada jaminan tarif BPJS besaran biaya telah dihitung per paket, jadi tidak mungkin menambah item kegiatan tertentu berdasarkan pertimbangan terapi, resiko pekerjaan, bahkan pertimbangan kepentingan pasien sekalipun, seperti misalnya menambah waktu perawatan atau menambah jenis pelayanan. 

Besaran tarif INA-CBGs yang digunakan oleh BPJS telah ditentukan berdasarkan pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur. Metode ini disebut metode pembayaran prospektif, dimana besaran nilai pembayaran telah diketahui sebelum pelayanan kesehatan diberikan. Tugas manajemen rumah sakit yang akan menerjemahkan sistem INA-CBGs yang digunakan pada tarif BPJS, dengan cara memecah sistem gelondongan itu menjadi potongan-potongan kecil, agar bisa sesuai dengan tarif rumah sakit yang menggunakan sistem unit cost, sehingga bisa dibagi secara adil pada porsinya masing-masing. 

Jika pembayaran berdasarkan tarif BPJS, rumah sakit mengalami kerugian setiap bulannya, maka perlu untuk mempertimbangkan menaikkan prosentase jasa sarana daripada jasa pelayanan rumah sakit, agar kelangsungan bisnis rumah sakit tetap terjaga. Makin rugi rumah sakit, maka seharusnya prosentase jasa pelayanan makin kecil dan jasa sarana lebih besar. Hal ini harus dipahami oleh semua SDM rumah sakit, karena bila rumah sakit mengalami defisit yang terus menerus, maka akan sangat mengganggu kenyamanan bekerja dan menurunnya mutu pelayanan. SDM rumah sakit tidak mungkin bisa bekerja dengan baik dalam suasana serba kekurangan, obat-obatan habis, BHP sering kosong, peralatan medis belum dikalibrasi, sarana prasarana rusak dan sebagainya. Namun di sisi lain, kondisi ini tentu saja akan mempengaruhi kepuasan customer internal dan kualitas pelayanan rumah sakit secara umum.

Kebijakan untuk lebih mengutamakan jasa sarana terutama untuk menutupi operasional kebutuhan obat dan BHP rumah sakit akan menyebabkan prosentase jasa pelayanan dikorbankan demi jasa sarana, demi institusi rumah sakit. Situasi defisit rumah sakit ini sangat terkait erat dengan model penetapan tarif dari pemberi jaminan (BPJS), serta ketepatan jadwal waktu pembayaran dari BPJS, yang mungkin seharusnya sangat perlu untuk dikaji kembali. Prinsip kendali mutu dan kendali biaya seyogyanya benar-benar diterapkan, baik oleh rumah sakit maupun institusi yang terkait, dalam hal ini BPJS.

Sebaliknya bila terjadi surplus, pimpinan rumah sakit bisa melakukan berbagai kebijakan seperti misalnya membagikan keuntungan sebagai tambahan bonus bagi SDMnya, atau bonus tambahan khusus untuk mereka yang memperoleh bagian jasa pelayanan sedikit atau tidak sama sekali, serta berbagai kebijakan lainnya seperti penambahan biaya operasional rumah sakit. Kebijakan pimpinan ini sama sekali tidak akan mempengaruhi besar kecilnya jasa pelayanan atau merugikan siapapun, sebab jasa pelayanan yang merupakan hak dari pemberi jasa pelayanan, sudah dihitung sebelumnya, sesuai perhitungan tarif berdasar unit cost dan sudah terbagi habis.

Melakukan perhitungan apakah rumah sakit mengalami surplus atau defisit adalah kewajiban, agar keberlangsungan rumah sakit tetap berjalan. Besaran tarif INA-CBGs bisa saja lebih besar dari tarif rumah sakit, namun hal itu bukan jaminan bahwa rumah sakit telah mengalami surplus. Tarif rumah sakit yang dihitung berdasarkan unit cost seharusnya diperbaharui secara berkala, sebab mengkonversi hitungan tarif yang menggunakan perhitungan unit cost yang telah kadaluarsa, hanya akan menghasilkan perhitungan yang tidak sesuai dengan nilai dan harga saat ini. Demikian pula, mengintervensi suatu sistem tanpa latar belakang pengetahuan yang cukup, akan menimbulkan banyak kebingungan bagi rumah sakit, karena perhitungan jasa sarana dan jasa pelayanan rumah sakit adalah bidang yang membutuhkan keakuratan dan disiplin keilmuan tertentu.   

Pada dasarnya pembagian jasa pelayanan merupakan domain dari manajemen rumah sakit. Ada banyak faktor yang membutuhkan kebijakan pimpinan yang harus dipahami oleh kalangan fungsional di rumah sakit. Beban manajemen rumah sakit makin berat manakala harus menerapkan suatu sistem tanpa persiapan sumber daya dan metode penerapan yang jelas dan rinci. Pada tahap ini, manajemen rumah sakit yang diberikan kewenangan untuk mengatur berbagai sistem di rumah sakit, membutuhkan kepercayaan dari semua SDM.  Rumah sakit merupakan suatu organisasi besar yang memiliki berbagai sistem di dalamnya. Rumah sakit mempekerjakan banyak orang yang terdiri dari berbagai macam profesi. Masing-masing individu cenderung akan mengelompok dan membentuk budaya dan mindset tersendiri tentang kelompoknya dan pandangannya terhadap kelompok lain. Oleh karena itu dibutuhkan kelompok manajerial yang berfungsi mengatur, tanpa keberpihakan.

Sunday, March 4, 2018

JASA PELAYANAN DALAM SISTEM REMUNERASI RUMAH SAKIT


Salah satu karakteristik rumah sakit adalah adanya mekanisme pembayaran jasa pelayanan dalam sistem remunerasinya. Akan tetapi pembagian jasa pelayanan ini seringkali menjadi sumber konflik di rumah sakit. Beberapa metode pembagian jasa pelayanan telah diterapkan dari tahun ke tahun untuk meminimalisir hal ini. Namun munculnya kebijakan baru dapat mempengaruhi metode pembagian jasa yang sudah ada, sehingga dibutuhkan metode baru lagi yang mampu meminimalisir rasa keadilan semua pihak.

Jasa pelayanan merupakan bagian dari sistem remunerasi rumah sakit. Remunerasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai pemberian hadiah (penghargaan atas jasa dan sebagainya) atau imbalan. Dalam PerMenDagri No. 61 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Badan Layanan Umum Daerah, dikatakan bahwa remunerasi merupakan imbalan kerja yang dapat berupa gaji, tunjangan tetap, honorarium, insentif, bonus atas prestasi, pesangon, dan atau pensiun. Sedangkan dalam KepMenKes No. 625 tahun 2010, dikatakan bahwa ketentuan dalam sistem remunerasi harus diatur sedemikian rupa secara jelas dan terkendali implementasinya, sehingga melalui sistem remunerasi tersebut pegawai akan mendapatkan rasa aman, berharga dan merasa diperlakukan  adil serta memiliki daya dorong, motivasi dalam mendukung sasaran usaha serta pengembangan BLU rumah sakit.


Sistem remunerasi meliputi 3 komponen utama :
  1. Pembiayaan untuk Pekerjaan/Jabatan  (Pay for Position), jenis remunerasi ini terkait dengan pekerjaan berupa gaji pokok dan tunjangan pekerjaan. Besarannya bersifat tetap dan rutin setiap bulan. Tujuan dari komponen ini adalah memberikan penghargaan atas komitmen dalam melaksanakan tuntutan pekerjaan.
  2. Pembiayaan untuk Kinerja (Pay for Performance), komponen ini berhubungan dengan pencapaian total target kinerja rumah sakit, dapat berupa insentif atau bonus pendapatan langsung dan rutin secara periodik. Besarannya tergantung pencapaian total target kinerja.
  3. Pembiayaan untuk Perorangan/Individu (Pay for people), komponen ini terkait kondisi individu yang dianggap perlu mendapat penghargaan melalui remunerasi sesuai kemampuan.
Dari ketiga komponen remunerasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa jasa pelayanan, terdapat pada komponen Pembiayaan untuk Kinerja (Pay for Performance). Jasa pelayanan bersama jasa sarana merupakan bagian dari tarif rumah sakit. Hal ini ditegaskan dalam UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yang mengatakan bahwa rumah sakit berhak menerima imbalan jasa pelayanan, serta menentukan remunerasi, insentif dan penghargaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Melalui regulasi di atas, legalitas mengenai jasa pelayanan bagi pegawai rumah sakit, diterapkan. Berbeda dengan jasa sarana yang menjadi penerimaan rumah sakit, jasa pelayanan akan dibagikan kepada pegawai yang berhak menerimanya. Tarif rumah sakit untuk kegiatan pelayanan diperhitungkan berdasarkan komponen jasa sarana dan jasa pelayanan pada rawat jalan, rawat inap dan rawat darurat. 

Komponen jasa sarana merupakan imbalan yang diterima oleh rumah sakit atas pemakaian akomodasi, bahan non medis, obat-obatan, bahan habis pakai (BHP), yang digunakan langsung dalam rangka pelayanan medis dan pelayanan penunjang medis. Sedangkan komponen jasa pelayanan merupakan imbalan yang diterima oleh pemberi pelayanan, atas jasa yang diberikan kepada pasien dalam rangka pelayanan medis, pelayanan penunjang medis dan atau pelayanan lainnya.

Dalam PerMenKes No. 85 tahun 2015 tentang Pola Tarif Nasional Rumah Sakit, penetapan tarif rumah sakit ditetapkan berdasarkan komponen biaya satuan (unit cost) dengan memperhatikan kondisi regional. Tarif rumah sakit berdasarkan unit cost diharapkan tidak merugikan rumah sakit setelah dihitung secara rinci semua penggunaan biaya sarana dan pelayanan. Dengan menggunakan unit cost, otomatis pembagian jasa pelayanan berprinsip pada sistem fee for services.

Sistem fee for services merupakan cara yang biasa digunakan untuk pembagian jasa pelayanan di rumah sakit. Cara ini menguntungkan pemberi pelayanan langsung, karena kemungkinan untuk memperoleh jasa pelayanan yang tidak terbatas sangat dimungkinkan. Demikian pula potensi seorang oknum pemberi pelayanan untuk melakukan moral hazard. Oknum pemberi pelayanan, dapat memberikan pelayanan tambahan yang sebenarnya tidak diperlukan untuk meningkatkan penerimaan jasa pelayanannya. Pada metode ini, jasa pelayanan berfokus pada petugas yang memberikan pelayanan langsung kepada pasien, tidak ada insentif untuk petugas bagian preventif careSistem fee for service menggunakan metode retrospektif, yaitu metode pembayaran yang dilakukan setelah layanan kesehatan diberikan yang dihitung berdasarkan setiap kegiatan yang dilakukan. 

Kelemahan pada metode ini memacu Pemerintah untuk menerapkan sistem baru melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yaitu sistem tarif INA-CBGs. Berbeda dengan penetapan tarif unit cost yang berdasarkan biaya satuan, sistem INA-CBGs ini menetapkan tarif berdasarkan paket pelayanan kesehatan, yang mencakup seluruh komponen biaya rumah sakit, mulai dari pelayanan non medis hingga tindakan medis berdasarkan penyakit pasien. Sistem ini mendorong rumah sakit dan pemberi pelayanan untuk memberikan pelayanan yang lebih efisien.

Masalah muncul ketika sistem tarif INA-CBGs diterapkan pada sistem pembagian jasa pelayanan di rumah sakit. Berdasarkan sistem paket, maka jasa pelayananpun dihitung secara paket bersama-sama jasa sarana dalam suatu proses pelayanan. Beberapa rumah sakit berusaha melakukan pembagian jasa pelayanan berdasarkan berbagai metode serta pertimbangan rasa keadilan, melalui kebijakan pimpinan rumah sakit. Rumah sakit lain bahkan melemparkan issue sistem pembagian jasa pada kelompok fungsional untuk didiskusikan, dengan alasan mencari sistem yang tepat untuk diterapkan. Cara terakhir ini seringkali memicu konflik ketidakpuasan dan diskusi yang tidak pernah selesai. Setiap profesi tentu saja akan melihat keadilan dari sudut pandangnya masing-masing. Sementara pimpinan otomatis akan dihadapkan pada pilihan berbagai tuntutan yang sulit.

Sebetulnya, dengan berkembangannya Sistem Jaminan Kesehatan Nasional saat ini, sistem pembagian jasa pelayanan juga terus berkembang di berbagai  rumah sakit di tanah air. Hingga saat ini, ada beberapa metode yang sudah diterapkan, dengan tetap berpatokan pada tarif rumah sakit berdasarkan perhitungan unit cost yang sesuai kondisi regional di mana rumah sakit itu berada. 

Metode Fee for Services merupakan sistem pembagian jasa yang sudah biasa digunakan untuk pembagian jasa di rumah sakit. Metode ini bisa tetap digunakan apabila hasil keseluruhan  penerimaan rumah sakit menghasilkan surplus (keuntungan), jika dihitung selisih antara pendapatan yang seharusnya diterima rumah sakit ketika menggunakan tarif rumah sakit, dengan klaim pembayaran yang diterima dari BPJS. Dengan metode ini rumah sakit dapat melakukan pembagian jasa berdasarkan tarif rumah sakit. Rumah sakit juga dapat melakukan subsidi silang, antara jasa pelayanan yang mengalami surplus dan jasa pelayanan yang mengalami defisit

Metode Konversi adalah metode yang berkembang setelah muncul sistem perhitungan per paket pelayanan. Metode ini sering digunakan karena rumah sakit kesulitan menggunakan metode fee for service secara langsung akibat pendapatan rumah sakit yang bervariasi setiap bulannya, kadang mengalami surplus, kadang terjadi defisit. Metode konversi dilakukan dengan cara mengkonversi komponen tarif berdasarkan proporsi yang sudah ditetapkan dalam tarif rumah sakit, terhadap jumlah pembayaran klaim BPJS. Konversi positif akan terjadi jika pembayaran klaim BPJS lebih besar dari total tarif rumah sakit untuk pelayanan yang diberikan. Sebaliknya konversi negatif terjadi jika pembayaran klaim BPJS lebih kecil daripada total tarif rumah sakit. Kelebihan sistem ini, bila rumah sakit mengalami keuntungan akan dinikmati secara bersama, bila rugipun ditanggung bersama.

Metode Flat digunakan pada rumah sakit yang pembayaran BPJS nya selalu lebih rendah daripada potensi pendapatan bila menggunakan tarif rumah sakit. Pada metode ini, rumah sakit menetapkan prosentase tetap pada tiga komponen tarif yang utama, yaitu biaya obat dan BHP, jasa sarana dan jasa pelayanan. Biaya obat dan BHP  merupakan komponen penting dan harus diprioritaskan. Obat dan BHP adalah biaya yang sudah terukur, namun rumah sakit sering kewalahan  membayar hutang ke distributor akibat kelalaian memprioritaskan komponen ini. Pada sistem flat, jasa pelayanan menjadi prioritas yang terakhir, dimana penetapannya antara 30 - 50 % total pendapatan. Pada tahap ini dibutuhkan keikhlasan dari jasa pelayanan, untuk lebih memprioritaskan komponen obat dan BHP serta komponen jasa sarana, untuk keberlangsungan rumah sakit.

Berbagai metode terus berkembang hingga saat ini. Metode terbaru adalah gabungan antara fee for service dan konversi atau metode konversi dan proporsi, semua itu merupakan upaya-upaya dalam rangka mencari solusi terhadap pembagian jasa pelayanan. Rumah sakit senantiasa mencari metode yang paling mendekati rasa keadilan semua pihak, dengan tidak mengorbankan anggaran operasional rumah sakit, terutama pada obat dan BHP. Pekerjaan ini tidak mudah, karena pada sistem INA-CBGs yang menggunakan perhitungan per paket pelayanan, tidak membagi per item seperti halnya pada sistem yang menggunakan perhitungan unit cost.

Keterbatasan sumber daya dapat menyebabkan beberapa sistem di rumah sakit butuh bantuan. Bekerjasama dengan lembaga konsultan rumah sakit atau mengikuti pelatihan merupakan salah satu cara yang bisa membantu rumah sakit dalam menerapkan sistem pembagian jasa pelayanan. Bagaimanapun, rumah sakit harus memperhatikan  kepuasan customer internal yang merupakan salah satu elemen penting dalam penilaian standar akreditasi.


CAKE LABU KUNING (DIET SEHAT)


Bahan :
650 gram labu kuning dikukus kemudian dilumatkan dengan garpu
200 gram gula halus (bisa dikurangi sesuai selera)
200 gram mentega
200 gram tepung terigu
2 butir telur
2 sachet susu bubuk (27 gram)
1 sendok teh baking powder
1/2 sendok teh garam
kismis secukupnya

Cara membuat :
1. Kocok gula halus dan mentega hingga lembut
2. Masukkan telur dan kocok terus
3. Tambahkan susu bubuk dan tepung terigu sedikit demi sedikit.
4. Tuangkan labu kuning, aduk rata
5. Masukkan baking powder dan garam
6. Tambahkan kismis, campur merata
7. Tuang adonan ke dalam loyang yang sudah diolesi mentega
8. Kukus hingga matang
9. Potong dan sajikan sesuai selera






Sunday, February 25, 2018

KEPOK TART (DIET SEHAT)


Bahan :

  • Pisang kepok matang 7 buah
  • Roti Tawar 1 bungkus (12 lembar)
  • 3 butir telur ayam, dipisah putih dan kuningnya
  • Susu kental manis 220 gr (1 sachet)
  • Air 1,5 liter
  • Gula 3 sendok makan
  • Vanili bubuk 1 sendok teh
  • Garam 1/2 sendok teh
  • Kismis secukupnya (rendam dengan air panas hingga lunak)
  • Mentega untuk olesan wadah


Cara Membuat : 
  1. Pisang kepok dipotong dadu, sisihkan 
  2. Roti Tawar dipotong dadu, sisihkan
  3. Campur kuning telur, susu kental manis, gula, vanili, garam dan air
  4. Masak hingga mendidih
  5. Masukkan potongan roti tawar
  6. Masukkan potongan pisang kepok
  7. Tambahkan sebagian kismis
  8. Masak hingga mendidih dan mengental
  9. Sediakan wadah tahan panas, olesi mentega
  10. Tuangkan campuran ke dalam wadah tahan panas
  11. Kocok putih telur hingga putih dan kaku
  12. Tuangkan di atas campuran dalam wadah tahan panas
  13. Hiasi permukaannya dengan kismis
  14. Panggang adonan dalam oven hingga bagian atas mengering dan berwarna kecoklatan
  15. Biarkan dingin, kemudian masukkan ke dalam kulkas
  16. Ambil dengan sendok dan nikmati dalam keadaan dingin


CAKE PISANG MAS (DIET SEHAT)









Bahan : 

  • 300 gr pisang mas
  • 100 gr tepung terigu
  • 5 sendok makan susu bubuk full cream
  • 1/2 sendok teh baking powder
  • 5 butir telur
  • 100 gr gula halus (bisa dikurangi sesuai selera)
  • 1 sendok teh TBM
  • 50 gr margarin cair
  • kenari yang sudah diiris memanjang secukupnya



Cara Membuat :
  1. Lumatkan pisang mas yang sudah matang dengan garpu, sisihkan
  2. Campur tepung terigu, susu bubuk dan baking powder, sisihkan
  3. Mixer telur dan gula hingga mengembang
  4. Tambahkan TBM, mixer hingga tercampur rata
  5. Masukkan pisang mas, mixer perlahan 
  6. Tambahkan campuran terigu, mixer perlahan 
  7. Tuangkan margarin cair, campurkan hingga rata
  8. Tuangkan adonan dalam loyang yang sudah diolesi mentega dan ditaburi terigu
  9. Panggang dalam oven sekitar 15 menit
  10. Keluarkan loyang dan taburi kenari di atas kue
  11. Panggang kembali hingga matang
  12. Keluarkan dari oven, dinginkan dan sajikan sesuai selera.

             

Wednesday, January 31, 2018

STANDAR MANAJEMEN RUMAH SAKIT DALAM SNARS EDISI 1




Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) Edisi 1 merupakan standar pelayanan yang berfokus pada pasien, dengan pendekatan manajemen resiko. Dalam SNARS Edisi 1 yang mulai berlaku pada 1 januari 2018, terdapat pengelompokan standar berdasarkan fungsi-fungsi umum dalam organisasi perumahsakitan. 


Standar Manajemen Rumah Sakit merupakan salah satu dari lima (5) kelompok standar yang ada dalam SNARS Edisi 1. Pada kelompok Standar Manajemen Rumah Sakit terdapat 6 Bab yang memiliki fungsi sejenis, terkait masalah manajemen rumah sakit. Berikut penjelasan dari 6 Bab yang terdapat dalam kelompok Standar Manajemen Rumah Sakit :

1. Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP)
Standar PMKP pada dasarnya merupakan tujuan utama pelayanan kesehatan. Terjaminnya mutu dan keselamatan pasien adalah tujuan dari semua pelayanan yang dilaksanakan oleh semua unit kerja yang ada di rumah sakit. Rumah sakit wajib membangun budaya mutu dan keselamatan ke arah perbaikan dan peningkatan proses pelayanan kesehatan. 
Tim PMKP dapat berbentuk Komite atau bentuk organisasi lainnya untuk mengelola program PMKP dan memastikan mekanisme koordinasi antar unit kerja dapat berjalan dengan baik. Tim PMKP harus menetapkan program prioritas, pendataan, pengukuran dan evaluasi. Keputusan dan perbaikan yang dibuat berdasarkan standar perumahsakitan, baik nasional maupun internasional.

2. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)
PPI merupakan standar yang bertanggungjawab mengidentifikasi dan menurunkan resiko infeksi yang terjadi di rumah sakit. Setiap rumah sakit harus memiliki program-program PPI yang disesuaikan dengan kebutuhan dan resiko infeksi yang ada di rumah sakit itu. Penanggungjawab program PPI dapat berbentuk komite atau bentuk organisasi lainnya, yang mampu mengkoordinasikan program PPI dengan semua unit kerja. Dalam melaksanakan program PPI, tim PPI dibantu oleh perawat PPI atau biasa dikenal sebagai IPCN (Infection Prevention and Contol Nurse). IPCN memiliki kompetensi untuk mengawasi serta supervisi semua kegiatan PPI. Dalam bekerja IPCN dibantu oleh beberapa perawat penghubung atau IPCLN (Infection Prevention an Control Link Nurse) dari unit-unit kerja.
  
3. Tata Kelola Rumah Sakit (TKRS)
Sebagai suatu organisasi, rumah sakit diharapkan mampu menjalankan kepemimpinan yang efektif dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Dalam standar TKRS, kepemimpinan dikelompokkan berdasarkan hierarki sesuai peraturan perundang-undangan. Pemilik rumah sakit memiliki kewenangan untuk menetapkan organisasi rumah sakit dan mengangkat pejabat pengelola rumah sakit, berdasarkan peraturan internal (corporate bylaws), yang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Standar TKRS secara umum mengatur tanggungjawab, kewenangan dan penerapan pengetahuan manajemen rumah sakit oleh pengelola rumah sakit dalam menjalankan misi, rencana strategis, rencana kerja, program dan kegiatan, pengawasan serta laporan akuntabilitas.

4. Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK)
Pada standar MFK, rumah sakit dituntut memiliki manajemen efektif. Standar MFK banyak melibatkan instansi lain, mulai dari perencanaan, pendidikan dan pemantauan. Keluasan standar MFK dalam program-program manajemen resiko, membutuhkan kerjasama dengan berbagai bidang keilmuan dan keahlian, baik medis maupun non medis. Rumah sakit diwajibkan memahami dan menerapkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, mulai dari perencanaan, pembangunan, pengadaan yang berhubungan dengan fasilitas fisik, sarana dan prasarana rumah sakit, hingga prosedur standar dan audit kelayakan. Demikian pula dalam hal pengoperasian fasilitas maupun sistem kerja, rumah sakit dituntut untuk memenuhi standar keselamatan, mulai dari perijinan hingga prosedur operasionalnya. Penerapan standar fasilitas dan keselamatan di rumah sakit, disesuaikan dengan standar yang berlaku pada regulasi pemerintah, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. 

5. Kompetensi dan Kewenangan Staf (KKS)
Standar KKS mengatur  sumber daya manusia di rumah sakit. Persyaratan pendidikan, kompetensi, kewenangan, ketrampilan, pengetahuan dan pengalaman staf merupakan standar untuk  memenuhi kebutuhan unit-unit kerja dalam memberikan pelayanan kesehatan pada pasien. Perencanaan kebutuhan staf berdasarkan perencanaan strategis dan perencanaan tahunan rumah sakit, mampu meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. Dalam standar KKS, pimpinan unit kerja dilibatkan dalam membuat rencana pola ketenagaan. Berdasarkan kompetensi dan kewenangan, setiap staf memiliki tanggungjawab sesuai uraian tugas dan fungsinya. Dengan menerapkan standar KKS, rumah sakit diharapkan mampu memenuhi kebutuhan staf, baik medis maupun non medis sesuai kebutuhan rumah sakit, berdasarkan keragaman pasien, layanan diagnostik dan klinis rumah sakit, jumlah pasien, teknologi medis yang tersedia, serta misi rumah sakit.

6. Manajemen Informasi dan Rekam Medis (MIRM)
Dalam proses pelayanan kesehatan di rumah sakit, informasi merupakan salah satu sumber daya penting yang harus dikelola dengan baik. Manajemen informasi terkait asuhan pasien dalam rangka komunikasi antar staf, dibuat dalam bentuk tertulis baik kertas ataupun elektronik yang biasa disebut rekam medis. Proses kegiatan manajemen informasi dalam rekam medis dimulai saat pasien diterima di rumah sakit. Standar MIRM mengatur administrasi pelayanan kesehatan di rumah sakit, melalui suatu sistem pengelolaan rekam medis yang efektif dan terintegrasi, dapat dipertanggungjawabkan, berfokus pada pasien dan keselamatan pasien. Rekam medis memuat informasi yang memadai untuk mengidentifikasi pasien, mendukung diagnosis, dasar pengobatan, dokumentasi pemeriksaan dan hasil pengobatan serta kesinambungan pelayanan antar profesional pemberi asuhan.

Wednesday, January 17, 2018

K3RS DALAM STRUKTUR ORGANISASI RUMAH SAKIT




Sejak akhir abad ke 18, program-program K3 telah banyak diterapkan dalam sektor industri. K3 merupakan salah satu program, yang memperoleh perhatian penting dalam manajemen industri. Pada struktur organisasi perusahaan industri, departemen K3 menempati salah satu departemen penting yang letaknya dibawah Pimpinan atau General Manajer. Pada perusahaan industri, pesan-pesan keselamatan sudah terlihat sejak sebelum kita memasuki lokasi industri, dan akan selalu tampak ketika kita masuk ke dalam wilayah itu. 


Dalam bidang kesehatan khususnya di Indonesia, program-program K3 sudah mulai bergeliat sejak UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan ditetapkan. Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas kesehatan dituntut untuk ikut serta menyelenggarakan program-program K3. Sebagai salah satu industri dalam bidang kesehatan, rumah sakit justru terindikasi memiliki banyak masalah-masalah K3 yang tidak terdeteksi. Implementasi K3 di rumah sakit berjalan terseok-seok. Selain karena minimnya tenaga K3 kesehatan di rumah sakit, fokus pelayanan kesehatan yang bertumpu pada "kewajiban memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien" merupakan salah satu faktor terabaikannya keselamatan dan kesehatan kerja bagi Petugas pemberi pelayanan. 


Pengetahuan mengenai K3 dalam pendidikan kesehatan sudah dianggap merupakan bagian dari pendidikan itu sendiri. Hal ini memberi kesan bahwa petugas kesehatan seharusnya lebih menguasai pengetahuan K3. Namun data-data yang terungkap beberapa tahun belakangan ini, justru problem-problem K3 di rumah sakit secara signifikan jauh lebih besar dialami oleh petugas kesehatan, dibanding problem K3 di industri non kesehatan. 

Petugas rumah sakit setiap saat berhadapan dengan orang sakit, obat-obatan, peralatan medis hingga struktur bangunan yang memiliki banyak bahaya penyakit dan kecelakaan. Waktu kerja Petugas rumah sakit juga berbeda dengan pekerja pada umumnya. Resiko keselamatan dan resiko kesehatan di lingkungan rumah sakit dapat terjadi dari faktor fisika, kimia, biologi, ergonomis hingga faktor psikologis. Masalah ini diperparah dengan banyaknya kasus di rumah sakit yang tidak dapat dilaporkan, akibat tidak adanya sistem dalam struktur organisasi rumah sakit yang menangani permasalahan K3 secara khusus. 

Keselamatan dan  kesehatan kerja di rumah sakit semakin  menjadi perhatian semua pihak, setelah rumah sakit dituntut memberikan pelayanan yang bermutu dengan ditetapkannya standar pelayanan rumah sakit melalui instrumen akreditasi rumah sakit. Regulasi K3RS kemudian ditetapkan dalam PerMenKes No. 66 tahun 2016 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit. 

Rumah Sakit memiliki tingkat risiko keselamatan dan Kesehatan Kerja sesuai dengan tingkatan tipe suatu rumah sakit. Rumah sakit dengan tipe A atau B memiliki tingkat resiko yang lebih besar, karena rumah sakit tersebut memiliki bermacam-macam jenis pelayanan, sarana, prasarana dan teknologi, serta semakin banyak keterlibatan manusia di dalamnya, baik Sumber Daya Manusia Rumah Sakit, pasien, pengunjung, pengantar, vendor, dan lain sebagainya.

Untuk terselenggaranya K3RS secara optimal, efektif, efesien dan berkesinambungan, Rumah Sakit membentuk atau menunjuk satu unit kerja fungsional yang mempunyai tanggung jawab menyelenggarakan K3RS. Unit kerja fungsional itu dapat berbentuk komite tersendiri atau terintegrasi dengan komite lainnya, dan/atau instalasi K3RS.
Kebutuhan untuk membentuk unit kerja fungsional tersebut disesuaikan dengan besarnya tingkat risiko keselamatan dan Kesehatan Kerja, sehingga Rumah Sakit dapat memiliki komite atau instalasi K3RS, atau memiliki keduanya.

Komite atau Instalasi K3RS, memiliki mekanisme kerja dan tugas fungsi sebagai berikut:

1. Komite K3RS

Ketua Komite bertanggungjawab kepada Direktur utama Rumah Sakit. Komite memiliki anggota yang terdiri dari semua jajaran Direksi dan/atau kepala/perwakilan setiap unit kerja, (Instalasi/Bagian/Staf Medik Fungsional). Sekretaris merupakan petugas kesehatan yang  bertanggung jawab dan melaksanakan tugas secara purna waktu dalam mengelola K3RS, mulai dari persiapan sampai koordinasi dengan anggota Komite. Bila tidak terdapat sekretaris purna waktu maka Komite dapat membentuk Sub Komite di bawak Ketua Komite, sesuai bidang-bidang K3RS yang dibutuhkan.

2. Instalasi K3RS
Kepala Instalasi K3RS bertanggung jawab kepada Pimpinan Teknis. Instalasi minimal melaksanakan 3 fungsi yang terdiri dari :
a) Kesehatan Kerja meliputi upaya promotif, preventif, dan kuratif serta rehabilitatif.
b) Keselamatan Kerja meliputi upaya pencegahan, pemeliharaan, penanggulangan dan pengendalian.
c) Lingkungan Kerja meliputi pengenalan bahaya, penilaian risiko, dan pengendalian risiko di tempat kerja.

Komite K3RS atau instalasi K3RS bertugas

  1. Mengembangkan kebijakan, prosedur, regulasi internal K3RS, pedoman, petunjuk teknis, petunjuk pelaksanaan dan Standar Prosedur Operasional (SPO) K3RS untuk mengendalikan risiko.
  2. Menyusun program K3RS.
  3. Menyusun rekomendasi untuk bahan pertimbangan pimpinan Rumah Sakit yang berkaitan dengan K3RS.
  4. Memantau pelaksanaan K3RS.
  5. Mengolah data dan informasi yang berhubungan dengan K3RS.
  6. Memelihara dan mendistribusikan informasi terbaru mengenai kebijakan, prosedur, regulasi internal K3RS, pedoman, petunjuk teknis, petunjuk pelaksanaan dan (SPO) K3RS yang telah ditetapkan.
  7. Mengadakan pertemuan secara teratur dan hasilnya di sebarluaskan di seluruh unit kerja Rumah Sakit.
  8. Membantu Direktur Rumah Sakit dalam penyelenggaraan SMK3 Rumah Sakit, promosi K3RS, pelatihan dan penelitian K3RS di Rumah Sakit.
  9. Pengawasan pelaksanaan program K3RS.
  10. Berpartisipasi dalam perencanaan pembelian peralatan baru, pembangunan gedung dan proses.
  11. Koordinasi dengan wakil unit-unit kerja Rumah Sakit yang menjadi anggota organisasi/unit yang bertanggung jawab di bidang K3RS.
  12. Memberikan saran dan pertimbangan berkaitan dengan tindakan korektif.
  13. Melaporkan kegiatan yang berkaitan dengan K3RS secara teratur kepada Direktur Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan yang ada di Rumah Sakit.
  14. Menjadi investigator dalam kejadian PAK dan KAK, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tuesday, January 16, 2018

SEKILAS TENTANG SNARS EDISI 1




Sejak ditetapkan pada tahun 1995 untuk menilai mutu pelayanan rumah sakit di Indonesia, standar akreditasi beberapa kali mengalami perubahan. Standar akreditasi menjadi acuan untuk menilai kepatuhan rumah sakit terhadap standar pelayanan kesehatan. Hingga desember 2017, berlaku Standar akreditasi versi 2012, dan pada januari 2018 penilaian mutu pelayanan rumah sakit mulai menggunakan standar akreditasi yang baru, yang diberi nama Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) Edisi 1. 


Berbeda dengan standar akreditasi sebelumnya, SNARS edisi 1 dibuat dengan memperhatikan kondisi dan situasi rumah sakit di Indonesia. Proses penyusunan SNARS Edisi 1, melalui beberapa tahapan dengan berpatokan pada prinsip standar akreditasi dari The International Society for Quality in Health Care (ISQua). Masukan dari berbagai pihak, Rumah Sakit di Indonesia serta masyarakat umum menjadi perhatian utama dari Tim Penyusun untuk memperbaiki standar pelayanan kesehatan sehingga layak dan sesuai untuk diterapkan oleh rumah sakit di Indonesia. 

SNARS Edisi 1 merupakan standar pelayanan berfokus pada pasien untuk meningkatkan mutu dan keselamatan pasien dengan pendekatan manajemen resiko di rumah sakit. Dari segi tata bahasa, SNARS lebih terasa Indonesia dibanding standar-standar sebelumnya, sehingga diharapkan dapat lebih mudah untuk di implementasikan. 

Setiap elemen penilaian dalam SNARS Edisi 1 dilengkapi dengan tanda "R, D, O, W, S" yang berarti :

  • "R" = Regulasi, yaitu dokumen pengaturan yang disusun oleh rumah sakit, bisa berupa Kebijakan, Prosedur (SPO), Pedoman, Panduan, Peraturan Direktur RS, Keputusan Direktur RS dan atau Program.
  • "D" = Dokumen, adalah bukti proses kegiatan atau pelayanan yang dapat berbentuk berkas rekam medis, laporan dan atau notulen rapat dan atau hasil audit dan atau ijazah dan bukti pelaksanaan kegiatan lainnya.
  • "O" = Observasi, merupakan bukti kegiatan yang berdasarkan hasil penglihatan/observasi yang dilakukan oleh Surveior.
  • "W" = Wawancara, yaitu kegiatan tanya jawab yang dilakukan oleh Surveior kepada Pemilik, Direktur RS, Pimpinan RS, Profesional Pemberi Asuhan (PPA), Staf klinis, Staf non klinis, Pasien, Keluarga, Tenaga kontrak dan lain sebagainya. 
  • "S" = Simulasi, adalah peragaan kegiatan yang dilakukan oleh Staf RS yang diminta oleh Surveior. 


SNARS edisi 1 terdiri dari 16 Bab dan dikelompokkan sebagai berikut :

I. Sasaran Keselamatan Pasien (SKP)
  •    Sasaran 1. Mengidentifikasi pasien dengan benar
  •    Sasaran 2. Meningkatkan komunikasi yang efektif
  •    Sasaran 3. Meningkatkan keamanan obat-obatan yang harus diwaspadai (High Alert       Medications)
  •    Sasaran 4. Memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar, pembedahan pada pasien yang benar

II. Standar Pelayanan Berfokus Pasien
  1. Akses ke Rumah Sakit dan Kontinuitas Pelayanan (ARK)
  2. Hak Pasien dan Keluarga (HPK)
  3. Asesmen Pasien (AP)
  4. Pelayanan dan Asuhan Pasien (PAP)
  5. Pelayanan Anestesi dan Bedah (PAB)
  6. Pelayanan Kefarmasian dan Penggunaan Obat (PKPO)
  7. Manajemen Komunikasi dan Edukasi (MKE)
III. Standar Manajemen Rumah Sakit
  1. Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP)
  2. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)
  3. Tata Kelola Rumah Sakit (TKRS)
  4. Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK)
  5. Kompetensi dan Kewenangan Staf (KKS)
  6. Manajemen Informasi dan Rekam Medis (MIRM)

IV. Program Nasional
  • Menurunkan Angka Kematian Ibu dan Bayi
  • Menurunkan Angka Kesakitan HIV/AIDS
  • Menurunkan Angka Kesakitan TB
  • Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA)
  • Pelayanan Geriatri

V. Integrasi Pendidikan Kesehatan dalam Pelayanan Rumah Sakit (IPKP)


Dengan diberlakukannya SNARS Edisi 1 ini, diharapkan mutu pelayanan dan keselamatan rumah sakit di Indonesia akan menjadi lebih baik, sejajar dengan rumah sakit negara maju yang berstandar internasional.