Website counter

Thursday, May 5, 2016

MEMAHAMI SISI LAIN POLIGAMI RASULULLAH


       

       Nabi Muhammad SAW dalam hidupnya ditakdirkan memiliki beberapa istri. Kehidupan poligami beliau seringkali disalahartikan. Namun bagi seorang muslim yang berusaha belajar dari sejarah Rasulullah, kehidupan poligami beliau dapat dipahami merupakan bagian dari dakwah yang menjadi tugas utama seorang Nabi.
      Berbeda dengan Nabi dan Rasul sebelumya yang hanya diutus Allah untuk kaum tertentu, Muhammad SAW diutus untuk seluruh umat manusia dan kehidupannya dijadikan Allah SWT sebagai pola atau patron bagi manusia lainnya. Allah SWT mentakdirkan beliau beristri lebih dari satu adalah merupakan bagian dari dakwah, bagian dari contoh, agar manusia dapat belajar bagaimana menjalani kehidupan dalam rumah tangga dan bermasyarakat. 
      Rumah tangga adalah suatu organisasi yang terkecil dalam suatu hubungan antar manusia. Allah SWT mentakdirkan poligami untuk dijalankan Muhammad SAW, karena dari rumah tanggalah sumber dari semua permasalahan manusia. Dengan memposisikan diri sebagai teladan, Muhammad SAW mengorbankan perasaan pribadinya, demi agar manusia lain bisa dengan mudah menanggapi pesan-pesan Ilahi secara lebih kongkrit. Sebagai manusia utusan Tuhan, ketakwaan Muhammad SAW sudah sampai pada tahap tertinggi, dimana beliau telah benar-benar menanggapi Al-Quran dan hidup patuh dengan perintahNya. Meskipun mungkin ada interpretasi negatif terhadap kehidupan poligami beliau, tetapi masih jauh lebih banyak hal-hal yang positif dan bermanfaat untuk dipelajari umatnya sepanjang sejarah kemanusiaan.
      Dalam QS. Al-Ahzab:51 Allah SWT memberi kebebasan kepada Muhammad SAW untuk menggauli atau tidak menggauli istri-istrinya, hal ini merupakan keistimewaan bagi Muhammad ketika para suami lainnya diwajibkan untuk menggauli istri mereka. Allah SWT menyambung ayat tersebut dengan kalimat, "....Yang demikian itu lebih dekat untuk ketenangan hati mereka, dan mereka tidak merasa sedih, dan mereka rela dengan apa yang telah engkau berikan kepada mereka semuanya. Dan Allah mengetahui apa yang (tersimpan) dalam hatimu. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun".
      Allah mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati RasulNya. Seorang manusia yang rela mengorbankan perasaannya, demi agar menjadi contoh bagi manusia lainnya. Nabi memberi contoh kepada kita tentang banyak hal dalam kurun masa hidupnya yang singkat dalam berumah tangga. Memberi banyak contoh kepada seluruh manusia agar dikemudian hari manusia bisa belajar banyak dari teladan yang ditinggalkannya. Sehingga kehidupannya yang sangat beragam, rumah tangganya yang bermacam-macam meninggalkan cerita yang sangat bervariasi dan kemudian ditulis dalam "Hadist Nabi Muhammad SAW". Hingga saat ini kita belajar dari banyak sisi tentang kehidupan beliau. Teladannya menjadi rujukan umat Muslim dalam mencari solusi tentang berbagai permasalahan dalam hidup.
     Seandainya Nabi Muhammad SAW ditakdirkan beristri satu saja, maka tidak akan banyak yang bisa kita teladani dari beliau. Sampai istri pertama beliau meninggal Khadijah binti Khuwailid, beliau menjalankan rumah tangga yang monogami. Tetapi kita harus mengakui bahwa setelah Khadijah meninggal dan beliau menjalankan poligami, ada sangat banyak teladan yang ditinggalkan dan diriwayatkan oleh istri-istri yang dinikahinya kemudian. Sampai saat ini kisah-kisah kehidupan rumah tangga Muhammad dengan masing-masing istrinya, menjadi kekayaan rujukan bagi setiap muslim dalam menjalani kehidupan, baik dalam berumah tangga, bermasyarakat maupun dalam beribadah kepada Tuhan. 
        Kisah cinta yang romantis hingga akhir hayat Muhammad SAW, dapat kita temui dari cerita istri beliau Aisyah, begitu banyak hadist dari Aisyah yang menceritakan bagaimana Rasulullah menjalani kehidupan rumah tangganya dengan penuh kasih sayang. Dan bagi seorang muslim, tidak ada kisah cinta yang begitu memukau dari pada kisah cinta yang telah diteladankan Muhammad SAW. 
     Bila kita menyelami lebih jauh kehidupan Nabi, tak ada kata yang layak untuk mengungkapkan betapa luar biasanya seorang Muhammad SAW. Hanya jiwa yang agung yang mampu mengorbankan hidup dan perasaannya agar dapat menjadi teladan manusia lain. Sebagai manusia, tidak mudah membagi cinta, membagi hati, membagi kasih seperti yang telah dilakukan beliau. Kita belajar dari banyak hadist bagaimana perlakuan Nabi kepada istri-istrinya. Kita juga mengetahui bahwa hanya Aisyah binti Abu Bakar As-Shiddiq yang berusia muda dan masih gadis dari semua istri Nabi, bahkan beberapa sudah berusia lanjut ketika dinikahi. Jelas sekali perbedaan poligami yang hanya dipahami sebagai pelampiasan hawa nafsu dengan poligami yang dijalani Rasulullah.
        Sungguh, takdir itu dijalaninya dengan ikhlas karena begitu cintanya beliau kepada kita, beliau mengorbankan hidupnya, hanya agar kita bisa belajar. Agar setiap laki-laki bisa belajar menjadi seorang pemimpin, seorang imam bagi keluarga ataupun bagi masyarakat, seperti apa yang dicontohkan Muhammad SAW. Dan setiap perempuan bisa belajar menjadi seorang istri, seorang ibu maupun menjadi seorang sahabat seperti halnya para Ummul Mukminin. Dalam Islam, menjadi laki-laki hanya ada satu tipe. Setiap laki-laki dilahirkan sebagai pemimpin, sebagai imam, sebagai panutan bagi lingkungannya.
       Berbeda dengan menjadi perempuan atau sebagai istri, ada banyak teladan yang bisa menjadi rujukan kita. Kita bisa menjadi perempuan atau istri yang berbisnis dan kaya raya, seperti Khadijah binti Khuwailid. Di sini kita belajar bahwa dalam Islam, perempuan diberi kebebasan untuk berkarier, memiliki harta dan mendukung penuh perjuangan suaminya dengan cinta dan hartanya
     Atau ada pula mungkin yang bernasib seperti Saudah binti Zam'ah, seorang janda dengan 5 orang anak yang hidup sendiri tanpa keluarga. Saudah berusia 55 tahun ketika dinikahi oleh Rasulullah, sungguh usia yang cukup tua untuk standar perempuan yang layak dinikahi.  Tetapi ada lebih banyak hikmah yang dapat kita petik dari pernikahan ini. Rasulullah memberikan teladan pada kita, bagaimana mengambil tanggung jawab seorang suami dan ayah, bagi seorang perempuan dengan 5 orang anak yang sudah tidak memiliki sanak saudara. 
      Atau mungkin kita bisa menjadi perempuan yang sangat cerdas dan berani seperti halnya Aisyah binti Abu Bakar. Aisyah merupakan tipe perempuan yang sangat gemar belajar, gemar bertanya dan haus ilmu pengetahuan.  Dari beliau kita banyak mengetahui ilmu-ilmu Allah yang diwahyukan melalui Muhammad SAW.  Begitu pula halnya dengan kehidupan pribadi Muhammad, cerita Aisyah menjadi rujukan yang paling dipercaya sepanjang masa. 
       Kita juga bisa meneladani Hafshah binti Umar bin Khatab, seorang wanita yang ahli ibadah, rajin puasa dan shalat malam. Kita juga bisa seperti Zainab binti Khuzaimah, seorang wanita yang sangat dekat dengan kaum duafa. Juga bisa seperti Hindun binti Umayyah, seorang janda yang ditinggal mati suami yang sangat dicintainya, tetapi kemudian berserah diri dan ikhlas kepada Allah, hingga Allah SWT mentakdirkan Rasulullah SAW menikahinya. 
        Kita juga bisa belajar hukum pernikahan dalam Islam tentang pernikahan antar kerabat dekat dengan merujuk pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Zainab binti Jahsy. Zainab adalah saudara sepupu Nabi, ibu Zainab dan ayah Muhammad SAW bersaudara kandung. Di samping itu Zainab adalah mantan istri anak angkat Nabi yaitu Zaid. Budaya ketika itu sebelum datangnya Islam, kedudukan anak angkat sama dengan kedudukan anak kandung, sehingga haram hukumnya menikahi mantan istri anak angkat. Dari pernikahan itu kita mengetahui bahwa Islam tidak melarang perkawinan saudara sepupu, juga tidak melarang ayah angkat menikahi mantan istri anak angkatnya. Di sini kita belajar tentang nasab seorang anak angkat tidak boleh dihapus hanya karena mngadopsinya menjadi anak. Dari kisah ini Allah menegaskan bahwa tidak layak mengada-adakan hukum yang justru mempersulit kehidupan manusia. Dari pernikahan ini pula kita mengetahui bahwa ketika budaya dihadapkan dengan syariah, maka sebagai muslim kita harus mendahulukan syariah.
       Dari Juwairiyah binti Al Harits kita belajar tentang kehidupan seorang wanita non muslim yang menjadi mualaf. Kita juga belajar bagaimana status manusia dalam pandangan Islam, mengingat  latar belakang Juwairiah yang adalah seorang budak tawanan perang. Dari pernikahan ini juga para sahabat Rasulullah belajar memerdekakan budak-budak mereka dan menerima pandangan Islam bahwa manusia sama di mata Allah SWT. Ide yang sangat sulit diterima pada jaman itu, bahkan sampai hari ini masih saja ada manusia yang memandang rendah kepada manusia lain hanya dengan menilai statusnya dalam masyarakat. Begitu pula halnya dengan Syafiyah binti Huyai, seorang dari kalangan terkemuka Yahudi, ayahnya adalah salah seorang kepala suku dari masyarakat Yahudi. Pernikahan ini mengajarkan bagaimana kedudukkan seseorang tidak direndahkan dalam Islam, bahkan menjadikannya lebih mulia. Di sini kita belajar bahwa tidak mengapa menikahi non muslim, tetapi setelah dia menerima menjadi mualaf.
        Ummu Habibah binti Abu Sufyan mengajari kita bagaimana berpegang teguh dalam agama, bahkan ketika orang terkasih berpaling menjadi murtad dan orangtua juga masih dalam keadaan kafir. Dan perempuan istimewa lainnya adalah Maimunah binti Al Harist, seorang perempuan yang mengajarkan kepada kita pentingnya menyambung tali silaturahim antara sesama muslim.
      Semoga kita mampu memahami teladan yang diwariskan Nabi Muhammad SAW dan Ummul Mukminin, wanita-wanita mulia di dunia dan akherat. Marilah belajar menyelami lebih dalam maksud yang menjadi inti utama dari pesan-pesan Ilahiah. Memahami poligami yang ditakdirkan untuk dijalani oleh Rasulullah. Dari QS. Al-Ahzab:51 kita bisa menangkap pesan Allah bagi orang-orang yang mau berpikir, bahwa poligami yang dijalani Nabi Muhammad SAW sama sekali tidak berorientasi sexual, bahkan sebagai manusia biasa sangatlah berat kewajiban itu ditanggung Muhammad SAW, sehingga Allah merasa perlu menegaskan di akhir surah itu, ".....Dan Allah mengetahui apa yang (tersimpan) dalam hatimu. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun".