Website counter

Wednesday, June 17, 2015

BELAJAR BERSAMA



     Waktu sudah menunjukkan pukul 24.00, kami berempat masih membahas pelajaran untuk ujian besok. Sebenarnya aku tidak begitu suka belajar bersama, apalagi  EBTANAS sudah berlangsung. Tapi tadi pagi di sekolah, Gun, Olan dan Banco menghampiriku, mereka ingin belajar bersama di rumah. Gun dan Olan tinggal di lorong sebelah, masih satu kompleks denganku. Sedangkan Banco ada pamannya yang tinggal di kompleks kami, jadi mungkin dia akan bermalam di rumah pamannya itu.
      
     Kami berempat sekelas di kelas tiga IPA satu. Ketiga temanku itu laki-laki. Sesekali terdengar gurauan berbisik Gun dan Banco, kami berempat cekikikan takut-takut. Suasana belajar kali ini memang agak lain, mungkin karena tidak ada temanku yang perempuan.  Apalagi sedari tadi papa mondar-mandir dengan sapu lidi di tangannya,  sedang berburu nyamuk. Bagiku gaya papa ini sudah biasa, karena hampir setiap malam papa selalu menemaniku belajar. (Baca juga : Pelajaran Mengarang). Bila aku belum tidur, maka papa pun tidak akan tidur dan aktivitasnya apalagi kalau bukan berburu nyamuk. Tapi bagi teman-temanku, gaya papa  antik, atau mungkin seperti mencurigai mereka. Mereka bertiga berusaha keras menampakkan wajah yang serius bila papa masuk ke ruang tamu, tempat kami belajar.
     Baru seminggu yang lalu kelas tiga IPA satu berduka, pasalnya dua teman kami Olan dan Didik kehilangan bapak mereka secara bersamaan. Pesawat yang ditumpangi mereka jatuh dan kedua orang tua temanku itu meninggal. Kami sekelas berusaha untuk menghibur Olan dan Didik, apalagi ujian tinggal beberapa hari lagi. Tetapi hari ini meskipun masih menggunakan pakaian serba hitam, Olan berusaha belajar bersama. Namun Olan agak pendiam, berbeda dengan Gun dan Banco yang sesekali bercanda. Bila papa masuk ke kamar, mereka melontarkan cerita-cerita lucu, bila papa keluar mereka akan memelototi buku dan mengerutkan dahi.
     
     Menginjak usia remaja perhatian papa pada kami makin ketat.  Papa selalu berusaha mengantar dan menjemput kami dari sekolah. Bila ada kegiatan ekstra kurikuler disore hari, papa akan sangat gelisah bila sampai hari gelap kami belum tiba di rumah. Papa akan berdiri diujung lorong, tempat biasanya mobil angkot berhenti. Dengan senter ditangan kanannya papa akan mengarahkan sinar senter itu ke arah penumpang yang turun. Beberapa orang silau melihat sinar itu, tetapi kemudian memaklumi ketika mengetahui itu papa. Sebagian besar penghuni kampung wowo, istilah yang diberikan buat deretan rumah di lorong kami, sudah tahu kalau papa lagi menunggu anak-anaknya pulang.
    Adikku Nang yang saat itu kelas satu SMA, sering kucing-kucingan keluar malam, bila temannya Ami datang menjemput. Suatu malam, papa ada tamu, Nang keluar lewat pintu belakang dan masuk ke pintu dapur rumah Ami. Beberapa saat kemudian papa menanyakan Nang padaku. Mama yang sedang nonton mengedipkan mata, aku paham segera menjawab, “Ada belajar di rumahnya Ami”. Sedetik aku ingat, ini malam minggu. Untung papa sibuk dengan tamunya lagi. Aku cepat-cepat pergi ke rumah Ami untuk memanggil Nang pulang. Kudapati ia sedang duduk di teras rumah bersama Ami dan dua orang cowok imut dengan kemeja lengan pendek yang digulung ke atas. Model keren tahun 80-an……
     Kalau gayaku lain lagi, mungkin aku ingin lebih terbuka dan tidak sembunyi-sembunyi. Cowok itu datang ke rumah, duduk di ruang tamu pada suatu malam minggu. Kami bercerita kesana kemari. Tapi ketika dia pulang, papa langsung menghampiriku, “Jangan dulu pacaran, kalau datang jangan lama-lama, tidak usah pake minum teh…”. Instruksi yang singkat, padat dan jelas.
     Hari telah melewati tengah malam ketika teman-temanku pamit pulang pada papa. Entah pelajaran apa yang tertinggal di otakku untuk ujian besok, tapi perhatian papa sangat terekam dalam ingatanku. Ujian tentang papa, kapanpun pasti aku ingat dan tidak pernah lupa. Papa menjaga kami bagai raja hutan yang melindungi keluarganya. Tapi ketika kami telah menyelesaikan pendidikan dan tiba saatnya ijab kabul, semuanya terasa mudah dan mengalir bagai air. (Baca juga : Restu Papa)
     Papalah satu-satunya orang yang menikahkan kami. Bukan dengan pilihan papa, tetapi dengan pilihan kami sendiri. Papa memberikan kepada seorang pria yang datang melamar, satu per satu anak perempuannya dengan tulus. Papa menjalani perannya sebagaimana yang seharusnya, sebagaimana yang kami inginkan terjadi dalam hidup kami. 

No comments: