Website counter

Wednesday, April 26, 2017

PANTAI BOLIHUTUO BOALEMO



Boalemo adalah salah satu kabupaten di Provinsi Gorontalo. Dari Kota Gorontalo, Tilamuta yang merupakan ibukota Kabupaten Boalemo dapat ditempuh dengan perjalanan darat sekitar 2 jam 30 menit. Sedangkan dari Bandara Jalaluddin kurang lebih 1 jam 30 menit. Letaknya di bagian selatan Provinsi Gorontalo, berhadapan langsung dengan Teluk Tomini. Dengan lokasi memanjang di bibir pantai selatan Gorontalo, Boalemo memiliki beberapa obyek wisata pantai yang sangat indah.


Pantai Bolihutuo adalah salah satu wisata andalan Kabupaten Boalemo. Pemandangan teluk yang indah dan gemuruh ombak berkejaran di pasirnya yang putih serta latar alam yang masih hijau royo-royo makin membuat pantai ini berkesan romantis.






Sepanjang pantai Bolihutuo ditumbuhi pohon cemara laut yang menaungi pasirnya yang putih. Pemerintah Kabupaten Boalemo telah menata kawasan ini agar layak dikunjungi wisatawan.



Terdapat beberapa gazebo untuk bersantai menikmati indahnya pemandangan teluk dari daratan. Adapula cottage yang disewakan bila ingin menginap. Pantai Bolihutuo juga telah dilengkapi dengan waterboom.



Untuk wisata laut, tersedia perahu dan banana boat yang siap membawa kita melihat pemandangan pesisir Teluk Tomini. Dari Pantai Bolihutuo ini pengunjung dapat menyeberang ke Pulau Cinta, menikmati Taman Laut Bitilia atau dive spot pemandangan bawah laut Teluk Tomini Kabupaten Boalemo.


Sunday, April 23, 2017

RUMAH SAKIT DALAM PERSPEKTIF CUSTOMER





Sebagai salah satu institusi yang memberikan pelayanan publik, rumah sakit semakin dituntut meningkatkan kualitasnya. Kesopanan petugas administrasi, kesigapan petugas medis, kenyamanan sarana, kelengkapan prasarana hingga kecanggihan peralatan medis menjadi harapan ketika kita mengunjungi sebuah rumah sakit.

Rumah sakit diharapkan mampu memberi pelayanan penginapan seperti halnya hotel berbintang. Pasien selalu berharap rumah sakit bisa memancing selera makan dengan sajian makanan seperti halnya restoran (harapannya rasa bintang lima, harga kaki lima). Semua orang menginginkan rumah sakit memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik, dari pada pelayanan kesehatan yang diberikan fasilitas kesehatan tingkat dasar seperti puskesmas atau klinik kesehatan lainnya.

Di sisi lain, petugas rumah sakit juga menginginkan hal yang sama. Petugas tentu saja berharap pasien-pasien yang dirawatnya bisa tidur beristirahat dengan nyaman, makan berselera dengan gizi yang memadai dan sesuai standar-standar medis. Makin cepat sembuh pasien, maka makin baiklah kinerja petugas dan makin bagus mutu suatu rumah sakit.

Namun seringkali kenyataan tak seindah harapan.....

Customer rumah sakit terdiri dari pemilik, pasien dan keluarganya serta petugas-petugas kesehatan sebagai customer internal. Pemilik rumah sakit berkewajiban memenuhi kebutuhan rumah sakit dan berhak atas hasil yang diperoleh rumah sakit. Semakin besar modal yang dikeluarkan diharapkan semakin besar pula laba yang akan diterima.

Bagi rumah sakit swasta hal ini akan dihitung secara detail. Pemilik rumah sakit swasta akan menyediakan semua sumber daya rumah sakit sesuai dengan kemampuan keuangannya. Semakin besar modal yang disediakan, diharapkan semakin lengkap ketersediaan pelayanan kesehatan yang dapat diberikan kepada masyarakat. Demikian pula halnya dengan tarif rumah sakit swasta, ditentukan berdasarkan perhitungan ekonomi agar pengembalian modal sesuai target dan rumah sakit tidak mengalami kerugian dan tentu saja harus mampu beroleh laba.

Bagaimana dengan rumah sakit milik Pemerintah ?

Sebagai pemilik rumah sakit, Pemerintah berusaha memenuhi harapan ketersediaan sumber daya rumah sakit. Pembangunan gedung-gedung perawatan, kelengkapan fasilitas pelayanan, hingga ketersedian SDM menjadi perhatian penuh Pemerintah. Anggaran daerah maupun anggaran dari Pusat, disediakan untuk memenuhi kelengkapan rumah sakit. Dengan berbagai perencanaan mengolah anggaran itu, rumah sakit berusaha memenuhi tuntutan semua pihak untuk melengkapi pelayanan semaksimal mungkin.

Rumah sakit negeri seringkali menjadi tumpuan akhir berbagai harapan. Pasien yang tidak mampu secara ekonomis, akan memilih rumah sakit negeri untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, disamping kepemilikan asuransi kesehatan yang telah diatur oleh Pemerintah. Sedangkan bagi pasien yang secara ekonomis digolongkan mampu, pada awalnya akan memilih rumah sakit swasta, tetapi pada saat membutuhkan penanganan lebih lanjut atas penyakitnya, seringkali dirujuk ke rumah sakit negeri. Pada umumnya rumah sakit negeri mempunyai fasilitas yang lebih memadai dibanding rumah sakit swasta, baik dari segi peralatan medis maupun sumber daya manusianya.

Kelebihan yang dimiliki rumah sakit negeri ini ternyata tidak begitu saja menjadikan pelayanannya lebih bermutu. Ketersediaan anggaran pengadaan sarana, prasarana dan SDM, ternyata tidak berbanding lurus dengan ketersediaan anggaran untuk pengoperasian dan pemeliharaannya. Sebagai pemilik rumah sakit, seringkali Pemerintah lebih fokus pada penyediaan anggaran pengadaan untuk melengkapi kebutuhan pelayanan. Semua itu akan diatur dalam petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang mengiringi anggaran yang disediakan. Dari tahun ke tahun rumah sakit negeri harus berjuang agar bisa memperoleh sedikit bagian untuk memenuhi ketersediaan anggaran untuk operasional pelayanan dan pemeliharaan rumah sakit. Penggunaan standar-standar manajemen umum di kalangan penentu kebijakan makin melemahkan posisi rumah sakit untuk mendapatkan bagian yang layak.

Tidak seperti instansi lain yang dapat menghitung dan memprediksi  penggunaan anggarannya dalam setahun, rumah sakit justru lebih banyak mengelola "manajemen ketidakpastian". Jenis penyakit dan jumlah pasien adalah salah satu faktor penting ketidakpastian itu. Dan semua itu akan mempengaruhi penggunaan anggaran keuangan, ketersediaan obat, bahan habis pakai dan lain sebagainya.

Permasalahan ini dibijaksanai Pemerintah dengan meningkatkan status beberapa rumah sakit menjadi BLU, dengan harapan rumah sakit mampu mengelola keuangannya sendiri. Namun ternyata hal ini tidak mudah, ketika berbagai kebijakan eksternal ikut mempengaruhi rumah sakit. Salah satunya kebijakan mengenai asuransi kesehatan. Dengan segala manfaat yang diperoleh masyarakat dari asuransi kesehatan yang dikelola Pemerintah, rumah sakit menjadi seperti dihadapkan pada buah simalakama, tak dimakan ibu mati, dimakan juga bapak mati.

Perkembangan rumah sakit menjadikan institusi ini sebagai salah satu industri. Rumah sakit berkembang menjadi industri di bidang kesehatan yang menawarkan pelayanan jasa sekaligus barang. Sebagaimana layaknya sebuah industri, ketersediaan modal sangatlah penting. Dan rumah sakit merupakan industri dengan tuntutan jenis modal yang sangat beragam. Mulai dari modal sarana dan prasarana, hingga modal SDM yang terbagi atas beragam jenis dan keahlian.

Keterikatan rumah sakit negeri dengan Pemerintah yang merupakan pemilik rumah sakit menuntut pengelolaan rumah sakit mengikuti irama kerja pemerintahan. Karyawan rumah sakit negeri tidak bisa keluar dari aturan-aturan birokrasi pemerintahan, pengelolaan keuangan dan perencanaan pun demikian. Sebenarnya tidak akan menjadi suatu kendala yang berarti apabila semua berjalan dengan yang semestinya. Dengan tetap memperhatikan bahwa pengelolaan manajemen rumah sakit berbeda dengan pengelolaan instansi lain, dan siapapun yang nantinya akan berhubungan dengan rumah sakit harus juga dapat mempertimbangkan hal ini, bahwa sistem di rumah sakit berbeda. Namun kenyataannya, sistem kerja institusi lain yang berhubungan dengan rumah sakit turut mempengaruhi baik buruknya pelayanan di rumah sakit. Dan semua itu berakibat langsung dan mempengaruhi perspektif customer terhadap pelayanan rumah sakit.

Ketiadaan obat, buruknya pelayanan, kurangnya kebersihan, kusutnya perparkiran, pencurian adalah sebagian dari suara-suara miring tentang kekecewaan customer terhadap rumah sakit. Customer melampiaskan kekecewaannya mulai dari pembicaraan bisik-bisik, surat pembaca di koran-koran, postingan di media sosial sampai membuat keributan di ruang dan selasar rumah sakit.

Kekecewaan customer yang menggunakan kartu BPJS karena harus membeli obat di apotik luar rumah sakit. Kekecewaan keluarga pasien yang mendapatkan pelayanan dari petugas yang ogah-ogahan dengan mata yang mengantuk dan kelelahan. Dan sebagainya... dan sebagainya. Semua kekecewaan itu terasa wajar dan selayaknyalah telunjuk customer ditujukan ke rumah sakit sebagai institusi yang harus bertanggungjawab atas semua kekecewaan itu. Customer yang sudah membayar premi asuransi setiap bulan, tentunya memiliki harapan apabila sakit tidak perlu lagi merogoh sakunya untuk biaya berobat. Untuk apa menyisihkan sebagian pendapatan kita bila ternyata ketika sakitpun kita harus mengeluarkan biaya dengan pelayanan petugas yang setengah hati.

Di sisi lain pernahkah kita berpikir apa yang dirasakan petugas rumah sakit ?

Sebagai pemberi pelayanan, para karyawan rumah sakit juga digolongkan customer rumah sakit. Berbeda dengan masyarakat penerima pelayanan yang disebut customer eksternal, petugas rumah sakit dikenal sebagai customer internal. Baik buruknya hasil pelayanan rumah sakit, sangat dipengaruhi oleh bagaimana hasil kerja dari customer internal.

Sebagai customer, karyawan rumah sakit juga berhak memperoleh kepuasan dan kenyamanan layaknya customer eksternal. Jika customer eksternal kekecewaannya berhubungan dengan kualitas pelayanan rumah sakit, maka customer internal sering dikecewakan oleh kualitas reward dan punishment atas kinerja mereka, dihargai dengan harga yang rendah, sering terlambat hingga berbulan-bulan, bahkan kadang reward tersebut tidak terpenuhi yang disebabkan karena alasan kesalahan administrasi.

Di rumah sakit swasta, pengelola rumah sakit memiliki kewenangan yang absolut terhadap customer internal. Demikian pula keterlibatan institusi eksternal rumah sakit. Pengelola lebih fleksibel mengatur kebijakan yang harus diikuti oleh institusi eksternal yang ingin bekerjasama dengan rumah sakit. Keterlambatan suatu proses kerjasama oleh pihak eksternal, dapat menyebabkan rumah sakit swasta mengambil sikap tegas, untuk melindungi hak-hak customernya baik internal maupun eksternal.

Situasi ini agak berbeda dengan rumah sakit milik Pemerintah. Kewenangan pengelola rumah sakit negeri dibatasi oleh banyak regulasi pemerintahan, yang tentu saja mempengaruhi berbagai kebijakan rumah sakit. Customer internal rumah sakit yang notabene sebagian besar adalah Pegawai Negeri, pengaturannya melibatkan institusi lain di luar rumah sakit. Kebutuhan rumah sakit terhadap suatu jenis profesi, keahlian atau bahkan jumlah kebutuhan tenaga seringkali tidak terealisasi, sehingga rumah sakit merasa perlu untuk mempekerjakan tenaga kontrak atau honor untuk memenuhi kebutuhan pelayanan rumah sakit. Namun pos penggajian tenaga kontrak berbeda dengan penggajian untuk PNS. Tentu saja hal ini menambah beban keuangan rumah sakit.



Demikian pula berbagai kebijakan yang melibatkan institusi lain. Meskipun semua institusi itu milik pemerintah yang sama, pengelola rumah sakit negeri hanya memiliki kewenangan yang terbatas untuk menentukan kebijakan rumah sakit, bahkan untuk menuntut pembayaran atas hutang pelayanan barang dan jasa yang telah diberikan. Hukum ekonomi yang bisa leluasa diterapkan pada rumah sakit swasta, tidaklah mudah diimplementasikan di rumah sakit negeri.

Rumah sakit negeri seringkali tertatih-tatih dalam hal pembiayaan. Tertatih-tatih karena menyangkut modal yang telah habis terpakai, sementara ketersediaan obat, bahan habis pakai, biaya operasional harus selalu tersedia. Tertatih-tatih karena menyangkut jasa karyawan atas keringat mereka yang telah lama kering. Namun rumah sakit negeri harus bisa memuaskan semua pihak, mulai dari masyarakat pengguna rumah sakit, karyawannya, sekaligus Pemerintah sebagai pemilik rumah sakit.


Tuesday, April 4, 2017

MENGAPA HARUS KARTINI




Dalam sejarah Nusantara, jauh sebelum Kartini telah banyak lahir perempuan yang memegang peranan penting dalam masyarakat dan mengukir prestasi. Sebagian karena mewarisi tampuk kerajaan secara hirarkhi , sebagian lagi menjadi pahlawan dalam membela hak-haknya secara lokal. Masing-masing perempuan hebat itu lahir pada jamannya dalam kelompok, suku dan budayanya sendiri.



            Perjuangan Kartini lahir dari keprihatinannya terhadap kondisi sosial dalam masyarakat yang menganut paham patriarkhi, yang tidak bisa dipungkiri masih dianut sebagian besar masyarakat Indonesia hingga kini. Pemikiran  Kartini yang mengkritisi fenomena yang telah membudaya dalam masyarakat bersifat global, bahkan sebagian besar kaum perempuan tidak menyadarinya dan menerimanya sebagai kodrat. Ide dan cita-citanya, yang kelak merupakan sumber inspirasi perempuan Indonesia, menjadikan sosok Kartini abadi untuk dikenang.
Melalui surat demi surat yang ditulisnya, yang dirangkum dalam buku “Habis gelap terbitlah terang”, Kartini mengungkapkan pemikirannya tentang kesetaraan gender, yang hingga saat ini masih merupakan hutang peradaban. Perlakuan tidak adil terhadap perempuan, telah berjalan selama berabad-abad, dan masih tetap berlangsung, bukan hanya di Indonesia tetapi juga diberbagai belahan dunia. Ketidakadilan ini merujuk pada kentalnya budaya patriarkhi, yang juga sangat dirasakan dalam masyarakat Indonesia. Hal ini mengakibatkan masalah ketimpangan gender, yang berdampak pada semua aspek. Meskipun sudah dilakukan berbagai upaya emansipasi, termasuk kesempatan dalam meraih pendidikan yang tinggi, stigma menomorduakan perempuan masih membekas. Yang lebih memprihatinkan, pada era modern sekarang ini, masih banyak kasus-kasus penindasan terhadap kaum perempuan disekitar kita. Diskriminasi, pelecehan, pemerkosaan ataupun tindakan kekerasan, adalah contoh aib perilaku kemanusiaan yang mengakibatkan trauma kejiwaan yang berkepanjangan bagi yang mengalaminya.
Paham patriarki yang dipahami secara salah,  yang menganggap laki-laki lebih unggul dan lebih dominan dalam hal apa saja, menempatkan kaum perempuan menjadi kelompok yang rentan, bahkan menjadi sasaran tindakan semena-mena. Oleh karena itu perjuangan emansipasi diharapkan  mampu menghilangkan dominasi gender yang berlebihan.      Setumpuk kendala masih menjegal kaum perempuan. Pelabelan negatif,  seperti masih minimnya kualitas perempuan, perempuan dianggap tidak mampu mengambil keputusan, atau perempuan tidak rasional dan lebih mengedepankan emosional, menjadikan sebagian besar  bidang kehidupan, berwajah maskulin.
            Melalui surat Kartini yang ditujukan kepada Prof Anton dan nyonya pada  4 oktober 1902, Kartini menulis, “Kami di sini memohon pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu, menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali, agar perempuan lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya, menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” 
            Tersirat keinginan Kartini agar kaum perempuan dapat mengenyam pendidikan yang layak, yang dapat digunakan sebagai bekal mendidik anak-anaknya dengan baik, sebab ibulah guru pertama bagi anak-anaknya. Perempuan adalah ibu sekaligus guru pertama, sehingga harus bisa menjadi cermin positif, bagi keluarganya.
            Inilah sesungguhnya salah satu sisi paling riil dari perjuangan kesetaraan gender, perjuangan Kartiini. Perempuan tidak bisa menghilangkan peran dan fungsi perempuan sebagai ibu dan seorang istri, tugas-tugas kodrati sebagai ratu dan pengurus rumah tangga. Namun perempuan mampu menjadi lebih mandiri dan mampu melakukan segala aktifitas bersama-sama kaum laki-laki membangun bangsa, bila kesempatan itu ada dan lingkungan dapat menerimanya.
            Kesetaraan gender adalah langkah awal kita membangun bangsa yang adil dan makmur,  tanpa mengsubordinatkan salah satu pihak. Baik perempuan maupun laki-laki, keduanya sama-sama memiliki hak sebagai warga negara yang diharapkan mampu secara bersama-sama mengambil peran aktif dalam pembangunan.   Atas dasar itulah, dibutuhkan suatu strategi dan langkah-langkah terobosan,  yang mampu membuat perubahan berarti.
Sosialisasi kesetaraan gender diharapkan tidak semata-mata hanya kepada kaum perempuan. Laki-laki memegang peranan penting, dengan harapan agar kaum laki-laki memahami dan menyadari akan peranannya dalam membangun kesetaraan gender.  Peranan kaum laki-laki dimulai dari  kehidupan berumahtangga, bermasyarakat, maupun kehidupan berbangsa dan bernegara.


            Pada dasarnya, ibu Kartini tidak menginginkan perempuan memposisikan diri sebagai rival kaum laki-laki. Perjuangannya semata-mata demi kebangkitan cara berpikir kaum perempuan. Kartini dan semua perempuan menyadari ada perbedaan fisik dan biologis secara kodrati yang tidak mungkin dapat dipersamakan antara perempuan dan laki-laki. Perjuangan kesetaraan gender adalah memperjuangkan kesamaan dalam memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam berbagai bidang secara harmonis bersama kaum laki-laki. Dimana semua itu akan terwujud bila kaum laki-laki memberi dukungan dan perhatian yang tulus. Ibu Kartini meyakini, perempuan yang berwawasan luas, akan mampu menempatkan dirinya  sebagai ibu dan guru bagi anak-anaknya, sebagai istri dan mitra bertukar pikiran bagi suaminya, dan sebagai pelita bagi lingkungannya.