Website counter

Tuesday, June 2, 2015

SHALAT JUM'AT DI MASJID RAYA



      Bersama adikku Nang dan teman-teman yang muslim, aku berjalan menyeberangi Taman Makam Pahlawan untuk pulang ke rumah. Kami sedang bergegas karena sebentar lagi shalat jum’at. Di sekolah ini kami yang muslim bila hari jum’at, diijinkan pulang lebih awal untuk melaksanakan shalat jum’at. Sedangkan teman-teman yang lain diberi pelajaran agama. Hari sabtu besok, kami harus memasukkan buku yang telah ditanda tangani Imam Mesjid, untuk membuktikan bahwa kami benar-benar melaksanakan shalat jum’at. 
       Toleransi antar umat beragama ini, menimbulkan keharmonisan yang aku pelajari sejak di bangku SD. Perbedaan keyakinan diantara kami justru menambah indah masa kanak-kanak kami. Sejak kecil kami melihat dan merasakan perbedaan di depan mata kami, namun tak ada seorangpun yang merasakan bahwa perbedaan itu adalah suatu masalah.
       
       Sesampai di rumah, aku segera mandi, lalu berganti pakaian bersih, sambil mempersiapkan mukena dan sajadah. Aku berharap di dalam hati, semoga papa membawa kami shalat di Mesjid Raya. Biasanya apabila waktu masih memungkinkan, papa akan membawa kami shalat ke Mesjid Raya. Namun bila waktu shalat sudah dekat, maka papa akan shalat jum’at di Mesjid Al Irsyad yang terletak di dalam kompleks.Mesjid Raya letaknya cukup jauh dari rumah kami, tetapi aku dan adik-adik sangat senang bila papa membawa kami shalat jum’at di sana. Setelah shalat, aku bergegas minta tanda tangan Bapak Imam, kemudian keluar dan mulai melihat buku-buku yang dijual di teras mesjid.
       Papa akan membiarkan kami memilih buku apa saja yang kami sukai. Selama kami memilih buku, papa akan sabar menunggu. Bila terlalu lama, papa pergi ke warung di sebelah mesjid dan memesan binthe biluhuta, makanan khas Gorontalo kesukaan papa. Setelah mendapatkan buku-buku yang kami inginkan, kami memanggil papa untuk membayar harga buku itu. Sesampai di rumah aku akan menghabiskan waktu seminggu untuk membaca semua buku itu dan berharap jum’at depan papa akan mengajak kami shalat jum’at di Mesjid Raya.
      Sepertinya kegemaranku pada buku dimulai dari kebiasaan memilih-milih buku di Mesjid Raya. Meskipun kata mama, aku telah bisa membaca sejak berusia empat tahun, namun buku tanpa gambar yang isinya sebagian besar tulisan, seingatku baru menjadi kegemaranku saat duduk di kelas empat SD. Sebelumnya aku tidak tertarik dengan buku yang isinya sebagian besar tulisan, rasanya sama seperti pelajaran di sekolah. Biasanya pulang kantor papa membawa koran ‘Suara Karya’, sedangkan untukku dan adik-adik majalah ‘Bobo’ atau komik anak-anak yang banyak gambarnya. Gambar-gambar di komik itu sering aku jiplak, gambar putri yang cantik jelita dengan mata yang sangat besar dan bulu mata yang lentik.
      
       Sangat mengasyikkan membaca sambil jongkok atau duduk menjulurkan kaki  di teras mesjid ditiup angin sepoi-sepoi. Terkadang buku kecil telah habis kubaca tanpa disadari oleh si Penjual buku. Begitu banyak orang yang selesai shalat jum’at, datang melihat-lihat buku, sehingga si Penjual tidak menyadari ada anak kecil yang telah mengambil keuntungan darinya.
       Pada masa itu toko buku di kota kami mungkin hanya ada dua buah, kadang aku diajak papa ke toko buku untuk mencari buku pelajaran sekolah. Tapi bagiku memilih buku di emperan Mesjid Raya lebih terasa nyaman. Si Penjual yang acuh tak acuh dengan jualannya, sangatlah kontras dengan si Pemilik toko yang memelototi semua gerak gerik kita. Mungkin si Penjual buku itu tahu kalau aku sering membaca bukunya minimal sebuah, sebelum memilih buku yang lain untuk dibayar papa. Tapi ia tak pernah menegurku atau mengawasi seperti halnya si Pemilik toko buku. Situasi ini membuat perasaanku nyaman dan tidak merasa dicurigai. Imajinasiku akan mengembara seiring dengan cerita yang kubaca, sehingga aku selalu merindukan shalat jum’at di Mesjid Raya.
       Saat ini bila kupikir-pikir, sepertinya papa tidak dengan sengaja menciptakan cerita kanak-kanak kami seperti itu, namun sangatlah jelas minat baca kami tumbuh dari ketidaksengajaan dan keikhlasan papa. Papa bisa menunggu kami berjam-jam di warung dekat Mesjid Raya, padahal papa sendiri pasti sudah capek sepulang kantor. Kebanyakan dari kita pasti ingin segera pulang dan tidur, tapi papa bisa menahan keinginannya demi kesenangan anak-anaknya. Jaman sekarang, Pemerintah justru merasa perlu membuat program ‘menumbuhkan minat baca anak’, hanya sekedar untuk mendorong anak-anak gemar membaca. Bandingkan dengan cara papa yang terasa apa adanya……Mengapa ketika menjadi orang tua, betapa sulit rasanya mengikhlaskan waktu  untuk anak-anak.....

No comments: