Website counter

Wednesday, August 3, 2016

INDIKATOR MUTU PELAYANAN RUMAH SAKIT




Akhir-akhir ini banyak kalangan menyoroti mutu pelayanan rumah sakit. Sebagian berasumsi dengan penilaiannya sendiri atas dasar pengamatan pribadi, sebagian lagi berusaha menerapkan penilaian berdasarkan berbagai tools yang dianggap dapat memperlihatkan kualitas pelayanan suatu rumah sakit.

Sebagai suatu organisasi yang memberikan pelayanan publik kepada masyarakat, rumah sakit tidak terlepas dari tuntutan berbagai kalangan. Dengan tugas utama memberikan pelayanan kesehatan secara perorangan kepada masyarakat, waktu beroperasi 1 x 24 jam non stop, tidak boleh error, dengan tingkat tanggungjawab yang tak terbeli karena menyangkut hidup matinya seseorang, rumah sakit merupakan institusi yang unik.

Mutu suatu produk baik itu berupa barang atau jasa, seringkali diperspektifkan dari kaca mata customer. Baik atau buruknya suatu produk yang dihasilkan, cenderung dirasakan dan dinilai oleh customer. Mutu adalah faktor yang mendasar dari customer, penilaian terhadap mutu selalu berdasarkan pengalaman yang dirasakan oleh customer. Rumah sakit sebagai salah satu institusi pelayanan publik, mendapat penilaian yang serupa dalam hal menilai kualitas pelayanan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI Nomor 16 tahun 2014 tentang Pedoman Survei Kepuasan Masyarakat Terhadap Penyelenggaraan Pelayanan Publik, rumah sakit menjadi salah satu bahkan menjadi idola penelitian yang berpedoman terhadap KepMenPANRB ini.

Pertanyaannya :

Benarkah kita bisa menilai mutu pelayanan rumah sakit berdasarkan Analisis Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) ?

Sejauh mana IKM mampu memberi indikator bahwa suatu rumah sakit bermutu atau tidak ?

Layakkah rumah sakit dinilai kualitasnya dengan menggunakan tools yang sama dengan yang digunakan oleh instansi pelayanan publik lainnya ?

Penggunaan Indeks Kepuasan Masyarakat di institusi pelayanan publik, mampu menunjukkan kepada kita mutu pelayanan institusi itu berdasarkan pengamatan, penilaian dan kepuasan customer. Berbeda dengan institusi pelayanan publik lainnya, di rumah sakit penilaian ini hanya akan memberikan kepada kita hasil dari 'sebagian kecil' pelayanan yang menjadi produk dari rumah sakit.

Kemudahan tahapan pelayanan, teknis administrasi yang dibutuhkan dalam pelayanan, kenyamanan lingkungan, serta keberadaan, kedisiplinan, tanggungjawab, kemampuan, kecepatan, kesopanan  dari petugas yang memberikan pelayanan menjadi fokus  dalam analisis IKM. Bagi instansi lain yang notabene menjalankan manajemen administrasi umum, hal itu tidak menjadi masalah. Lain halnya ketika analisis ini dipaksakan untuk digunakan rumah sakit dan secara langsung digunakan  sebagai indikator untuk menilai mutu pelayanan rumah sakit. Ada banyak elemen-elemen penting yang seharusnya menjadi fokus penilaian, tidak teridentifikasi dalam menilai mutu pelayanan rumah sakit.

Rumah sakit menerapkan manajemen administrasi sekaligus manajemen klinik dalam memberikan pelayanan publik. Manajemen administrasi bisa secara langsung memberi gambaran puas atau tidaknya customer, tetapi tidak bisa menjadi patokan baik buruknya kualitas pelayanan rumah sakit. Secara bersamaan rumah sakit juga menerapkan manajemen klinik, yang secara langsung mampu memberi gambaran kesehatan dan keselamatan customer, tetapi tidak bisa menjadi ukuran puas atau tidaknya customer.

Dengan kata lain, puas tidaknya customer terhadap pelayanan rumah sakit, tidak bisa menjadi indikator baik buruknya mutu pelayanan rumah sakit. Ketika rumah sakit berupaya melakukan peningkatan dalam hal pelayanan publik dengan mempertimbangkan keinginan dan kepuasan customer, itu adalah hal yang wajar, tetapi ketika keinginan dan kepuasan customer itu berhadapan dengan standar-standar medis pelayanan rumah sakit, menyangkut profesional ilmu kedokteran, keinginan dan kepuasan customer berada di urutan belakang.

Rumah sakit telah lama menggunakan berbagai macam indikator untuk mengevaluasi kualitas layanan yang menjadi produknya. Indikator seperti Survey Kepuasan Pasien (SKP), Bed Occupancy Rate (BOR) yang dapat memberikan gambaran tinggi rendahnya pemanfaatan tempat tidur, Average Length of Stay (AVLOS) yang memberikan gambaran tingkat efisiensi dan mutu pelayanan apabila diterapkan pada diagnosis tertentu, Turn Over Interval (TOI) memberikan gambaran tingkat efisiensi penggunaan tempat tidur, Net Death Rate (NDR) adalah angka kematian 48 jam setelah dirawat untuk tiap 1000 penderita keluar yang memberikan gambaran mutu pelayanan, serta masih banyak indikator klinis lainnya seperti Angka Kesembuhan Penyakit, Angka Infeksi Nosokomial, Komplikasi Perawatan dan lain sebagainya.

Aturan teranyar dalam rangka mengontrol pelayanan suatu rumah sakit berkualitas atau tidak, adalah dengan mewajibkan setiap rumah sakit menjalankan Survei Akreditasi Rumah Sakit yang dilakukan oleh Tim Penilai Akreditasi dari Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS). Dengan menggunakan standar internasional, survei ini merupakan penilaian tertinggi dan terlengkap terhadap pelayanan rumah sakit di Indonesia saat ini. Terus mengalami perbaikan sejak dimulai pada tahun 1995, kini Akreditasi Rumah Sakit memiliki 15 Bab yang dibuat dalam bentuk Pokja (Kelompok Kerja), dengan 323 standar dan 1218 elemen penilaian.

Berapa standar dan elemen penilaian yang dimiliki oleh survei-survei kepuasan lainnya, yang seolah-olah berlomba memberikan penilaian terhadap pelayanan rumah sakit ? Dan bisa dikatakan tanpa latar belakang yang cukup untuk menilai sebuah institusi pelayanan kesehatan seperti halnya rumah sakit.

Sejauh mana Pemerintah, Pemerintah Daerah maupun masyarakat dapat memberikan kepercayaan terhadap survei-survei semacam ini, yang terus bermunculan serta hanya menyederhanakan permasalahan yang dihadapi rumah sakit, bahkan menjustifikasi hasil pelayanan. Survei-survei itu hanya berfokus pada sebagian kecil elemen penilaian, sehingga belum bisa menjadi acuan baik buruknya mutu pelayanan sebuah rumah sakit. Harapan akan adanya dukungan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan rumah sakit untuk berbenah diri. Semua pihak baik Pemerintah, masyarakat maupun petugas kesehatan menginginkan pelayanan kesehatan yang berkualitas, namun semua itu membutuhkan dukungan.


Rumah sakit adalah institusi yang membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai, membutuhkan SDM yang cukup dan berkualitas, serta membutuhkan anggaran agar mampu memberikan pelayanan kesehatan terbaik sebagaimana yang diharapkan dan semua itu tentunya menjadi tanggungjawab kita bersama. 

Keterlibatan dan kepedulian masyarakat, penting untuk menjadi catatan. Fasilitas rumah sakit seharusnya dengan kesadaran masing-masing individu dapat dijaga untuk kepentingan bersama. Begitu pula halnya  dengan semua aturan dan prosedur standar yang terdapat di dalam lingkungan rumah sakit, seharusnya bisa ditaati oleh masyarakat pengguna rumah sakit, demi terwujudnya pelayanan rumah sakit yang bermutu.

Khusus bagi Rumah Sakit Pemerintah termasuk rumah sakit yang sudah berstatus BLU sekalipun, Pemerintah memegang peranan penting untuk menyediakan anggaran yang memadai atas keberlangsungan operasional rumah sakit. Rumah sakit adalah institusi yang padat sarana/prasarana, padat tehnologi, padat karya, padat profesi, yang mana semua itu hanya dapat beroperasi dengan dukungan biaya yang maksimal, baik untuk pengadaannya, pemeliharaannya, maupun biaya operasionalnya. Makin berkualitas dan canggih suatu produk, maka makin mahal biaya yang dibutuhkan untuk pengadaannya, makin mahal pula biaya pemeliharaan dan operasionalnya. Tentu saja semua biaya itu tidak bisa ditutupi dengan pendapatan rumah sakit yang senantiasa dihitung berdasarkan pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan. Sampai saat ini, rumah sakit tetap dipandang sebagai institusi yang menjalankan misi kemanusiaan. Ada banyak rentetan kewajiban sosial yang harus dipatuhi sebuah rumah sakit Pemerintah, sebelum menentukan pertimbangan bisnis atau keuntungan. Tanpa dukungan penuh dari Pemerintah, perlahan tapi pasti, rumah sakit akan kesulitan memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat.

Upaya-upaya perbaikan mutu pelayanan rumah sakit, tergantung persepsi kita terhadap harga dan nilai. Harga yang dikorbankan untuk kemaslahatan rakyat akan terasa sangat minim dibanding nilai yang kelak akan diperoleh apabila rakyat itu sehat, mampu berproduksi secara maksimal dan hidup sejahtera. Rakyat yang sehat jasmani dan rohani akan banyak memberikan kontribusi dalam berbagai bidang kehidupan.  Bagaimanapun, bidang kesehatan adalah salah satu indikator penting, kepedulian Pemerintah terhadap rakyatnya.

Thursday, May 5, 2016

MEMAHAMI SISI LAIN POLIGAMI RASULULLAH


       

       Nabi Muhammad SAW dalam hidupnya ditakdirkan memiliki beberapa istri. Kehidupan poligami beliau seringkali disalahartikan. Namun bagi seorang muslim yang berusaha belajar dari sejarah Rasulullah, kehidupan poligami beliau dapat dipahami merupakan bagian dari dakwah yang menjadi tugas utama seorang Nabi.
      Berbeda dengan Nabi dan Rasul sebelumya yang hanya diutus Allah untuk kaum tertentu, Muhammad SAW diutus untuk seluruh umat manusia dan kehidupannya dijadikan Allah SWT sebagai pola atau patron bagi manusia lainnya. Allah SWT mentakdirkan beliau beristri lebih dari satu adalah merupakan bagian dari dakwah, bagian dari contoh, agar manusia dapat belajar bagaimana menjalani kehidupan dalam rumah tangga dan bermasyarakat. 
      Rumah tangga adalah suatu organisasi yang terkecil dalam suatu hubungan antar manusia. Allah SWT mentakdirkan poligami untuk dijalankan Muhammad SAW, karena dari rumah tanggalah sumber dari semua permasalahan manusia. Dengan memposisikan diri sebagai teladan, Muhammad SAW mengorbankan perasaan pribadinya, demi agar manusia lain bisa dengan mudah menanggapi pesan-pesan Ilahi secara lebih kongkrit. Sebagai manusia utusan Tuhan, ketakwaan Muhammad SAW sudah sampai pada tahap tertinggi, dimana beliau telah benar-benar menanggapi Al-Quran dan hidup patuh dengan perintahNya. Meskipun mungkin ada interpretasi negatif terhadap kehidupan poligami beliau, tetapi masih jauh lebih banyak hal-hal yang positif dan bermanfaat untuk dipelajari umatnya sepanjang sejarah kemanusiaan.
      Dalam QS. Al-Ahzab:51 Allah SWT memberi kebebasan kepada Muhammad SAW untuk menggauli atau tidak menggauli istri-istrinya, hal ini merupakan keistimewaan bagi Muhammad ketika para suami lainnya diwajibkan untuk menggauli istri mereka. Allah SWT menyambung ayat tersebut dengan kalimat, "....Yang demikian itu lebih dekat untuk ketenangan hati mereka, dan mereka tidak merasa sedih, dan mereka rela dengan apa yang telah engkau berikan kepada mereka semuanya. Dan Allah mengetahui apa yang (tersimpan) dalam hatimu. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun".
      Allah mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati RasulNya. Seorang manusia yang rela mengorbankan perasaannya, demi agar menjadi contoh bagi manusia lainnya. Nabi memberi contoh kepada kita tentang banyak hal dalam kurun masa hidupnya yang singkat dalam berumah tangga. Memberi banyak contoh kepada seluruh manusia agar dikemudian hari manusia bisa belajar banyak dari teladan yang ditinggalkannya. Sehingga kehidupannya yang sangat beragam, rumah tangganya yang bermacam-macam meninggalkan cerita yang sangat bervariasi dan kemudian ditulis dalam "Hadist Nabi Muhammad SAW". Hingga saat ini kita belajar dari banyak sisi tentang kehidupan beliau. Teladannya menjadi rujukan umat Muslim dalam mencari solusi tentang berbagai permasalahan dalam hidup.
     Seandainya Nabi Muhammad SAW ditakdirkan beristri satu saja, maka tidak akan banyak yang bisa kita teladani dari beliau. Sampai istri pertama beliau meninggal Khadijah binti Khuwailid, beliau menjalankan rumah tangga yang monogami. Tetapi kita harus mengakui bahwa setelah Khadijah meninggal dan beliau menjalankan poligami, ada sangat banyak teladan yang ditinggalkan dan diriwayatkan oleh istri-istri yang dinikahinya kemudian. Sampai saat ini kisah-kisah kehidupan rumah tangga Muhammad dengan masing-masing istrinya, menjadi kekayaan rujukan bagi setiap muslim dalam menjalani kehidupan, baik dalam berumah tangga, bermasyarakat maupun dalam beribadah kepada Tuhan. 
        Kisah cinta yang romantis hingga akhir hayat Muhammad SAW, dapat kita temui dari cerita istri beliau Aisyah, begitu banyak hadist dari Aisyah yang menceritakan bagaimana Rasulullah menjalani kehidupan rumah tangganya dengan penuh kasih sayang. Dan bagi seorang muslim, tidak ada kisah cinta yang begitu memukau dari pada kisah cinta yang telah diteladankan Muhammad SAW. 
     Bila kita menyelami lebih jauh kehidupan Nabi, tak ada kata yang layak untuk mengungkapkan betapa luar biasanya seorang Muhammad SAW. Hanya jiwa yang agung yang mampu mengorbankan hidup dan perasaannya agar dapat menjadi teladan manusia lain. Sebagai manusia, tidak mudah membagi cinta, membagi hati, membagi kasih seperti yang telah dilakukan beliau. Kita belajar dari banyak hadist bagaimana perlakuan Nabi kepada istri-istrinya. Kita juga mengetahui bahwa hanya Aisyah binti Abu Bakar As-Shiddiq yang berusia muda dan masih gadis dari semua istri Nabi, bahkan beberapa sudah berusia lanjut ketika dinikahi. Jelas sekali perbedaan poligami yang hanya dipahami sebagai pelampiasan hawa nafsu dengan poligami yang dijalani Rasulullah.
        Sungguh, takdir itu dijalaninya dengan ikhlas karena begitu cintanya beliau kepada kita, beliau mengorbankan hidupnya, hanya agar kita bisa belajar. Agar setiap laki-laki bisa belajar menjadi seorang pemimpin, seorang imam bagi keluarga ataupun bagi masyarakat, seperti apa yang dicontohkan Muhammad SAW. Dan setiap perempuan bisa belajar menjadi seorang istri, seorang ibu maupun menjadi seorang sahabat seperti halnya para Ummul Mukminin. Dalam Islam, menjadi laki-laki hanya ada satu tipe. Setiap laki-laki dilahirkan sebagai pemimpin, sebagai imam, sebagai panutan bagi lingkungannya.
       Berbeda dengan menjadi perempuan atau sebagai istri, ada banyak teladan yang bisa menjadi rujukan kita. Kita bisa menjadi perempuan atau istri yang berbisnis dan kaya raya, seperti Khadijah binti Khuwailid. Di sini kita belajar bahwa dalam Islam, perempuan diberi kebebasan untuk berkarier, memiliki harta dan mendukung penuh perjuangan suaminya dengan cinta dan hartanya
     Atau ada pula mungkin yang bernasib seperti Saudah binti Zam'ah, seorang janda dengan 5 orang anak yang hidup sendiri tanpa keluarga. Saudah berusia 55 tahun ketika dinikahi oleh Rasulullah, sungguh usia yang cukup tua untuk standar perempuan yang layak dinikahi.  Tetapi ada lebih banyak hikmah yang dapat kita petik dari pernikahan ini. Rasulullah memberikan teladan pada kita, bagaimana mengambil tanggung jawab seorang suami dan ayah, bagi seorang perempuan dengan 5 orang anak yang sudah tidak memiliki sanak saudara. 
      Atau mungkin kita bisa menjadi perempuan yang sangat cerdas dan berani seperti halnya Aisyah binti Abu Bakar. Aisyah merupakan tipe perempuan yang sangat gemar belajar, gemar bertanya dan haus ilmu pengetahuan.  Dari beliau kita banyak mengetahui ilmu-ilmu Allah yang diwahyukan melalui Muhammad SAW.  Begitu pula halnya dengan kehidupan pribadi Muhammad, cerita Aisyah menjadi rujukan yang paling dipercaya sepanjang masa. 
       Kita juga bisa meneladani Hafshah binti Umar bin Khatab, seorang wanita yang ahli ibadah, rajin puasa dan shalat malam. Kita juga bisa seperti Zainab binti Khuzaimah, seorang wanita yang sangat dekat dengan kaum duafa. Juga bisa seperti Hindun binti Umayyah, seorang janda yang ditinggal mati suami yang sangat dicintainya, tetapi kemudian berserah diri dan ikhlas kepada Allah, hingga Allah SWT mentakdirkan Rasulullah SAW menikahinya. 
        Kita juga bisa belajar hukum pernikahan dalam Islam tentang pernikahan antar kerabat dekat dengan merujuk pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Zainab binti Jahsy. Zainab adalah saudara sepupu Nabi, ibu Zainab dan ayah Muhammad SAW bersaudara kandung. Di samping itu Zainab adalah mantan istri anak angkat Nabi yaitu Zaid. Budaya ketika itu sebelum datangnya Islam, kedudukan anak angkat sama dengan kedudukan anak kandung, sehingga haram hukumnya menikahi mantan istri anak angkat. Dari pernikahan itu kita mengetahui bahwa Islam tidak melarang perkawinan saudara sepupu, juga tidak melarang ayah angkat menikahi mantan istri anak angkatnya. Di sini kita belajar tentang nasab seorang anak angkat tidak boleh dihapus hanya karena mngadopsinya menjadi anak. Dari kisah ini Allah menegaskan bahwa tidak layak mengada-adakan hukum yang justru mempersulit kehidupan manusia. Dari pernikahan ini pula kita mengetahui bahwa ketika budaya dihadapkan dengan syariah, maka sebagai muslim kita harus mendahulukan syariah.
       Dari Juwairiyah binti Al Harits kita belajar tentang kehidupan seorang wanita non muslim yang menjadi mualaf. Kita juga belajar bagaimana status manusia dalam pandangan Islam, mengingat  latar belakang Juwairiah yang adalah seorang budak tawanan perang. Dari pernikahan ini juga para sahabat Rasulullah belajar memerdekakan budak-budak mereka dan menerima pandangan Islam bahwa manusia sama di mata Allah SWT. Ide yang sangat sulit diterima pada jaman itu, bahkan sampai hari ini masih saja ada manusia yang memandang rendah kepada manusia lain hanya dengan menilai statusnya dalam masyarakat. Begitu pula halnya dengan Syafiyah binti Huyai, seorang dari kalangan terkemuka Yahudi, ayahnya adalah salah seorang kepala suku dari masyarakat Yahudi. Pernikahan ini mengajarkan bagaimana kedudukkan seseorang tidak direndahkan dalam Islam, bahkan menjadikannya lebih mulia. Di sini kita belajar bahwa tidak mengapa menikahi non muslim, tetapi setelah dia menerima menjadi mualaf.
        Ummu Habibah binti Abu Sufyan mengajari kita bagaimana berpegang teguh dalam agama, bahkan ketika orang terkasih berpaling menjadi murtad dan orangtua juga masih dalam keadaan kafir. Dan perempuan istimewa lainnya adalah Maimunah binti Al Harist, seorang perempuan yang mengajarkan kepada kita pentingnya menyambung tali silaturahim antara sesama muslim.
      Semoga kita mampu memahami teladan yang diwariskan Nabi Muhammad SAW dan Ummul Mukminin, wanita-wanita mulia di dunia dan akherat. Marilah belajar menyelami lebih dalam maksud yang menjadi inti utama dari pesan-pesan Ilahiah. Memahami poligami yang ditakdirkan untuk dijalani oleh Rasulullah. Dari QS. Al-Ahzab:51 kita bisa menangkap pesan Allah bagi orang-orang yang mau berpikir, bahwa poligami yang dijalani Nabi Muhammad SAW sama sekali tidak berorientasi sexual, bahkan sebagai manusia biasa sangatlah berat kewajiban itu ditanggung Muhammad SAW, sehingga Allah merasa perlu menegaskan di akhir surah itu, ".....Dan Allah mengetahui apa yang (tersimpan) dalam hatimu. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun".
          





Sunday, February 14, 2016

GIGI OMPONG


Ini cerita mama semasa beliau kelas 1 Sekolah Menengah Pertama. Sebagai siswa baru di SMP, ada seorang kakak kelas yang menaruh hati pada mama. Hampir setiap sore, kakak kelas yang giginya ompong itu, lewat di depan rumah dengan sepeda dan tersenyum-senyum menatap rumah.

Suatu sore, mama sedang menjaga adik-adiknya yang masih berusia di bawah 10 tahun. Mereka duduk-duduk di tangga rumah yang menghadap ke jalan raya. Sementara Opa sedang bercengkerama dengan tamunya di ruang tamu. Seorang kakek yang berumur lebih tua dari Opa, dengan pipinya yang kempot karena sudah tak bergigi.
   
Ketika sedang bercanda dengan ketiga orang adiknya, tiba-tiba si kakak kelas lewat dengan sepeda sambil senyam senyum. Mama yang sejak awal tidak suka dengan si kakak kelas ini, mulai merasa terganggu karena sepeda itu sudah beberapa kali bolak balik di depan rumah dan si kakak kelas itu masih saja senyam senyum menjengkelkan.
   
Mama yang sudah sangat jengkel seketika mendapat ide. Dibisikinya adik-adik agar bila mendapat komando dari mama segera berteriak rame-rame. Adik-adik yang masih polos itu mengiyakan dengan riang gembira.


Sambil menunggu sepeda itu balik lagi, tamu Opa nampak keluar dari ruang tamu. Opa mengantar tamunya sampai di teras rumah. Kakek itu mengambil sepedanya yang tersimpan di kolong rumah. Sambil mendorong sepeda ke jalan raya, kakek itu sekilas melihat mama dan adik-adik yang duduk di tangga rumah. Tiba-tiba si kakak kelas muncul dengan sepedanya. Mama segera memberi komando ke adik-adiknya, " Satu..... dua.... tiga....". Mereka bertiga dengan lantang berteriak, "Gigi ompong..... gigi ompong..... gigi ompong.....".
  


Mama senang sekali, karena sasarannya celingak celinguk salah tingkah dan segera menggenjot sepedanya, kabur......
Tapi betapa kagetnya mama ketika si kakek yang sedang mendorong sepedanya tiba-tiba berbalik dengan wajah marah.

"Lihat anak-anakmu.... mereka mengatakan aku gigi ompong dengan berteriak-teriak", katanya sambil menunjuk ke arah mama dan adik-adik. Opa yang masih berdiri di teras rumah, dengan wajah merah padam segera meminta maaf dan memarahi anak-anaknya, "Ayo masuk semua.... mengapa kalian nakal seperti itu......"

Wednesday, February 10, 2016

PULAU SARONDE - GORONTALO UTARA


    


 
     Pulau Saronde terletak di Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara. Jaraknya dari ibukota Propinsi  sekitar 65 km dengan menempuh perjalanan darat selama 1 jam, kemudian menyeberang dengan perahu untuk tiba di Pulau Saronde.  


    Pulau Saronde menyajikan pemandangan sekitar yang sangat indah, disamping pemandangan bawah laut yang juga tidak kalah indahnya. Pesisir pulau yang berpasir putih pada salah satu sisi pulau, merupakan bagian indah yang dapat dinikmati oleh pengunjung.  Bersantai dan berenang di tepi pantai dengan air laut yang jernih. Sebaliknya di sisi lainnya, terhampar bebatuan hitam sepanjang pantai, yang mampu menghipnotis pengunjungnya. Pemandangan alam yang luar biasa indahnya.
      Dengan latar belakang Pulau Sulawesi dan pulau-pulau kecil lainnya di sekitarnya, pemandangan Pulau Saronde benar-benar memukau. Birunya air laut dan putihnya buih ombak makin membuat hati ingin berlama-lama di Pulau kecil Saronde.
     Berjalan-jalan di atas pasir putih Pulau Saronde, memberi sensasi kegembiraan yang tiada tara. Di bawah naungan pohon-pohon cemara yang tertata  rapi ada beberapa gazebo, tempat bersantai setelah lelah berenang di air laut. Di Pulau Saronde juga tersedia beberapa cottage yang dapat disewa oleh pengunjung. 



















MENILAI MUTU RUMAH SAKIT MELALUI AKREDITASI




     Setelah  mengalami banyak perubahan standar sejak tahun 1995, akreditasi rumah sakit saat ini lebih menekankan pada proses dalam memenuhi kriteria standar internasional. Akreditasi rumah sakit memiliki banyak elemen penilaian yang dapat menjelaskan sejauh mana pencapaian sebuah rumah sakit terhadap kriteria standar internasional.
    

Secara umum tujuan dari akreditasi rumah sakit adalah mengedepankan keselamatan pasien dan mencapai kualitas pelayanan kesehatan berstandar internasional. Standar akreditasi rumah sakit dibagi atas 4 kelompok yaitu 2 kelompok standar dan 2 kelompok sasaran. Kelompok standar terdiri dari standar pelayanan berfokus pada pasien dan standar manajemen rumah sakit. Sedangkan kelompok sasaran terdiri dari sasaran keselamatan pasien dan sasaran menuju MDG's.
     Rumah sakit yang telah terakreditasi akan mendapat pengakuan secara nasional maupun internasional, karena telah memenuhi standar-standar yang telah ditetapkan baik dari sistem pelayanan maupun dari sistem manajerialnya. Pengakuan ini menjadi kebanggaan rumah sakit karena akan meningkatkan kepercayaan pengguna jasa maupun masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit tersebut. Rumah sakit yang telah terakreditasi dianggap lebih mampu menggunakan sumber daya dengan lebih efektif dan efisien. 
     Di Indonesia, lembaga resmi yang berwenang melakukan survei verifikasi  dan survei akreditasi adalah Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS). KARS merupakan lembaga independen yang diakui oleh Pemerintah dan memberikan akreditasi nasional dan internasional kepada Rumah Sakit. KARS telah terakreditasi oleh International Society for Quality in Health Care (ISQua), yang merupakan sebuah lembaga internasional yang bertugas mengakreditasi lembaga akreditasi di berbagai negara. 

Setelah melakukan survei, KARS nantinya akan memutuskan predikat akreditasi yang paling tepat untuk diberikan kepada sebuah Rumah Sakit. Ada 4 macam status/predikat akreditasi yang dapat diberikan oleh KARS kepada rumah sakit yaitu Basic (Dasar), Intermediate (Madya), Advance (Utama) dan Excellence (Paripurna). Semua rumah sakit bercita-cita memperoleh predikat paripurna dari KARS. 


Persoalannya, sejauh mana pengelola dan staf rumah sakit mampu memahami inti sari dari tujuan pelaksanaan akreditasi  di rumah sakit ?

Gegap gempita akreditasi rumah sakit terdengar di seluruh Indonesia. Kerja keras, waktu dan biaya telah di korbankan untuk sebuah pengakuan bahwa sebuah rumah sakit telah memiliki standar pelayanan internasional. Yel-yel akreditasi diteriakkan dengan penuh semangat, namun sangat sedikit yang mampu menyadari bahwa akreditasi rumah sakit berarti membentuk "sistem manajerial pelayanan kesehatan di rumah sakit". Sepanjang sistem manajerial rumah sakit belum diterapkan sesuai standar-standar manajemen rumah sakit, atau dengan kata lain sepanjang dokumen rumah sakit hanya berupa tumpukan kertas tanpa implementasi, maka sepanjang itu juga benang kekusutan masalah rumah sakit tidak bisa terurai. 

Pada masa-masa awal penerapan akreditasi di Indonesia, KARS lebih menekankan penilaian pada kelengkapan dokumen, ini dimaksudkan agar rumah sakit segera berbenah diri menyiapkan berbagai regulasi yang menjadi dasar pelaksanaan semua kegiatan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Saat ini, penilaian akreditasi rumah sakit lebih pada proses dalam memenuhi kriteria standar internasional. Penilaian lebih ditekankan pada bagaimana rumah sakit mengelola "input" secara efisien, hingga menghasilkan "output" yang efektif. Penilaian lebih berorientasi pada sejauh mana rumah sakit berkeinginan merubah budaya organisasi dengan memperbaiki sistem, bukan sekedar menutupi berbagai kekurangan agar memperoleh pengakuan dari KARS. Penilaian akreditasi adalah penilaian tentang adanya niat untuk menjadi lebih baik, menilai proses ke arah perbaikan, serta bagaimana simpul-simpul manajemen diurai satu per satu menjadi sebuah sistem yang bisa diterapkan dan dipertanggungjawabkan. Makin tinggi standar yang bisa diterapkan oleh sebuah rumah sakit, maka makin tinggi pula predikat yang akan diraihnya.

Ketika akreditasi rumah sakit dipahami sebagai sesuatu yang harus diperoleh untuk mendapatkan pengakuan, maka orang-orang hanya akan bekerja demi untuk sebuah pengakuan. Meraih sebanyak mungkin nilai dalam pokjanya masing-masing, hingga melupakan bahwa setiap pokja saling berkaitan satu dengan yang lain. Sistem manajerial pelayanan kesehatan di sebuah rumah sakit tidak mungkin mampu terbentuk hanya melalui kerja "kelompok-kelompok kerja" yang berdiri sendiri-sendiri dalam sebuah Tim Akreditasi. Penilaian rendah pada salah satu pokja sudah cukup menjelaskan bagaimana penerapan suatu sistem di rumah sakit. Semua itu menuntut tanggungjawab dan kepedulian seluruh SDM di rumah sakit, baik tenaga manajemen, fungsional maupun tenaga penunjang lainnya.

Pada dasarnya kelompok kerja yang dibentuk sesuai dengan bidang kerja dalam bab-bab pada dokumen penilaian akreditasi, hanya bertugas membantu rumah sakit. Pokja bertugas mengingatkan kembali tupoksi dari suatu organisasi yang dinamakan Rumah Sakit, yang telah memiliki struktur dengan pembagian tugas yang jelas, agar membenahi sistem manajerial rumah sakit. Pada umumnya dalam praktek, hampir semua rumah sakit telah memiliki peraturan, tetapi seringkali peraturan yang ada masih diterapkan secara lisan atau berdasarkan kebiasaan. Dengan akreditasi, dokumen-dokumen tentang tata cara berlangsungnya suatu sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit, ditata, dikelola, ditulis kembali agar menjadi peraturan bagi suatu rumah sakit dalam memberikan pelayanan perorangan dalam bidang kesehatan. Tanpa pemahaman ini, pokja-pokja hanya akan sibuk beramai-ramai pengumpulkan dokumen, melakukan sosialisasi, melakukan simulasi, dengan kebingungan pada tingkat unit-unit kerja. Sementara di tingkat manajerial tak kalah bingung memenuhi tuntutan pokja-pokja, yang menuntut agar kebutuhan standar-standar akreditasi pada tiap pokja segera dipenuhi. Tentu saja semua itu membutuhkan kerja keras, waktu dan biaya yang tidak sedikit. 

Apa sebenarnya yang menjadi harapan inti dari akreditasi rumah sakit ?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sistem didefinisikan sebagai :

  1. Perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas
  2. Susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas dan sebagainya
  3. Metode 
Rumah sakit merupakan salah satu dari fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki sistem pelayanan yang kompleks. Semakin tinggi tipe atau kelas suatu rumah sakit, akan semakin banyak jenis pelayanan kesehatan yang mampu dikelola oleh sebuah rumah sakit dan semakin luas pula sistem yang harus diterapkan oleh rumah sakit. Masing-masing bidang pelayanan memiliki sistem yang berbeda, tetapi saling berkaitan hingga membentuk suatu totalitas yang berwujud sistem pelayanan kesehatan rumah sakit. Baik buruknya totalitas itu, tergantung dari bagaimana sistem tiap-tiap bidang diterapkan.

Akreditasi rumah sakit memeriksa ada tidaknya kejelasan, keteraturan, kepastian mengenai sistem dalam memberikan pelayanan di rumah sakit. Pemahaman ini harus dibangun sejak awal ketika rumah sakit berkeinginan di akreditasi oleh KARS, agar semua pihak yang terkait memahami apa yang akan dilakukan, dan untuk apa itu semua harus dilakukan. Melaksanakan semua standar akreditasi adalah baik, dan akan lebih baik lagi jika kita memahami apa yang kita lakukan. Unit kerja sebagai ujung tombak dari pelayanan di rumah sakit sebaiknya dibekali pengetahuan manajerial sebagai bekal pelaksanaan standar dan menata sistem pelayanan pada tingkat unit kerja. Seseorang yang mampu memahami dan mengidentifikasi masalah (hazard/bahaya) di sekitar lingkungan kerjanya, akan jauh lebih mampu mengelola berbagai resiko yang mungkin terjadi. Sebaliknya, orang yang tidak mengetahui, cenderung tidak peduli dan menggampangkan masalah. Akreditasi hanya akan menjadi momok penambah beban kerja, ditengah rutinitas tugas utama yang padat. Dan setelah selesai akreditasi sudah bisa diduga, budaya kerja akan berlangsung seperti kebiasaan sebelumnya dan dokumen-dokumen akan tersimpan rapi berjejer di dalam lemari.

Rumah sakit mengatur dua macam manajemen dalam satu organisasi, manajemen klinik dan manajemen administrasi, namun penerapan kedua manajemen itu tidak bisa dipisahkan. Keduanya berjalan seiring untuk membentuk suatu sistem pelayanan kesehatan rumah sakit. Akreditasi memastikan bahwa semua aturan-aturan standar pelayanan di rumah sakit tercatat dalam berbagai dokumen, dengan sendirinya rumah sakit telah membentuk tata tertib, kepastian hukum serta "rules of the game" (aturan main) manajemen rumah sakit dalam melakukan tugas dan fungsinya. Aturan dalam dokumen harus dipatuhi dan berfungsi sebagai pedoman dalam menjalankan roda manajemen rumah sakit. Semuanya kembali tergantung seberapa besar keinginan dan kepatuhan kita untuk membangun budaya rumah sakit yang bermutu. Kepatuhan pada rules of the game ini berlaku untuk semua stakeholder rumah sakit, mulai dari petugas rumah sakit, pasien, pengunjung, masyarakat bahkan Pemerintah sebagai penanggung jawab keberlangsungan pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Pada dasarnya, inti dari Akreditasi rumah sakit adalah menggiring kita untuk menerapkan "hospital bylaws" dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit, menuntun kita untuk membangun "budaya organisasi" dalam tata kelola rumah sakit yang bermutu, sehingga dalam memberikan pelayanan kesehatan di rumah sakit kita telah terbiasa bekerja dalam suatu "sistem manajerial rumah sakit" yang baik dan bermutu.





  

   



    


MERENCANAKAN RENCANA STRATEGI RUMAH SAKIT




    Rencana strategi (Renstra) rumah sakit sebaiknya dibuat berdasarkan suatu analisis yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing rumah sakit. Tiap rumah sakit akan memberikan hasil analisis yang berbeda, tergantung keadaan situasi dan kondisi lingkungan rumah sakit. Namun tidak dapat dipungkiri, seringkali dokumen Rencana Strategi beberapa rumah sakit merupakan hasil "copas" dari beberapa renstra rumah sakit lain, sehingga dokumen renstra rumah sakit terkesan aneh dan jelas tidak sesuai dengan keadaan rumah sakit itu sendiri. 

     Sulitkah membuat atau merencanakan suatu rencana strategi sebuah rumah sakit ? 


     Membuat dokumen Rencana Strategi rumah sakit sebaiknya dimulai dengan merencanakan dan menganalisa bagaimana keadaan lingkungan internal dan eksternal rumah sakit. Teori yang seringkali digunakan untuk menganalisa keadaan sebuah rumah sakit adalah Teori Analisis SWOT.  Sebenarnya teori ini cukup mudah diterapkan dan hanya membutuhkan waktu pertemuan beberapa menit. Yang menjadi masalah bila kita terlanjur menganggap bahwa menyalin dokumen rencana strategi rumah sakit lain, lengkap dengan berbagai macam teori manajemen adalah pekerjaan yang sangat mudah dan cepat berbuah hasil yaitu sebuah "Dokumen Renstra Rumah Sakit". 


               Apa keuntungan merencanakan suatu rencana strategi bagi rumah sakit ?


       Dengan merencanakan suatu rencana strategi rumah sakit, diharapkan kita mampu menganalisis keadaan rumah sakit sesuai situasi dan kondisinya. Tentu saja rencana strategis yang akan tertuang nantinya dalam dokumen renstra rumah sakit itu benar-benar dapat menjadi patokan, bagaimana seharusnya tim manajemen rumah sakit menjalankan sistem manajerialnya. Dokumen renstra yang baik dengan analisa yang sesuai dengan lingkungan masing-masing rumah sakit, sangat mempengaruhi bagaimana sistem manajemen rumah sakit akan diterapkan.

     Kesalahan yang umum terjadi, renstra rumah sakit dibuat tanpa "penyelidikan" mengenai situasi dan kondisi  rumah sakit yang bersangkutan. Dokumen renstra rumah sakit dibuat dengan menyalin dokumen renstra rumah sakit lain. Semua teori manajemen rumah sakit dituangkan dalam dokumen, seakan-akan semua teori manajemen akan diterapkan dalam rencana strategi rumah sakit. Tetapi ketika dibuka dan dibaca, lain yang ditulis, lain pula kenyataannya. Tak ada korelasi yang dapat menghubungkan antara potensi yang dimiliki rumah sakit dengan rencana strategi yang akan diterapkan. Potensi yang dimiliki rumah sakit seperti halnya Sumber Daya Manusia, sarana dan prasarana dari tahun ke tahun terus ditingkatkan, baik kuantitas maupun kualitasnya. Di sisi lain renstra rumah sakit yang digunakan dan tertulis jelas dalam dokumen, tertinggal jauh beberapa dekade ke belakang. Meskipun SDM, sarana dan prasarana telah tersedia, semua itu tak banyak berarti tanpa ditunjang oleh sistem manajerial yang terkoordinasi dan tertuang dalam renstra yang baik, yang siap menjadi penuntun arah bagi sebuah organisasi.

     Analisis SWOT digunakan untuk menganalisis suatu keadaan. Bagi sebuah rumah sakit, dengan menggunakan teori analisis SWOT, diharapkan manajemen sebuah rumah sakit dapat menganalisa kondisi rumah sakit nya. Dengan mengetahui keadaan rumah sakit, kita akan mampu membuat rencana-rencana strategi yang sesuai. Membuat visi dan misi rumah sakit, membuat program kerja, menerapkan budaya kerja, menjalankan standar operasional, mengatur berbagai sistem manajerial dan lain sebagainya. 

      Analisis SWOT mampu mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis. Dari analisis SWOT kita dapat merumuskan strategi rumah sakit ke depan. Dengan analisis SWOT perencanaan strategi rumah sakit akan berdasarkan logika dengan memanfaatkan Strengths (kekuatan) dan Opportunities (Peluang), namun secara bersamaan mampu meminimalkan Weaknesses (kelemahan) dan Threats (ancaman).  Tujuan dari semua itu agar dalam bekerja sebagai manajer-manajer rumah sakit, kita mengetahui dengan persis, tujuan dan arah rumah sakit sesuai kebutuhannya.