‘EVERLAST’ itu nama yang disepakati papa dan mama bagi mobil penumpang daihatsu yang baru dibelinya. Mama menjahit penutup kursinya berwarna hijau daun dengan renda di pinggirannya.Ada sopir yang datang pagi hari, mengantar kami ke sekolah, lalu membawa pulang mobil pada malam hari dengan uang setoran hari itu. Awalnya uang setoran itu sesuai dengan yang disepakati, namun lama-kelamaan banyak alasan yang dikemukakan sopir untuk mengurangi setorannya. Ketika itu aku masih SD sehingga belum begitu memahami apa yang terjadi. Yang aku tahu kemudian, everlast tidak lagi beroperasi.
Tidak seperti biasa, beberapa malam ini, papa keluar malam dengan jaket dan topi membawa everlast. Papaku pegawai negeri sipil, kegiatannya biasanya siang hari, kalaupun ada malam hari biasanya itu bila menghadiri undangan. Kutanya mama, “papa ke mana ma ?”, mama hanya menjawab, “ada urusan”. Mama kembali sibuk mengajari Nang dan Ois adik-adikku membuat PR. Dalam hati aku masih penasaran, terbayang cerita beberapa temanku, papa mereka pulang dengan botol cap tikus, lalu terjerembab dalam selokan di depan pagar rumah mereka.
Malam itu malam minggu, kemarin malam aku telah menyelesaikan PR matematika yang diberikan ibu guru, jadi malam ini rencananya aku akan nonton televisi sepuasnya. Stasiun televisi satu-satunya yang ada di Manado hanya TVRI, sesekali muncul siaran televisi lokal menyiarkan acara kolintang dan musik bia.
“Ko, ikut papa yuk “ tiba-tiba papa muncul dari ruang makan. Papa dan mama baru selesai makan malam. Itulah kebiasaan kami ketika kecil, anak-anak makan duluan, setelah itu baru papa dan mama. Aku pernah bertanya tentang hal ini pada papa, mengapa bukan papa dan mama yang duluan makan atau kita makan bersama saja ?. Papa hanya menjawab, ingin melihat dan memastikan bahwa semua anaknya makan makanan yang terbaik yang bisa diberikan. Sisanya meskipun tinggal nasi dan dabu-dabu bagian papa dan mama. Ketika itu tentu saja aku belum bisa mencerna filosofi apa yang tersirat dalam kata-katanya.
“Mau kemana pa ?” tanyaku belum beringsut. “Ayo ambil sandal cepat”, kata papa sambil berjalan ke depan. Aku segera mengambil sandal di belakang, kemudian berlari mengikuti papa naik everlast.
Everlast berjalan pelan membelah jalanan gelap dan basah ditengah rintiknya hujan bulan ber ber (september, oktober, november, desember) kota Manado. Sepi, aku masih belum mengerti mengapa mobil berjalan lambat, sementara papa yang duduk di belakang kemudi, menatap harap pinggir jalan. Sampai kemudian ada dua orang ibu yang berdiri di pinggir jalan mengangkat tangannya, everlast berhenti, mereka naik. Papa kemudian menggantungkan plat trayek ‘pasar 45’ di depan kaca everlast. Pada masa itu mobil penumpang masih bebas memasang trayek apa saja yang diinginkan.
Selanjutnya satu orang, dua orang sampai akhirnya mobil penuh dan papa kemudian melambaikan tangannya bila ada orang yang memberi kode berhenti. Satu per satu penumpang turun ditujuannya masing-masing, mereka turun dan membayar lewat kaca jendela disampingku yang aku turunkan setengahnya. Aku menatap papa, raut wajahnya gembira, sedikit demi sedikit laci everlast terisi recehan. Sampai di stasiun, papa mengganti trayek yang lain, penumpang naik, kemudian turun, diganti dengan penumpang baru, begitu seterusnya.
Sepanjang jalan aku bernyanyi-nyanyi, “Helly….guk guk guk….kemari guk…guk…guk… ayo lari-lari...” Papa mengangguk-angguk mengikuti irama lagu-lagu penyanyi cilik era 70-an. Masa itu belum ada tape recorder di mobil penumpang. Everlast adalah generasi terbaru mobil penumpang dijaman itu. Bemo dengan tiga roda masih merajai jalanan kota Manado.
Hujan telah berhenti, laci everlast makin gemerincing. Sekarang aku makin lancar mengambil uang dari tangan penumpang, mengobok-obok laci everlast kemudian mengembalikan sisanya. Papa berkata, “musik…..!!”, aku melanjutkan sambil mengacung-acungkan kepalan tangan, membayangkan diriku menjadi Chicha Koeswoyo, “Taman mini Indonesia... tempat kebanggaanku.. rukun adil dan sentosa….. bangsa dan negaraku… Indahnya negeriku…. jayalah bangsaku… tak segan jiwaku membela……”
No comments:
Post a Comment