Website counter

Wednesday, January 31, 2018

STANDAR MANAJEMEN RUMAH SAKIT DALAM SNARS EDISI 1




Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) Edisi 1 merupakan standar pelayanan yang berfokus pada pasien, dengan pendekatan manajemen resiko. Dalam SNARS Edisi 1 yang mulai berlaku pada 1 januari 2018, terdapat pengelompokan standar berdasarkan fungsi-fungsi umum dalam organisasi perumahsakitan. 


Standar Manajemen Rumah Sakit merupakan salah satu dari lima (5) kelompok standar yang ada dalam SNARS Edisi 1. Pada kelompok Standar Manajemen Rumah Sakit terdapat 6 Bab yang memiliki fungsi sejenis, terkait masalah manajemen rumah sakit. Berikut penjelasan dari 6 Bab yang terdapat dalam kelompok Standar Manajemen Rumah Sakit :

1. Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP)
Standar PMKP pada dasarnya merupakan tujuan utama pelayanan kesehatan. Terjaminnya mutu dan keselamatan pasien adalah tujuan dari semua pelayanan yang dilaksanakan oleh semua unit kerja yang ada di rumah sakit. Rumah sakit wajib membangun budaya mutu dan keselamatan ke arah perbaikan dan peningkatan proses pelayanan kesehatan. 
Tim PMKP dapat berbentuk Komite atau bentuk organisasi lainnya untuk mengelola program PMKP dan memastikan mekanisme koordinasi antar unit kerja dapat berjalan dengan baik. Tim PMKP harus menetapkan program prioritas, pendataan, pengukuran dan evaluasi. Keputusan dan perbaikan yang dibuat berdasarkan standar perumahsakitan, baik nasional maupun internasional.

2. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)
PPI merupakan standar yang bertanggungjawab mengidentifikasi dan menurunkan resiko infeksi yang terjadi di rumah sakit. Setiap rumah sakit harus memiliki program-program PPI yang disesuaikan dengan kebutuhan dan resiko infeksi yang ada di rumah sakit itu. Penanggungjawab program PPI dapat berbentuk komite atau bentuk organisasi lainnya, yang mampu mengkoordinasikan program PPI dengan semua unit kerja. Dalam melaksanakan program PPI, tim PPI dibantu oleh perawat PPI atau biasa dikenal sebagai IPCN (Infection Prevention and Contol Nurse). IPCN memiliki kompetensi untuk mengawasi serta supervisi semua kegiatan PPI. Dalam bekerja IPCN dibantu oleh beberapa perawat penghubung atau IPCLN (Infection Prevention an Control Link Nurse) dari unit-unit kerja.
  
3. Tata Kelola Rumah Sakit (TKRS)
Sebagai suatu organisasi, rumah sakit diharapkan mampu menjalankan kepemimpinan yang efektif dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Dalam standar TKRS, kepemimpinan dikelompokkan berdasarkan hierarki sesuai peraturan perundang-undangan. Pemilik rumah sakit memiliki kewenangan untuk menetapkan organisasi rumah sakit dan mengangkat pejabat pengelola rumah sakit, berdasarkan peraturan internal (corporate bylaws), yang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Standar TKRS secara umum mengatur tanggungjawab, kewenangan dan penerapan pengetahuan manajemen rumah sakit oleh pengelola rumah sakit dalam menjalankan misi, rencana strategis, rencana kerja, program dan kegiatan, pengawasan serta laporan akuntabilitas.

4. Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK)
Pada standar MFK, rumah sakit dituntut memiliki manajemen efektif. Standar MFK banyak melibatkan instansi lain, mulai dari perencanaan, pendidikan dan pemantauan. Keluasan standar MFK dalam program-program manajemen resiko, membutuhkan kerjasama dengan berbagai bidang keilmuan dan keahlian, baik medis maupun non medis. Rumah sakit diwajibkan memahami dan menerapkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, mulai dari perencanaan, pembangunan, pengadaan yang berhubungan dengan fasilitas fisik, sarana dan prasarana rumah sakit, hingga prosedur standar dan audit kelayakan. Demikian pula dalam hal pengoperasian fasilitas maupun sistem kerja, rumah sakit dituntut untuk memenuhi standar keselamatan, mulai dari perijinan hingga prosedur operasionalnya. Penerapan standar fasilitas dan keselamatan di rumah sakit, disesuaikan dengan standar yang berlaku pada regulasi pemerintah, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. 

5. Kompetensi dan Kewenangan Staf (KKS)
Standar KKS mengatur  sumber daya manusia di rumah sakit. Persyaratan pendidikan, kompetensi, kewenangan, ketrampilan, pengetahuan dan pengalaman staf merupakan standar untuk  memenuhi kebutuhan unit-unit kerja dalam memberikan pelayanan kesehatan pada pasien. Perencanaan kebutuhan staf berdasarkan perencanaan strategis dan perencanaan tahunan rumah sakit, mampu meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. Dalam standar KKS, pimpinan unit kerja dilibatkan dalam membuat rencana pola ketenagaan. Berdasarkan kompetensi dan kewenangan, setiap staf memiliki tanggungjawab sesuai uraian tugas dan fungsinya. Dengan menerapkan standar KKS, rumah sakit diharapkan mampu memenuhi kebutuhan staf, baik medis maupun non medis sesuai kebutuhan rumah sakit, berdasarkan keragaman pasien, layanan diagnostik dan klinis rumah sakit, jumlah pasien, teknologi medis yang tersedia, serta misi rumah sakit.

6. Manajemen Informasi dan Rekam Medis (MIRM)
Dalam proses pelayanan kesehatan di rumah sakit, informasi merupakan salah satu sumber daya penting yang harus dikelola dengan baik. Manajemen informasi terkait asuhan pasien dalam rangka komunikasi antar staf, dibuat dalam bentuk tertulis baik kertas ataupun elektronik yang biasa disebut rekam medis. Proses kegiatan manajemen informasi dalam rekam medis dimulai saat pasien diterima di rumah sakit. Standar MIRM mengatur administrasi pelayanan kesehatan di rumah sakit, melalui suatu sistem pengelolaan rekam medis yang efektif dan terintegrasi, dapat dipertanggungjawabkan, berfokus pada pasien dan keselamatan pasien. Rekam medis memuat informasi yang memadai untuk mengidentifikasi pasien, mendukung diagnosis, dasar pengobatan, dokumentasi pemeriksaan dan hasil pengobatan serta kesinambungan pelayanan antar profesional pemberi asuhan.

Wednesday, January 17, 2018

K3RS DALAM STRUKTUR ORGANISASI RUMAH SAKIT




Sejak akhir abad ke 18, program-program K3 telah banyak diterapkan dalam sektor industri. K3 merupakan salah satu program, yang memperoleh perhatian penting dalam manajemen industri. Pada struktur organisasi perusahaan industri, departemen K3 menempati salah satu departemen penting yang letaknya dibawah Pimpinan atau General Manajer. Pada perusahaan industri, pesan-pesan keselamatan sudah terlihat sejak sebelum kita memasuki lokasi industri, dan akan selalu tampak ketika kita masuk ke dalam wilayah itu. 


Dalam bidang kesehatan khususnya di Indonesia, program-program K3 sudah mulai bergeliat sejak UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan ditetapkan. Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas kesehatan dituntut untuk ikut serta menyelenggarakan program-program K3. Sebagai salah satu industri dalam bidang kesehatan, rumah sakit justru terindikasi memiliki banyak masalah-masalah K3 yang tidak terdeteksi. Implementasi K3 di rumah sakit berjalan terseok-seok. Selain karena minimnya tenaga K3 kesehatan di rumah sakit, fokus pelayanan kesehatan yang bertumpu pada "kewajiban memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien" merupakan salah satu faktor terabaikannya keselamatan dan kesehatan kerja bagi Petugas pemberi pelayanan. 


Pengetahuan mengenai K3 dalam pendidikan kesehatan sudah dianggap merupakan bagian dari pendidikan itu sendiri. Hal ini memberi kesan bahwa petugas kesehatan seharusnya lebih menguasai pengetahuan K3. Namun data-data yang terungkap beberapa tahun belakangan ini, justru problem-problem K3 di rumah sakit secara signifikan jauh lebih besar dialami oleh petugas kesehatan, dibanding problem K3 di industri non kesehatan. 

Petugas rumah sakit setiap saat berhadapan dengan orang sakit, obat-obatan, peralatan medis hingga struktur bangunan yang memiliki banyak bahaya penyakit dan kecelakaan. Waktu kerja Petugas rumah sakit juga berbeda dengan pekerja pada umumnya. Resiko keselamatan dan resiko kesehatan di lingkungan rumah sakit dapat terjadi dari faktor fisika, kimia, biologi, ergonomis hingga faktor psikologis. Masalah ini diperparah dengan banyaknya kasus di rumah sakit yang tidak dapat dilaporkan, akibat tidak adanya sistem dalam struktur organisasi rumah sakit yang menangani permasalahan K3 secara khusus. 

Keselamatan dan  kesehatan kerja di rumah sakit semakin  menjadi perhatian semua pihak, setelah rumah sakit dituntut memberikan pelayanan yang bermutu dengan ditetapkannya standar pelayanan rumah sakit melalui instrumen akreditasi rumah sakit. Regulasi K3RS kemudian ditetapkan dalam PerMenKes No. 66 tahun 2016 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit. 

Rumah Sakit memiliki tingkat risiko keselamatan dan Kesehatan Kerja sesuai dengan tingkatan tipe suatu rumah sakit. Rumah sakit dengan tipe A atau B memiliki tingkat resiko yang lebih besar, karena rumah sakit tersebut memiliki bermacam-macam jenis pelayanan, sarana, prasarana dan teknologi, serta semakin banyak keterlibatan manusia di dalamnya, baik Sumber Daya Manusia Rumah Sakit, pasien, pengunjung, pengantar, vendor, dan lain sebagainya.

Untuk terselenggaranya K3RS secara optimal, efektif, efesien dan berkesinambungan, Rumah Sakit membentuk atau menunjuk satu unit kerja fungsional yang mempunyai tanggung jawab menyelenggarakan K3RS. Unit kerja fungsional itu dapat berbentuk komite tersendiri atau terintegrasi dengan komite lainnya, dan/atau instalasi K3RS.
Kebutuhan untuk membentuk unit kerja fungsional tersebut disesuaikan dengan besarnya tingkat risiko keselamatan dan Kesehatan Kerja, sehingga Rumah Sakit dapat memiliki komite atau instalasi K3RS, atau memiliki keduanya.

Komite atau Instalasi K3RS, memiliki mekanisme kerja dan tugas fungsi sebagai berikut:

1. Komite K3RS

Ketua Komite bertanggungjawab kepada Direktur utama Rumah Sakit. Komite memiliki anggota yang terdiri dari semua jajaran Direksi dan/atau kepala/perwakilan setiap unit kerja, (Instalasi/Bagian/Staf Medik Fungsional). Sekretaris merupakan petugas kesehatan yang  bertanggung jawab dan melaksanakan tugas secara purna waktu dalam mengelola K3RS, mulai dari persiapan sampai koordinasi dengan anggota Komite. Bila tidak terdapat sekretaris purna waktu maka Komite dapat membentuk Sub Komite di bawak Ketua Komite, sesuai bidang-bidang K3RS yang dibutuhkan.

2. Instalasi K3RS
Kepala Instalasi K3RS bertanggung jawab kepada Pimpinan Teknis. Instalasi minimal melaksanakan 3 fungsi yang terdiri dari :
a) Kesehatan Kerja meliputi upaya promotif, preventif, dan kuratif serta rehabilitatif.
b) Keselamatan Kerja meliputi upaya pencegahan, pemeliharaan, penanggulangan dan pengendalian.
c) Lingkungan Kerja meliputi pengenalan bahaya, penilaian risiko, dan pengendalian risiko di tempat kerja.

Komite K3RS atau instalasi K3RS bertugas

  1. Mengembangkan kebijakan, prosedur, regulasi internal K3RS, pedoman, petunjuk teknis, petunjuk pelaksanaan dan Standar Prosedur Operasional (SPO) K3RS untuk mengendalikan risiko.
  2. Menyusun program K3RS.
  3. Menyusun rekomendasi untuk bahan pertimbangan pimpinan Rumah Sakit yang berkaitan dengan K3RS.
  4. Memantau pelaksanaan K3RS.
  5. Mengolah data dan informasi yang berhubungan dengan K3RS.
  6. Memelihara dan mendistribusikan informasi terbaru mengenai kebijakan, prosedur, regulasi internal K3RS, pedoman, petunjuk teknis, petunjuk pelaksanaan dan (SPO) K3RS yang telah ditetapkan.
  7. Mengadakan pertemuan secara teratur dan hasilnya di sebarluaskan di seluruh unit kerja Rumah Sakit.
  8. Membantu Direktur Rumah Sakit dalam penyelenggaraan SMK3 Rumah Sakit, promosi K3RS, pelatihan dan penelitian K3RS di Rumah Sakit.
  9. Pengawasan pelaksanaan program K3RS.
  10. Berpartisipasi dalam perencanaan pembelian peralatan baru, pembangunan gedung dan proses.
  11. Koordinasi dengan wakil unit-unit kerja Rumah Sakit yang menjadi anggota organisasi/unit yang bertanggung jawab di bidang K3RS.
  12. Memberikan saran dan pertimbangan berkaitan dengan tindakan korektif.
  13. Melaporkan kegiatan yang berkaitan dengan K3RS secara teratur kepada Direktur Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan yang ada di Rumah Sakit.
  14. Menjadi investigator dalam kejadian PAK dan KAK, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tuesday, January 16, 2018

SEKILAS TENTANG SNARS EDISI 1




Sejak ditetapkan pada tahun 1995 untuk menilai mutu pelayanan rumah sakit di Indonesia, standar akreditasi beberapa kali mengalami perubahan. Standar akreditasi menjadi acuan untuk menilai kepatuhan rumah sakit terhadap standar pelayanan kesehatan. Hingga desember 2017, berlaku Standar akreditasi versi 2012, dan pada januari 2018 penilaian mutu pelayanan rumah sakit mulai menggunakan standar akreditasi yang baru, yang diberi nama Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) Edisi 1. 


Berbeda dengan standar akreditasi sebelumnya, SNARS edisi 1 dibuat dengan memperhatikan kondisi dan situasi rumah sakit di Indonesia. Proses penyusunan SNARS Edisi 1, melalui beberapa tahapan dengan berpatokan pada prinsip standar akreditasi dari The International Society for Quality in Health Care (ISQua). Masukan dari berbagai pihak, Rumah Sakit di Indonesia serta masyarakat umum menjadi perhatian utama dari Tim Penyusun untuk memperbaiki standar pelayanan kesehatan sehingga layak dan sesuai untuk diterapkan oleh rumah sakit di Indonesia. 

SNARS Edisi 1 merupakan standar pelayanan berfokus pada pasien untuk meningkatkan mutu dan keselamatan pasien dengan pendekatan manajemen resiko di rumah sakit. Dari segi tata bahasa, SNARS lebih terasa Indonesia dibanding standar-standar sebelumnya, sehingga diharapkan dapat lebih mudah untuk di implementasikan. 

Setiap elemen penilaian dalam SNARS Edisi 1 dilengkapi dengan tanda "R, D, O, W, S" yang berarti :

  • "R" = Regulasi, yaitu dokumen pengaturan yang disusun oleh rumah sakit, bisa berupa Kebijakan, Prosedur (SPO), Pedoman, Panduan, Peraturan Direktur RS, Keputusan Direktur RS dan atau Program.
  • "D" = Dokumen, adalah bukti proses kegiatan atau pelayanan yang dapat berbentuk berkas rekam medis, laporan dan atau notulen rapat dan atau hasil audit dan atau ijazah dan bukti pelaksanaan kegiatan lainnya.
  • "O" = Observasi, merupakan bukti kegiatan yang berdasarkan hasil penglihatan/observasi yang dilakukan oleh Surveior.
  • "W" = Wawancara, yaitu kegiatan tanya jawab yang dilakukan oleh Surveior kepada Pemilik, Direktur RS, Pimpinan RS, Profesional Pemberi Asuhan (PPA), Staf klinis, Staf non klinis, Pasien, Keluarga, Tenaga kontrak dan lain sebagainya. 
  • "S" = Simulasi, adalah peragaan kegiatan yang dilakukan oleh Staf RS yang diminta oleh Surveior. 


SNARS edisi 1 terdiri dari 16 Bab dan dikelompokkan sebagai berikut :

I. Sasaran Keselamatan Pasien (SKP)
  •    Sasaran 1. Mengidentifikasi pasien dengan benar
  •    Sasaran 2. Meningkatkan komunikasi yang efektif
  •    Sasaran 3. Meningkatkan keamanan obat-obatan yang harus diwaspadai (High Alert       Medications)
  •    Sasaran 4. Memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar, pembedahan pada pasien yang benar

II. Standar Pelayanan Berfokus Pasien
  1. Akses ke Rumah Sakit dan Kontinuitas Pelayanan (ARK)
  2. Hak Pasien dan Keluarga (HPK)
  3. Asesmen Pasien (AP)
  4. Pelayanan dan Asuhan Pasien (PAP)
  5. Pelayanan Anestesi dan Bedah (PAB)
  6. Pelayanan Kefarmasian dan Penggunaan Obat (PKPO)
  7. Manajemen Komunikasi dan Edukasi (MKE)
III. Standar Manajemen Rumah Sakit
  1. Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP)
  2. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)
  3. Tata Kelola Rumah Sakit (TKRS)
  4. Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK)
  5. Kompetensi dan Kewenangan Staf (KKS)
  6. Manajemen Informasi dan Rekam Medis (MIRM)

IV. Program Nasional
  • Menurunkan Angka Kematian Ibu dan Bayi
  • Menurunkan Angka Kesakitan HIV/AIDS
  • Menurunkan Angka Kesakitan TB
  • Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA)
  • Pelayanan Geriatri

V. Integrasi Pendidikan Kesehatan dalam Pelayanan Rumah Sakit (IPKP)


Dengan diberlakukannya SNARS Edisi 1 ini, diharapkan mutu pelayanan dan keselamatan rumah sakit di Indonesia akan menjadi lebih baik, sejajar dengan rumah sakit negara maju yang berstandar internasional.