Air mata kembali menggenang di pelupuk matanya. Kesedihan itu terus menggelayut dalam hari-harinya belakangan ini. Sakit papa melumpuhkan separuh jiwa mama. Tak mudah mengikhlaskan hilangnya kebersamaan yang telah dirajut puluhan tahun itu.
Sambil tetap menatap notebook yang berisi tulisanku di pangkuannya, mama mengusap setiap tetesan yang jatuh di pipinya. Seperti halnya aku ketika menulis semua kenangan kami, mamapun pasti dapat membayangkan semua kebersamaan dalam cerita-cerita itu. Begitu dekat dan rasanya semua baru terjadi kemarin.
Mata mama menerawang jauh, perlahan kesedihan itu menguap dari wajahnya dan berganti senyum, mengenang sang ketua senat. Seorang pemuda yang disegani semua mahasiswa sekampus. Aku mendengarkan cerita mama sambil melihat adegan film hitam putih dalam pikiranku, cerita tahun enam puluhan. Para mahasiswa dengan rambut yang dibasahi pomade dan celana gombrang di atas pusar. Sedangkan mahasiswinya dengan rok yang dikanji mengembang di atas lutut. Aku melihat seorang mahasiswi baru yang cantik mulai ditaksir oleh si ketua senat yang jaim.
Kami mulai tersenyum bersama memasuki lorong waktu. Seorang senior lain mencoba merayu sang gadis dengan mengajaknya nonton sebuah film baru di bioskop. Bersama seorang teman perempuan lain, mereka telah bersiap-siap sore itu. Tapi rencana berantakan ketika si ketua senat mendengar berita itu. Dengan lengan kiri menutupi wajah penuh amarah sambil berbaring di tempat tidur asrama putra, dia dikelilingi teman-temannya yang ikut prihatin mendengar berita itu.
Si mahasiswi baru pun merajuk karena tidak jadi menonton film. Si ketua senat menyuruh seorang temannya mengantarkan sebutir telur rebus untuk pujaan hatinya yang lagi marah, tapi si gadis terlanjur marah dan tak mau mengambilnya, tetapi si ketua senat tetap memaksa agar telur rebus itu diberikan pada gadis idamannya. Si loper telur pun bolak balik asrama putra dan putri hanya untuk mengantar sebutir telur rebus. Terakhir, dengan jengkel dia mengupas dan memakan telur itu dihadapan si gadis dan berkata, "Sebutir telur ini membuatku susah, aku akan mengatakan padanya kau telah memakannya". Kami tertawa bersama sebelum akhirnya tersedot kembali, menyadari kami ada di tahun 2011.
Papa sedang terbaring di depan kami. Sakitnya memaksa kami untuk menyadari bahwa tak ada yang kekal di dunia ini. Rasa itu begitu menyesakkan dada. Sebelum ini, masing-masing dari kami tentu sudah mengetahui, cepat atau lambat pasti ada saatnya kita akan kembali kepada-Nya. Namun kuakui, aku tak mampu merasakan seperti apa itu, meskipun sudah banyak kulihat orang yang meninggal dunia ataupun yang ditinggalkan. Sejak papa sakit, perlahan aroma itu mulai terasa. Sakitnya papa menghilangkan sebagian dari jiwa kami, bahkan sebagian dari jiwa rumah ini. Sosok dan semangat papa begitu melekat, hingga rumahpun terasa suram dan hambar.
Aku dan adik-adik mencoba mengecat rumah papa dan mama dengan warna yang baru. Beberapa orang yang datang memuji warna rumah kami, tetapi aku masih dapat merasakan bahwa tetap saja ada yang hilang, sesuatu yang tak bisa kami ungkapkan. Kami bahkan takut memindahkan barang-barang dari tempatnya semula.
Papa sudah berulangkali mengatakan bahwa usianya tidak lama lagi, bahkan papa telah mempersiapkan segalanya. Papa berpesan agar bila waktunya tiba segera dikuburkan dan agar nantinya kuburnya tidak dipasangi tegel. Sepertinya papa berharap, mama dan kami anak-anaknya sudah siap ketika saatnya tiba. Secara logika kami memang sudah siap, sejak papa sakit belakangan ini, semua sudah siap. Penyakit papa, usia papa dan anak-anak yang semuanya sudah berkeluarga, makin memudahkan keikhlasan itu ada di hati kami. Tak ada yang meragukan itu.
Tetapi keikhlasan tentu berbeda dengan kesedihan. Setiap kali melihat mama dan rumah mereka berdua, kesedihan itu selalu datang. Di mata mama ada papa, di dinding rumah, di kursi, di setiap jengkal ubin di rumah ini, semuanya ada papa. Papa membangun rumah ini karena cintanya pada kami. Kesedihan mama dapat aku pahami, setelah sekian tahun bersama dalam suka dan duka. Berbagi beban hidup bersama-sama, dan terutama tak ada yang mampu menggantikan sosok itu. Sang ketua senat yang gigih, dengan semangat yang berapi-api. Sosok suami dan ayah idaman yang menyayangi tanpa pamrih.
Baca juga : CINTA PAPA DAN MAMA
No comments:
Post a Comment