Website counter

Sunday, May 31, 2015

SEPEDA BARU



    
      Sepeda itu berwarna merah. Sadelnya panjang, dibagian belakangnya ada sandaran punggung yang berdiri tegak, kelihatannya terasa nyaman bila bersandar di situ. Aku melihatnya terkagum-kagum. Papa baru saja membelinya untukku. Tapi adik-adikku juga bisa dibonceng di belakang sambil bersandar. Masalahnya aku belum bisa naik sepeda roda dua.
      Pulang sekolah aku tak bisa tidur. Papa bolak balik menyuruh kami tidur siang. Kami bertiga berjejer melintang di tempat tidur kamar depan. Adikku yang bungsu tidur di kamar sebelah bersama mama. Mataku tak bisa diajak tidur, sesekali aku melihat jendela sambil berharap matahari cepat-cepat  turun. Bila kudengar pintu kamar sebelah berderit, segera mata kututup, pura-pura tidur pulas. Tong….tong….tong….es putar atau yang biasa kami sebut es tong-tong berbunyi tepat di depan rumahku. Ah…..nyamannya minum es tong-tong sambil duduk di atas sepeda baru……
      Sore tiba, aku bersiap-siap di atas sepeda di halaman rumah. Adik-adikku mengelilingi menatapku dengan bangga. Tapi eee….. sepeda miring ke kiri, aku menahannya dengan kaki kiriku. Kucoba lagi menaikinya eeee…. miring ke kanan, aku cepat-cepat turun dan menahannya dengan kaki kanan. Ois adikku yang laki-laki menangis, ingin ikut  diajak naik sepeda baru. Mama membujuknya, “kakak belum pintar naik sepeda, nanti jatuh”. Ois tak mau mengerti, pokoknya ia harus naik sepeda juga. Ia membanting-bantingkan kaki kecilnya ke tanah dan tetap menangis.
       
     “Ayo….ayo….”, papa datang, mengangkat Ois lalu mendudukkannya di sadel sepeda yang panjang. “Sandar di sini ya…..”, kata papa sambil memegang sepeda. “Papa pegang ya……”, aku pelan-pelan meletakkan kaki di pedal dan meletakkan pantat di sadel sepeda. Dengan sekuat tenaga pedal kuputar, satu….dua….tiga… sepeda mulai berjalan. Papa mengikuti kami dari belakang, sambil tetap memegang sandaran belakang sepeda yang tegak itu. Sesekali papa berlari mengikuti arah sepeda yang aku kemudikan.
Aku membawa sepeda keluar halaman rumah, ke jalan lorong depan rumah kami yang beraspal kasar. Adikku Nang dan teman-teman mengikuti di samping sepeda. Hore….hore…..
       “Pelan….pelan”, kata papa mulai terengah-engah. Ois tertawa kegirangan. Sepeda mulai kencang wuisssss……. “Hore…..hore….”, teriak teman-teman. Papa dengan sabar tetap mengikuti kami dari belakang. Sesekali tangannya dilepas, tapi segera dipegangnya lagi ketika sepeda mulai miring. Ah senangnya….     
      Setiap hari aku merindukan sore tiba lebih cepat. Entah papa tahu atau tidak, bahwa semenjak ada sepeda baru, aku tak bisa tidur siang lagi. Pikiranku menghayal suatu saat aku akan naik sepeda  ke sekolah, mataku menatap jendela kamar tidur kami, apakah matahari telah turun ?.
       Setiap sore papa mengajariku naik sepeda, tak kenal lelah papa berlari di belakang sepeda. Papaku mungkin satu-satunya papa papa atau papi papi di lingkungan kompleks kami, yang mau berlelah-lelah mendampingi anak-anaknya bermain sore. Kelebihan itu tak pernah kuperhatikan ketika aku kecil, tapi ketika dewasa dan berkeluarga, aku baru menyadari bahwa tak mudah perhatian seperti itu kuberikan pada anak-anakku……

No comments: