Ketika kasus dokter Ayu dan kawan-kawan heboh di akhir 2012 yang lalu, hampir semua stasiun televisi menayangkan berita itu berulang-ulang. Meski hasil sidang Pengadilan Negeri Manado dan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) telah menyatakan bahwa ketiga dokter itu telah menjalankan operasi sesuai prosedur, tetap saja terdengar suara-suara kecaman hingga akhir tahun 2013, dan puncaknya adalah vonis Mahkamah Agung terhadap ketiga dokter itu, 10 bulan penjara. Perkembangan selanjutnya sampai Februari 2014 akhirnya Majelis PK membebaskan ketiganya karena dinilai tidak menyalahi Standar Operasional Prosedur.
Sejauh mana dampak kasus ini mempengaruhi para dokter ? tentu saja suara-suara kecaman itu masih segar diingatan hingga saat ini. Dan kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi para dokter. Dalam suatu acara di televisi yang membahas tentang kasus ini, seorang profesor menceritakan bahwa di Penang Malaysia, seorang dokter yang beragama katolik setelah menangani pasiennya pergi ke gereja lalu mendoakan pasiennya, kata beliau lagi, di Indonesia tidak ada dokter yang seperti itu.
Ketika mendengarnya sedih sekali rasanya. Mungkinkah doa kami harus dikumandangkan ke seluruh negeri agar semua bisa mendengarnya ? Tahukah mereka, bahwa ketika kami melihat pasien-pasien kami menderita, separuh dari jiwa kami juga turut merasakannya ? Tahukah mereka, berapa banyak pasien yang harus kami layani dengan berbagai macam penderitaan yang terpampang di wajah mereka dan sebanyak itu juga beban penderitaan itu merongrong hari-hari dalam hidup kami. Tahukah mereka, bagaimana gejolak jiwa kami ketika usaha menolong pasien-pasien kami ternyata hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Jika kami dituntut untuk mempertontonkan rasa empati kami, sementara pasien lain menunggu untuk ditolong, pantaskah itu ?
Kisah tiga dokter yang dipenjarakan karena "kegagalan" mereka menolong pasiennya, sebenarnya ibarat bom waktu yang telah meledak dalam dunia kesehatan kita di Indonesia. Bom waktu itu sebenarnya telah lama diketahui dan dirasakan oleh kami praktisi dalam bidang kesehatan. Tuntutan dan harapan atas keselamatan jiwa dan raga dari pasien, digantungkan pada seorang dokter. Meskipun kita selalu menyatakan bahwa dokter itu bukan Tuhan, tetapi tuntutan sebagian besar dari kita kepada seorang dokter, menyatakan hal yang sebaliknya. Sadar ataupun tidak sadar fenomena itu terlihat nyata dalam dunia kesehatan kita.
Bom waktu itu telah meledak, mungkin hingga saat ini para tenaga kesehatan di Indonesia dilanda kekhawatiran dibenaknya, keselamatan pasienkah atau keselamatan diri sendiri. Pendidikan dan praktek kedokteran telah dan akan selalu terus dijalani. Dalam menghadapi pasien, semua tergantung masing-masing individu dan Standar Operasional Prosedur masing-masing kasus. Sebagai manusia, dengan berbagai latar belakang kehidupan, setiap dokter tentu berbeda cara dalam menghadapi pasiennya. Tetapi tuntutan dan harapan masyarakat tidak mungkin dapat disejajarkan dengan situasi dan kondisi dunia pelayanan kesehatan di Indonesia saat ini. Di Indonesia, diberbagai fasilitas pelayanan kesehatan, situasi dan kondisi pelayanan kesehatan cukup memprihatinkan. Seorang dokter bukan hanya harus memikirkan hidup mati pasiennya, dokter juga sangat dipusingkan oleh keadaan lingkungan pekerjaannya. Harus diakui bahwa jumlah tenaga medis dan paramedis belum sebanding dengan jumlah kebutuhan akan pelayanan kesehatan, sarana dan prasarana pendukung belum bisa dikategorikan cukup memadai, dan semua itu tidak disertai pendanaan yang cukup untuk membuatnya lebih baik lagi.
Dunia kedokteran tidak boleh error, namun semua keadaan disekitar dunia itu, begitu memungkinkan untuk terjadi banyak kesalahan. Dokter menghadapi mahluk bernyawa, yang diciptakan Tuhan dengan sistem yang kompleks. Dokter dituntut sama sekali tidak boleh salah, bahkan dituntut untuk memprediksi bagaimana jalannya prosedur itu dilakukan dan hasil yang didapat. Kenyataan di lapangan sangatlah berbeda. Dokter tidak mampu menjamin bahwa prosedur pelaksanaan tindakan kedokteran akan berjalan sesuai rencana, dan ketika rencana tidak berjalan seperti yang seharusnya, dokter dituntut untuk segera memutuskan tindakan selanjutnya tanpa membuang waktu sedetikpun. Tetapi bagaimana jika tujuan menolong itu nanti akan menjadi bumerang di kemudian hari ?
Undang-undang mengatur rambu-rambu agar dokter dapat mempertanggungjawabkan pekerjaannya, termasuk jika terjadi keadaan darurat medis. Namun dengan kejadian kasus ketiga dokter itu, semakin ragu dokter akan keampuhan peraturan yang melindungi pekerjaannya. Tidak usahlah heran apabila banyak dokter cenderung akan lebih memilih membereskan semua administrasi medis pasien, daripada secepatnya melakukan tindakan pertolongan medis. Akibat dari semua itu akan berujung pada semakin lamanya waktu pasien menjalani masa kritis, karena menunggu selesainya semua prosedur pemeriksaan penunjang medis, seperti berbagai pemeriksaan laboratorium dan sebagainya. Pemeriksaan penunjang medis memang penting untuk dilakukan, namun kadang karena alasan kekhawatiran, seringkali pemeriksaan penunjang medis terhadap kasus tertentu terkesan berlebihan. Alasan utamanya karena dokter bukan Tuhan, tak ada yang bisa memprediksi semua akan berjalan seperti yang ada dalam diktat-diktat kedokteran. Dan satu hal yang sudah pasti, tentu saja makin besar biaya pelayanan kesehatan yang harus di tanggung pasien (saat ini Pemerintah, melalui program BPJS kesehatan, dan lihatlah bagaimana kewalahannya BPJS akibat anggaran yang dibutuhkan, ternyata berbeda jauh dari yang telah disiapkan). Tetapi dokter mana yang mau tangannya diborgol seperti kriminal, padahal niatnya luhur semata-mata hanya untuk menolong pasien.
Tiga dokter spesialis kebidanan dan kandungan telah di bui, meskipun kemudian dilepas karena tidak terbukti bersalah. Mereka ditahan sejak november 2013 dan kemudian dilepas pada februari 2014. Apa dampaknya bagi dunia kesehatan kita ? Sampai saat ini Indonesia sedang berjuang menurunkan angka kematian ibu dan bayi yang masih tergolong tinggi. Tahukah kita bahwa selama beberapa bulan di penjara seharusnya mereka bisa membantu menurunkan angka kematian ibu dan bayi ? Tahukah kita bahwa hanya dalam beberapa bulan itu, ada begitu banyak ibu yang sedang berjuang antara hidup dan mati yang membutuhkan bantuan dokter spesialis kebidanan dan kandungan yang jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah pasien yang ada ?
Bila dalam dunia medis ada 'oknum-oknum' yang bisa dikategorikan 'nakal', itulah manusia, ada baik dan ada buruknya. Namun seyogyanya kita melihat kasus ini dengan lebih adil. Sebelum terjadinya kasus ini, ada berapakah nyawa yang telah dibunuh ketiga dokter itu ? Ataukah sebaliknya ada berapa yang telah ditolongnya ? Pada dasarnya, sebagian besar pasien tidak dikenal secara pribadi oleh dokter. Bertahun-tahun dokter menghabiskan umurnya dalam menjalani pendidikan kedokteran, bahkan banyak yang tidak sempat menikah, tujuannya hanya satu, menolong orang lain yang sebagian besar tidak memiliki hubungan apapun dengannya. Ketika terjadi hubungan dokter dan pasien, mau atau tidak mau, dokter harus memikirkan kondisi pasien yang dilihatnya. Seburuk apapun penilaian pasien dan keluarganya terhadap cara berinteraksi seorang dokter dengan pasiennya, bukan alasan sama sekali untuk menilai bahwa dokter tidak pernah membawa kondisi pasien dalam pikirannya. Banyak yang tidak tahu atau mungkin tidak mau tahu, bahwa hidup seorang dokter harus selalu siaga 1 x 24 jam, untuk pasien-pasiennya.
Lalu mengapa banyak suara yang mengecam dan memuji-muji pelayanan kesehatan di negara tetangga ? Sangatlah wajar bila rumput tetangga nampak lebih hijau daripada di halaman sendiri, tetapi bukan itu masalahnya. Situasi dan kondisi dokter di sana lebih terjamin, sistem yang berlaku di sana memungkinkan dokter untuk hanya memikirkan pelayanan kepada pasiennya semata, bahkan masih sempat pergi ke tempat ibadah, khusus untuk mendoakan pasien-pasiennya. Mereka tidak harus melayani di banyak tempat dan memikirkan minimnya jumlah mitra kerja, minimnya sarana dan prasarana, karena semua yang dibutuhkan untuk mendukung pekerjaan mereka sebagai dokter, telah tersedia. Dan tentu saja hal yang sangat diinginkan semua orang adalah ketika penghasilan yang diperoleh, memungkinkan mereka untuk mengasuransikan seluruh hidup mereka dan keluarganya.
Bila kondisi sudah sedemikian teratur, bila terjadi kasus malpraktek semua kesalahan akan tampak nyata. Teman sejawat dokter sendiri yang akan menjadi jaksa dan hakim bagi sejawatnya yang melakukan malpraktek. Dan kasus seperti yang menimpa dokter Ayu dan kawan-kawan, justru akan merebut simpati semua elemen masyarakat, karena semua masyarakat telah mampu memahami suatu kejadian dalam dunia medis, yang terjadi diluar kemampuan seorang dokter.
Tiga dokter spesialis kebidanan dan kandungan telah di bui, meskipun kemudian dilepas karena tidak terbukti bersalah. Mereka ditahan sejak november 2013 dan kemudian dilepas pada februari 2014. Apa dampaknya bagi dunia kesehatan kita ? Sampai saat ini Indonesia sedang berjuang menurunkan angka kematian ibu dan bayi yang masih tergolong tinggi. Tahukah kita bahwa selama beberapa bulan di penjara seharusnya mereka bisa membantu menurunkan angka kematian ibu dan bayi ? Tahukah kita bahwa hanya dalam beberapa bulan itu, ada begitu banyak ibu yang sedang berjuang antara hidup dan mati yang membutuhkan bantuan dokter spesialis kebidanan dan kandungan yang jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah pasien yang ada ?
Bila dalam dunia medis ada 'oknum-oknum' yang bisa dikategorikan 'nakal', itulah manusia, ada baik dan ada buruknya. Namun seyogyanya kita melihat kasus ini dengan lebih adil. Sebelum terjadinya kasus ini, ada berapakah nyawa yang telah dibunuh ketiga dokter itu ? Ataukah sebaliknya ada berapa yang telah ditolongnya ? Pada dasarnya, sebagian besar pasien tidak dikenal secara pribadi oleh dokter. Bertahun-tahun dokter menghabiskan umurnya dalam menjalani pendidikan kedokteran, bahkan banyak yang tidak sempat menikah, tujuannya hanya satu, menolong orang lain yang sebagian besar tidak memiliki hubungan apapun dengannya. Ketika terjadi hubungan dokter dan pasien, mau atau tidak mau, dokter harus memikirkan kondisi pasien yang dilihatnya. Seburuk apapun penilaian pasien dan keluarganya terhadap cara berinteraksi seorang dokter dengan pasiennya, bukan alasan sama sekali untuk menilai bahwa dokter tidak pernah membawa kondisi pasien dalam pikirannya. Banyak yang tidak tahu atau mungkin tidak mau tahu, bahwa hidup seorang dokter harus selalu siaga 1 x 24 jam, untuk pasien-pasiennya.
Lalu mengapa banyak suara yang mengecam dan memuji-muji pelayanan kesehatan di negara tetangga ? Sangatlah wajar bila rumput tetangga nampak lebih hijau daripada di halaman sendiri, tetapi bukan itu masalahnya. Situasi dan kondisi dokter di sana lebih terjamin, sistem yang berlaku di sana memungkinkan dokter untuk hanya memikirkan pelayanan kepada pasiennya semata, bahkan masih sempat pergi ke tempat ibadah, khusus untuk mendoakan pasien-pasiennya. Mereka tidak harus melayani di banyak tempat dan memikirkan minimnya jumlah mitra kerja, minimnya sarana dan prasarana, karena semua yang dibutuhkan untuk mendukung pekerjaan mereka sebagai dokter, telah tersedia. Dan tentu saja hal yang sangat diinginkan semua orang adalah ketika penghasilan yang diperoleh, memungkinkan mereka untuk mengasuransikan seluruh hidup mereka dan keluarganya.
Bila kondisi sudah sedemikian teratur, bila terjadi kasus malpraktek semua kesalahan akan tampak nyata. Teman sejawat dokter sendiri yang akan menjadi jaksa dan hakim bagi sejawatnya yang melakukan malpraktek. Dan kasus seperti yang menimpa dokter Ayu dan kawan-kawan, justru akan merebut simpati semua elemen masyarakat, karena semua masyarakat telah mampu memahami suatu kejadian dalam dunia medis, yang terjadi diluar kemampuan seorang dokter.
No comments:
Post a Comment