Dalam sejarah Nusantara, jauh sebelum Kartini telah banyak lahir perempuan yang memegang peranan penting dalam masyarakat dan mengukir prestasi. Sebagian karena mewarisi tampuk kerajaan secara hirarkhi , sebagian lagi menjadi pahlawan dalam membela hak-haknya secara lokal. Masing-masing perempuan hebat itu lahir pada jamannya dalam kelompok, suku dan budayanya sendiri.
Perjuangan Kartini lahir dari keprihatinannya terhadap kondisi sosial dalam masyarakat yang menganut paham patriarkhi, yang tidak bisa dipungkiri masih dianut sebagian besar masyarakat Indonesia hingga kini. Pemikiran Kartini yang mengkritisi fenomena yang telah membudaya dalam masyarakat bersifat global, bahkan sebagian besar kaum perempuan tidak menyadarinya dan menerimanya sebagai kodrat. Ide dan cita-citanya, yang kelak merupakan sumber inspirasi perempuan Indonesia, menjadikan sosok Kartini abadi untuk dikenang.
Melalui surat demi surat yang ditulisnya, yang dirangkum dalam buku “Habis gelap terbitlah terang”, Kartini mengungkapkan pemikirannya tentang kesetaraan gender, yang hingga saat ini masih merupakan hutang peradaban. Perlakuan tidak adil terhadap perempuan, telah berjalan selama berabad-abad, dan masih tetap berlangsung, bukan hanya di Indonesia tetapi juga diberbagai belahan dunia. Ketidakadilan ini merujuk pada kentalnya budaya patriarkhi, yang juga sangat dirasakan dalam masyarakat Indonesia. Hal ini mengakibatkan masalah ketimpangan gender, yang berdampak pada semua aspek. Meskipun sudah dilakukan berbagai upaya emansipasi, termasuk kesempatan dalam meraih pendidikan yang tinggi, stigma menomorduakan perempuan masih membekas. Yang lebih memprihatinkan, pada era modern sekarang ini, masih banyak kasus-kasus penindasan terhadap kaum perempuan disekitar kita. Diskriminasi, pelecehan, pemerkosaan ataupun tindakan kekerasan, adalah contoh aib perilaku kemanusiaan yang mengakibatkan trauma kejiwaan yang berkepanjangan bagi yang mengalaminya.
Paham patriarki yang dipahami secara salah, yang menganggap laki-laki lebih unggul dan lebih dominan dalam hal apa saja, menempatkan kaum perempuan menjadi kelompok yang rentan, bahkan menjadi sasaran tindakan semena-mena. Oleh karena itu perjuangan emansipasi diharapkan mampu menghilangkan dominasi gender yang berlebihan. Setumpuk kendala masih menjegal kaum perempuan. Pelabelan negatif, seperti masih minimnya kualitas perempuan, perempuan dianggap tidak mampu mengambil keputusan, atau perempuan tidak rasional dan lebih mengedepankan emosional, menjadikan sebagian besar bidang kehidupan, berwajah maskulin.
Melalui surat Kartini yang ditujukan kepada Prof Anton dan nyonya pada 4 oktober 1902, Kartini menulis, “Kami di sini memohon pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu, menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali, agar perempuan lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya, menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”
Tersirat keinginan Kartini agar kaum perempuan dapat mengenyam pendidikan yang layak, yang dapat digunakan sebagai bekal mendidik anak-anaknya dengan baik, sebab ibulah guru pertama bagi anak-anaknya. Perempuan adalah ibu sekaligus guru pertama, sehingga harus bisa menjadi cermin positif, bagi keluarganya.
Inilah sesungguhnya salah satu sisi paling riil dari perjuangan kesetaraan gender, perjuangan Kartiini. Perempuan tidak bisa menghilangkan peran dan fungsi perempuan sebagai ibu dan seorang istri, tugas-tugas kodrati sebagai ratu dan pengurus rumah tangga. Namun perempuan mampu menjadi lebih mandiri dan mampu melakukan segala aktifitas bersama-sama kaum laki-laki membangun bangsa, bila kesempatan itu ada dan lingkungan dapat menerimanya.
Kesetaraan gender adalah langkah awal kita membangun bangsa yang adil dan makmur, tanpa mengsubordinatkan salah satu pihak. Baik perempuan maupun laki-laki, keduanya sama-sama memiliki hak sebagai warga negara yang diharapkan mampu secara bersama-sama mengambil peran aktif dalam pembangunan. Atas dasar itulah, dibutuhkan suatu strategi dan langkah-langkah terobosan, yang mampu membuat perubahan berarti.
Sosialisasi kesetaraan gender diharapkan tidak semata-mata hanya kepada kaum perempuan. Laki-laki memegang peranan penting, dengan harapan agar kaum laki-laki memahami dan menyadari akan peranannya dalam membangun kesetaraan gender. Peranan kaum laki-laki dimulai dari kehidupan berumahtangga, bermasyarakat, maupun kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada dasarnya, ibu Kartini tidak menginginkan perempuan memposisikan diri sebagai rival kaum laki-laki. Perjuangannya semata-mata demi kebangkitan cara berpikir kaum perempuan. Kartini dan semua perempuan menyadari ada perbedaan fisik dan biologis secara kodrati yang tidak mungkin dapat dipersamakan antara perempuan dan laki-laki. Perjuangan kesetaraan gender adalah memperjuangkan kesamaan dalam memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam berbagai bidang secara harmonis bersama kaum laki-laki. Dimana semua itu akan terwujud bila kaum laki-laki memberi dukungan dan perhatian yang tulus. Ibu Kartini meyakini, perempuan yang berwawasan luas, akan mampu menempatkan dirinya sebagai ibu dan guru bagi anak-anaknya, sebagai istri dan mitra bertukar pikiran bagi suaminya, dan sebagai pelita bagi lingkungannya.
No comments:
Post a Comment