Website counter

Friday, July 28, 2017

TRADISI TUMBILOTOHE DI GORONTALO


Tiga malam sebelum berakhirnya bulan suci Ramadhan, Seluruh wilayah Propinsi Gorontalo terang benderang dengan cahaya lampu. Di halaman rumah penduduk, gedung perkantoran, jalan-jalan, sungai dan areal persawahan berkilau dengan cahaya lampu, baik yang berasal dari lampu pelita yang masih menggunakan minyak tanah, hingga lampu yang menggunakan energi listrik.



Tradisi Tumbilotohe ini diperkirakan sudah berlangsung sejak abad ke 15. Tumbilotohe bila diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi dua patah kata. Tumbilo artinya menyalakan dan tohe artinya lampu, jadi secara umum tumbilotohe diterjemahkan sebagai menyalakan lampu. Namun masyarakat Gorontalo lebih akrab menyebutnya sebagai "Malam Pasang Lampu", mengikuti istilah sehari-hari masyarakat Gorontalo.



Pada masa lalu tradisi ini sebenarnya merupakan kebiasaan masyarakat Gorontalo di bulan Ramadhan. Kebiasaan menyalakan lampu di halaman rumah dan jalan-jalan pada bulan Ramadhan berhubungan dengan kegiatan masyarakat Gorontalo pada bulan itu. Wilayah Gorontalo yang pada saat itu belum dialiri listrik sangat menyulitkan masyarakat yang ingin beribadah di mesjid dan surau pada bulan Ramadhan, sehingga mereka berinisiatif memasang lampu sepanjang jalan dari rumah ke mesjid.



Kebiasaan ini membawa banyak kebahagian di masyarakat. Anak-anak, remaja hingga orang tua berbaur bersilaturahmi beramai-ramai ke mesjid dibawah cahaya lampu-lampu yang menerangi perkampungan mereka. Dan ketika listrik mulai memasuki wilayah Gorontalo, perlahan-lahan kebiasaan menyalakan lampu pelita tergantikan dengan lampu listrik yang lebih praktis. Namun masyarakat masih menyukai tradisi ini dan Pemerintah Gorontalo pun sangat mendukungnya. Saat ini tradisi Tumbilotohe selalu ditunggu-tunggu masyarakat Gorontalo.



Tiga hari menjelang Idul Fitri, Gorontalo semarak dengan tradisi Tumbilotohe. Masyarakat Gorontalo di perantauan memanfaatkan momen ini untuk pulang kampung. Berbagi rejeki yang diperoleh selama setahun bekerja bersama keluarga dan handai tolan, juga merupakan tradisi yang tetap terpelihara di Gorontalo hingga kini.



Beberapa hari sebelumnya rakyat Gorontalo yang didukung oleh Pemerintahnya, bahu membahu mempersiapkan segalanya. Penjual lampu botol telah mempersiapkan jualannya. Minyak tanah yang awalnya sulit ditemukan, dijual dengan harga 20.000 rupiah per botol 1500 ml, dan selalu saja laris manis diborong pembeli.


Remaja-remaja mesjid di setiap lingkungan menawarkan diri membantu pemasangan lampu-lampu hias. Pemilik rumah cukup menyediakan lampu dan kabel. Mereka menghias halaman rumah dan jalanan dengan untaian lampu warna warni. Gedung-gedung, areal tanah kosong, persawahan bahkan hingga di atas sungai, lampu hias membentuk untaian kata maupun simbol yang dikreasikan sedemikian rupa.

Daaannnn.....
ABRAKADABRA.....
tiga malam sebelum berakhirnya Ramadhan.... seluruh Provinsi Gorontalo terang benderang dengan kelap kelip lampu... menandakan berakhirnya bulan suci Ramadhan.