Website counter

Thursday, March 25, 2021

SANG PEMEGANG TONGKAT ESTAFET

 

Papaku bungsu dari sebelas bersaudara. Banyak yaa... maklumlah, jaman dulu belum ada lampu, TV apalagi hand phone. Mungkin setelah waktu magrib, isya dan malam gelap, tak ada lagi yang bisa dilihat... bobo deh rame-rame 😴. Lah apa hubungannya 😕..wkwkwk..

Sebenarnya "kesebelasan" itu memiliki nama masing-masing, tetapi seperti kebiasaan orang Gorontalo dari jaman dulu, kami para ponakan terbiasa memanggil mereka dengan nama-nama julukan. Untuk saudara papa tertua yang kebetulan laki-laki, kami memanggil beliau, "Papa Satu". Untuk perempuan nomor dua, disapa dengan panggilan, "Mama Dua. Yang ketiga masih berurutan panggilannya, "Mama Tiga". Entah kenapa setelah nomor empat dan seterusnya tidak lagi dipanggil dengan "nomor punggung" 😄, mungkin karena beberapa orang diantaranya sudah meninggal sebelum mereka menikah.

Istilah julukan itu muncul kembali pada panggilan nama kakak perempuan ke sepuluh. Tapi kali ini tidak dipanggil "Mama Sepuluh" tapi "Mama Ade", bisa berarti perempuan terakhir. Yah.. lebih kerenlah daripada "Mama Sepuluh". Nanti mirip nomornya Mario Kempes atau Maradona 😄... pemain bola yang sangat top pada masa kecilku, dengan nomor punggung sepuluh. 

Bisa juga dipahami bahwa program Keluarga Berencana di Indonesia sedang dipuncak kejayaan saat itu, sehingga Presiden Soeharto menuai pujian dari berbagai negara. Bakal ketahuan aslinya KB di Indonesia hanya gara-gara julukan panggilan orang Gorontalo. 😁

Nah, giliran anak bungsu lebih aneh lagi panggilannya. Papaku dipanggil "Papa Sisa" 😁. Apa mungkin maksudnya, terjadi dari sisa-sisa sel telur sebelum menopause ya... entahlah.. Yang jelas nama Papa Sisa atau Pa Sisa sangatlah familiar di telingaku.

Dulu, aku pikir hanya papaku yang bernama Pa Sisa. Karena kami besar di Manado yang tidak mengenal panggilan julukan seperti itu. Ketika pulang ke Gorontalo, ternyata cukup banyak juga yang bernama "Pa Sisa" atau "Ma Sisa". 

Dari kesebelas bersaudara itu, hanya Ma Ade dan Pa Sisa yang tinggal di Manado. Hubungan keduanya menjadi contoh bagi kami semua anak-anak mereka hingga saat ini. Meskipun tak pernah ditunjukkan dengan tindakan, seperti cipika cipiki atau sungkeman, tapi semua kami anak ponakan bisa merasakannya seiring perkembangan masa kanak-kanak hingga dewasa.

Bila hari raya Idul Fitri atau Idul Adha tiba, setelah selesai shalat Ied di Lapangan Tikala Manado, tidak ada tempat tujuan utama selain rumah Ma Ade di Komo Luar. Sebagai seorang abdi negara, papa memiliki atasan dan teman-teman kantor, tetapi rumah Ma Ade selalu menjadi prioritas untuk dikunjungi pertama kali. Meskipun saat shalat Ied di Lapangan, kadangkala kami sudah bertemu dan bersalaman, tetap saja kami harus mengunjungi rumah Ma Ade. Hal ini terjadi rutin dua kali setiap tahun. Idul Fitri dan Idul Adha.

Kenangan itu sangatlah indah, ketika berkumpul dalam kegembiraan bersama sepupuan. Kadang ada juga sepupu dari anak saudara papa yang lain, yang kebetulan berada di Manado. Anaknya Papa Satu, Mama Dua, Mama Tiga dan seterusnya. Situasi ini menjadikan kami sepupuan merasa lebih dekat satu sama lain. Beberapa ponakan lebih tua dari pada umur paman dan bibinya. Panggilanpun akan menyesuaikan dengan situasi, tidak masalah bila aku hanya dipanggil nama oleh ponakan yang lebih tua dariku. Lhaa... anak kecil dipanggil tante tak lucu ah, apalagi bila dipanggil "Mama Satu" 😝. 

Setelah Mama Ade dan Papa Sisa pindah ke Gorontalo, ada perubahan kebiasaan setelah Shalat Ied. Bukan lagi rumah Mama Ade yang menjadi tempat kunjungan pertama kami. Di Gorontalo saat itu masih ada kakak perempuan papa yang lebih tua. Kami memanggilnya "Mama Tali". Aku tidak tau persis nomor punggungnya, yang jelas antara nomor 4, 5, 6, 7, 8, atau 9. Setelah Shalat Ied, papa akan mengajak kami mengunjungi rumah Mama Tali. Dan tumpahlah semua anak ponakan di rumah Mama Tali. Beberapa bayi, anak, ponakan yang baru lahir akan dikenalkan sebagai generasi baru. Demikian pula berita dari keluarga yang tinggal jauh menjadi topik menarik dalam pertemuan itu.

Setelah Mama Tali meninggal dunia, tongkat estafet berpindah ke tangan Mama Ade sebagai sesepuh yang paling tua. Kami semua akan berkumpul di rumah Mama Ade setelah shalat Ied. Mama Ade memegang tongkat estafet itu hingga akhir hayat beliau. 

Papa sering dianggap sebagai sesepuh atau yang dituakan dalam lingkungan sosial kemasyarakatan maupun dalam keluarga besar kami. Namun seumur hidupnya, papa tak pernah memegang tongkat estafet sebagai sesepuh yang paling tua dalam keluarga. Papa berpulang kehadirat Allah SWT lebih dahulu dari pada Mama Ade, sehingga Mama Ade adalah sang pemegang tongkat estafet terakhir dari sebelas bersaudara itu. Tetapi contoh dan teladan dari papa sebagai si bungsu, menjadi pelajaran sangat berharga, bagaimana kita seharusnya memuliakan dan bersikap terhadap saudara yang lebih tua. 

Akankah kebiasaan indah dalam keluarga besar akan terus berlangsung pada generasi selanjutnya ??.. Sepenting apakah keluarga menempati hati generasi kita dan anak cucu saat ini dan masa yang akan datang ??... 

Kesibukan dunia ini takkan pernah berkesudahan, hingga waktunya dipanggil pulang oleh Sang Pemilik Hidup. Antrian itu pasti dan dipergilirkan waktunya diantara kita. Antrian itu sangat acak, sehingga tak satupun dari kita yang mengetahui kapan gilirannya tiba. Namun yang pasti, masa untuk menjaga tali silaturahim, memperlihatkan kasih sayang antar saudara tidaklah panjang. Saudara seperti bunga yang berbeda dari taman yang sama. Saudara adalah hubungan terbaik kita di masa lalu dan akan selalu bersama di masa depan, sampai tiba waktunya pulang...

 


 


No comments: