Sistem INA-CBGs menggunakan metode pembayaran prospektif, yaitu metode pembayaran yang besarannya sudah diketahui sebelum layanan kesehatan diberikan. Penentuan tarifnya berdasarkan pengelompokan diagnosis dan prosedur yang mengacu pada ciri klinis yang mirip atau sama. Total pembayaran tidak merinci tarif per item dari biaya sarana dan jasa pelayanan yang diberikan, sehingga seharusnya dibutuhkan suatu proses lagi agar biaya pelayanan dapat dibagi sesuai layanan yang telah diberikan, baik berupa sarana maupun jasa.
Pembagian jasa pelayanan adalah pembagian prosentase pada operator utama dan operator lainnya sebagai penunjang, baik medis maupun non medis. Pekerjaan ini tidak bisa dianggap remeh, karena menyangkut perasaan-perasaan negatif yang bisa menimbulkan konflik internal, menurunnya motivasi kerja serta kecemburuan sosial. Manajemen rumah sakit memiliki kewenangan penuh untuk mengatur prosentase pembagian jasa. Tugas manajemen rumah sakit adalah mengkonversikan jasa pelayanan dalam sistem INA-CBGs yang menggunakan perhitungan per paket pelayanan, ke sistem yang menggunakan perhitungan unit cost agar jasa pelayanan bisa dibagikan.
Pada dasarnya perubahan sistem dari perhitungan tarif pelayanan kesehatan berdasarkan unit cost, ke perhitungan tarif berdasarkan INA-CBGs yang menggunakan perhitungan per paket pelayanan, dimaksudkan untuk mengubah budaya, mindset dan perilaku semua SDM yang ada di rumah sakit. SDM rumah sakit diharapkan untuk bisa bekerja dengan lebih efektif dan efisien, baik dalam hal penggunaan waktu pelayanan, penggunaan sarana dan prasarana rumah sakit, serta memperhatikan kerjasama antar mitra kerja dalam proses-proses pelayanan kesehatan.
Pada sistem perhitungan tarif yang menggunakan perhitungan unit cost, semua komponen sarana, prasarana dan jasa pelayanan dihitung per item berdasarkan realitas harga di mana rumah sakit itu berada (regional), sehingga tarif yang ditetapkan dapat menutupi biaya pelayanan rumah sakit. Berbeda dengan sistem perhitungan tarif berdasarkan INA-CBGs. Meskipun seperti diakui, bahwa sistem ini juga mempertimbangkan faktor regional, namun pada kenyataannya sangat banyak keluhan pada besaran perhitungan jasa setelah biaya sarana di pisahkan. Beberapa penelitian bahkan membuktikan bahwa tarif pada pelayanan non tindakan/bedah seringkali lebih tinggi daripada tarif pelayanan dengan tindakan/bedah.
Beberapa pakar perumahsakitan mencoba menerapkan berbagai metode pembagian jasa, namun pada dasarnya setiap rumah sakit memiliki metode pembagian jasa pelayanan berbeda yang disesuaikan dengan kebijakan internal manajemen, perbandingan jumlah profesi maupun faktor-faktor internal lain yang perlu dipertimbangkan. Manajemen rumah sakit dituntut untuk mampu melihat masalah pembagian jasa ini secara utuh.
Peningkatan mutu rumah sakit dengan meningkatkan mutu pelayanan kepada pasien, alangkah baiknya diikuti dengan meningkatnya empati kepada mitra-mitra kerja di sekitar kita. Tidak ada pelayanan kesehatan yang bermutu tanpa gotong royong dari semua SDM yang ada di rumah sakit. Bekerja sama dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip kemitraan dalam pelayanan kesehatan adalah budaya yang terus disosialisasikan hingga kini. Dalam budaya rumah sakit, rekan kerja adalah customer internal, yang juga berhak memperoleh kepuasan dan kenyamanan dalam bekerja. Dokter sebagai operator penanggungjawab dalam sebuah proses pelayanan diberikan kewenangan untuk menandatangani, tapi bukan berarti petugas lainnya tidak penting. Di mana saja, dalam suatu proses yang melibatkan banyak profesi, sangat penting untuk memahami arti dari kata "mitra kerja". Meskipun mungkin salah satu memiliki peran yang dominan, bukan berarti peran profesi lain harus diabaikan.
Beberapa unit kerja di rumah sakit bisa saja memperoleh pemasukan yang besar, sebaliknya ada juga unit-unit tertentu yang hanya mampu menyumbangkan pemasukan yang sedikit. Hal ini terkait dengan jumlah pasien dan kasus penyakit, tentu saja ini bukan salah profesi. Namun rumah sakit sebagai institusi yang mempekerjakan, wajib memberikan rasa adil dan penghargaan jasa atas keberadaan mereka di dalam rumah sakit. Tentunya dengan mempertimbangkan berbagai faktor, pendidikan, profesi, hingga kebutuhan rumah sakit, Pemerintah dan masyarakat terhadap suatu profesi.
Pada titik ini kita bisa melihat bahwa rumah sakit sebagai lembaga bisnis, sangat berbeda dengan lembaga bisnis lainnya. Rumah sakit tidak bisa mengabaikan jenis pelayanan hanya karena tidak memberikan keuntungan bisnis bagi rumah sakit. Kebutuhan dan tuntutan jenis pelayanan rumah sakit, justru menempatkan rumah sakit sebagai lembaga sosial, dimana yang lebih penting adalah menyediakan sebanyak mungkin jenis pelayanan kesehatan. Namun setiap ketersediaan jenis pelayanan di rumah sakit harus diikuti dengan ketersediaan profesi, peralatan medis dan non medis, serta obat dan Bahan Habis Pakai (BHP). Rumah sakit bertanggungjawab menyediakan semua itu, meskipun mungkin pola tarif dari pemberi jaminan pelayanan kesehatan, tak sebanding dengan nilai modal yang dikeluarkan.
Pada titik ini kita bisa melihat bahwa rumah sakit sebagai lembaga bisnis, sangat berbeda dengan lembaga bisnis lainnya. Rumah sakit tidak bisa mengabaikan jenis pelayanan hanya karena tidak memberikan keuntungan bisnis bagi rumah sakit. Kebutuhan dan tuntutan jenis pelayanan rumah sakit, justru menempatkan rumah sakit sebagai lembaga sosial, dimana yang lebih penting adalah menyediakan sebanyak mungkin jenis pelayanan kesehatan. Namun setiap ketersediaan jenis pelayanan di rumah sakit harus diikuti dengan ketersediaan profesi, peralatan medis dan non medis, serta obat dan Bahan Habis Pakai (BHP). Rumah sakit bertanggungjawab menyediakan semua itu, meskipun mungkin pola tarif dari pemberi jaminan pelayanan kesehatan, tak sebanding dengan nilai modal yang dikeluarkan.
Makin besar tipe suatu rumah sakit, maka makin banyak pula jenis-jenis pelayanan kesehatan yang harus disediakan oleh manajemen rumah sakit. Bagi rumah sakit umum, makin banyak jenis pelayanan yang tersedia, tentu saja makin baik. Pasien bisa memperoleh pelayanan sesuai jenis penyakitnya sehingga bisa menghemat banyak biaya, dibanding harus di rujuk ke rumah sakit lain yang lebih jauh. Namun harus diingat bahwa tiap jenis pelayanan tidak mungkin memberikan kontribusi yang sama kepada rumah sakit.
Rumah sakit terdiri dari banyak profesi. Setiap profesi memiliki keahliannya masing-masing. Profesi-profesi ini akan saling bekerjasama dalam suatu proses pelayanan, dan mereka disebut sebagai "mitra kerja". Beberapa profesi tertentu bisa jadi merupakan penyumbang besar dalam suatu proses pelayanan kesehatan. Tapi tanpa keterlibatan profesi lain, mustahil proses itu dapat berjalan sesuai standar pelayanan kesehatan. Oleh karena itu dalam pembagian jasapun haruslah mempertimbangan mitra kerja lainnya. Profesi lain mungkin memiliki keahlian yang terlihat tidak begitu penting, tapi suatu saat akan terasa sangat penting manakala kita harus bekerja sendiri. Di rumah sakit, sebagian profesi dapat terlihat besar dan sebagian lagi nampak kecil. Tetapi dari kacamata manajemen, semua orang harus bisa bekerja sama untuk mencapai tujuan.
Manajemen rumah sakit diharapkan mampu memberi perasaan nyaman kepada semua SDM, meskipun mungkin ada profesi yang tidak setenar profesi lainnya, tapi paling tidak kebijakan dalam hal menghargai suatu profesi dapat dirasakan, disamping kebutuhan rumah sakit untuk melengkapi jenis pelayanan kepada customer. Dibutuhkan keseragaman pola pikir antar SDM rumah sakit, bahwa yang sebaiknya menjadi fokus utama adalah keberlangsungan rumah sakit. Manajemen rumah sakit seharusnya dapat memastikan apakah perhitungan bisnis rumah sakit mengalami surplus atau justru mengalami defisit. Dengan perhitungan sistem paket yg diterapkan pada tarif INA-CBGs, diharapkan SDM rumah sakit bisa melakukan penghematan dalam pemberian tindakan medis, penggunaan obat dan BHP.
Penggunaan obat dan BHP yang tidak terkontrol justru menjadi salah satu sebab terjadinya defisit rumah sakit, karena pembayaran prospektif sudah menghitung secara paket bukan dihitung per unit cost. Tindakan pelayanan yang berlebihan, penggunaan obat dan BHP yang berlebihan, justru akan merugikan rumah sakit, termasuk para pemberi layanan kesehatan. Itulah sangat penting untuk mengetahui berapa selisih antara tarif berdasarkan perhitungan unit cost dan berdasarkan perhitungan tarif INA-CBGs.
Jasa pelayanan hanyalah merupakan bagian dari sistem remunerasi. Sedangkan remunerasi itu sendiri sesuai definisinya adalah bentuk dari pemberian hadiah atau penghargaan atas jasa dsb. Dengan memberikan penghargaan atas kinerja, diharapkan etos kerja SDM dan mutu pelayanan rumah sakit, makin baik.
Jasa pelayanan nilainya bersifat tidak tetap, tergantung kinerja SDM setelah dikonversi menggunakan sistem fee for services. Pada jaminan tarif BPJS besaran biaya telah dihitung per paket, jadi tidak mungkin menambah item kegiatan tertentu berdasarkan pertimbangan terapi, resiko pekerjaan, bahkan pertimbangan kepentingan pasien sekalipun, seperti misalnya menambah waktu perawatan atau menambah jenis pelayanan.
Besaran tarif INA-CBGs yang digunakan oleh BPJS telah ditentukan berdasarkan pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur. Metode ini disebut metode pembayaran prospektif, dimana besaran nilai pembayaran telah diketahui sebelum pelayanan kesehatan diberikan. Tugas manajemen rumah sakit yang akan menerjemahkan sistem INA-CBGs yang digunakan pada tarif BPJS, dengan cara memecah sistem gelondongan itu menjadi potongan-potongan kecil, agar bisa sesuai dengan tarif rumah sakit yang menggunakan sistem unit cost, sehingga bisa dibagi secara adil pada porsinya masing-masing.
Jika pembayaran berdasarkan tarif BPJS, rumah sakit mengalami kerugian setiap bulannya, maka perlu untuk mempertimbangkan menaikkan prosentase jasa sarana daripada jasa pelayanan rumah sakit, agar kelangsungan bisnis rumah sakit tetap terjaga. Makin rugi rumah sakit, maka seharusnya prosentase jasa pelayanan makin kecil dan jasa sarana lebih besar. Hal ini harus dipahami oleh semua SDM rumah sakit, karena bila rumah sakit mengalami defisit yang terus menerus, maka akan sangat mengganggu kenyamanan bekerja dan menurunnya mutu pelayanan. SDM rumah sakit tidak mungkin bisa bekerja dengan baik dalam suasana serba kekurangan, obat-obatan habis, BHP sering kosong, peralatan medis belum dikalibrasi, sarana prasarana rusak dan sebagainya. Namun di sisi lain, kondisi ini tentu saja akan mempengaruhi kepuasan customer internal dan kualitas pelayanan rumah sakit secara umum.
Jasa pelayanan hanyalah merupakan bagian dari sistem remunerasi. Sedangkan remunerasi itu sendiri sesuai definisinya adalah bentuk dari pemberian hadiah atau penghargaan atas jasa dsb. Dengan memberikan penghargaan atas kinerja, diharapkan etos kerja SDM dan mutu pelayanan rumah sakit, makin baik.
Jasa pelayanan nilainya bersifat tidak tetap, tergantung kinerja SDM setelah dikonversi menggunakan sistem fee for services. Pada jaminan tarif BPJS besaran biaya telah dihitung per paket, jadi tidak mungkin menambah item kegiatan tertentu berdasarkan pertimbangan terapi, resiko pekerjaan, bahkan pertimbangan kepentingan pasien sekalipun, seperti misalnya menambah waktu perawatan atau menambah jenis pelayanan.
Besaran tarif INA-CBGs yang digunakan oleh BPJS telah ditentukan berdasarkan pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur. Metode ini disebut metode pembayaran prospektif, dimana besaran nilai pembayaran telah diketahui sebelum pelayanan kesehatan diberikan. Tugas manajemen rumah sakit yang akan menerjemahkan sistem INA-CBGs yang digunakan pada tarif BPJS, dengan cara memecah sistem gelondongan itu menjadi potongan-potongan kecil, agar bisa sesuai dengan tarif rumah sakit yang menggunakan sistem unit cost, sehingga bisa dibagi secara adil pada porsinya masing-masing.
Jika pembayaran berdasarkan tarif BPJS, rumah sakit mengalami kerugian setiap bulannya, maka perlu untuk mempertimbangkan menaikkan prosentase jasa sarana daripada jasa pelayanan rumah sakit, agar kelangsungan bisnis rumah sakit tetap terjaga. Makin rugi rumah sakit, maka seharusnya prosentase jasa pelayanan makin kecil dan jasa sarana lebih besar. Hal ini harus dipahami oleh semua SDM rumah sakit, karena bila rumah sakit mengalami defisit yang terus menerus, maka akan sangat mengganggu kenyamanan bekerja dan menurunnya mutu pelayanan. SDM rumah sakit tidak mungkin bisa bekerja dengan baik dalam suasana serba kekurangan, obat-obatan habis, BHP sering kosong, peralatan medis belum dikalibrasi, sarana prasarana rusak dan sebagainya. Namun di sisi lain, kondisi ini tentu saja akan mempengaruhi kepuasan customer internal dan kualitas pelayanan rumah sakit secara umum.
Kebijakan untuk lebih mengutamakan jasa sarana terutama untuk menutupi operasional kebutuhan obat dan BHP rumah sakit akan menyebabkan prosentase jasa pelayanan dikorbankan demi jasa sarana, demi institusi rumah sakit. Situasi defisit rumah sakit ini sangat terkait erat dengan model penetapan tarif dari pemberi jaminan (BPJS), serta ketepatan jadwal waktu pembayaran dari BPJS, yang mungkin seharusnya sangat perlu untuk dikaji kembali. Prinsip kendali mutu dan kendali biaya seyogyanya benar-benar diterapkan, baik oleh rumah sakit maupun institusi yang terkait, dalam hal ini BPJS.
Sebaliknya bila terjadi surplus, pimpinan rumah sakit bisa melakukan berbagai kebijakan seperti misalnya membagikan keuntungan sebagai tambahan bonus bagi SDMnya, atau bonus tambahan khusus untuk mereka yang memperoleh bagian jasa pelayanan sedikit atau tidak sama sekali, serta berbagai kebijakan lainnya seperti penambahan biaya operasional rumah sakit. Kebijakan pimpinan ini sama sekali tidak akan mempengaruhi besar kecilnya jasa pelayanan atau merugikan siapapun, sebab jasa pelayanan yang merupakan hak dari pemberi jasa pelayanan, sudah dihitung sebelumnya, sesuai perhitungan tarif berdasar unit cost dan sudah terbagi habis.
Melakukan perhitungan apakah rumah sakit mengalami surplus atau defisit adalah kewajiban, agar keberlangsungan rumah sakit tetap berjalan. Besaran tarif INA-CBGs bisa saja lebih besar dari tarif rumah sakit, namun hal itu bukan jaminan bahwa rumah sakit telah mengalami surplus. Tarif rumah sakit yang dihitung berdasarkan unit cost seharusnya diperbaharui secara berkala, sebab mengkonversi hitungan tarif yang menggunakan perhitungan unit cost yang telah kadaluarsa, hanya akan menghasilkan perhitungan yang tidak sesuai dengan nilai dan harga saat ini. Demikian pula, mengintervensi suatu sistem tanpa latar belakang pengetahuan yang cukup, akan menimbulkan banyak kebingungan bagi rumah sakit, karena perhitungan jasa sarana dan jasa pelayanan rumah sakit adalah bidang yang membutuhkan keakuratan dan disiplin keilmuan tertentu.
Pada dasarnya pembagian jasa pelayanan merupakan domain dari manajemen rumah sakit. Ada banyak faktor yang membutuhkan kebijakan pimpinan yang harus dipahami oleh kalangan fungsional di rumah sakit. Beban manajemen rumah sakit makin berat manakala harus menerapkan suatu sistem tanpa persiapan sumber daya dan metode penerapan yang jelas dan rinci. Pada tahap ini, manajemen rumah sakit yang diberikan kewenangan untuk mengatur berbagai sistem di rumah sakit, membutuhkan kepercayaan dari semua SDM. Rumah sakit merupakan suatu organisasi besar yang memiliki berbagai sistem di dalamnya. Rumah sakit mempekerjakan banyak orang yang terdiri dari berbagai macam profesi. Masing-masing individu cenderung akan mengelompok dan membentuk budaya dan mindset tersendiri tentang kelompoknya dan pandangannya terhadap kelompok lain. Oleh karena itu dibutuhkan kelompok manajerial yang berfungsi mengatur, tanpa keberpihakan.
Melakukan perhitungan apakah rumah sakit mengalami surplus atau defisit adalah kewajiban, agar keberlangsungan rumah sakit tetap berjalan. Besaran tarif INA-CBGs bisa saja lebih besar dari tarif rumah sakit, namun hal itu bukan jaminan bahwa rumah sakit telah mengalami surplus. Tarif rumah sakit yang dihitung berdasarkan unit cost seharusnya diperbaharui secara berkala, sebab mengkonversi hitungan tarif yang menggunakan perhitungan unit cost yang telah kadaluarsa, hanya akan menghasilkan perhitungan yang tidak sesuai dengan nilai dan harga saat ini. Demikian pula, mengintervensi suatu sistem tanpa latar belakang pengetahuan yang cukup, akan menimbulkan banyak kebingungan bagi rumah sakit, karena perhitungan jasa sarana dan jasa pelayanan rumah sakit adalah bidang yang membutuhkan keakuratan dan disiplin keilmuan tertentu.
Pada dasarnya pembagian jasa pelayanan merupakan domain dari manajemen rumah sakit. Ada banyak faktor yang membutuhkan kebijakan pimpinan yang harus dipahami oleh kalangan fungsional di rumah sakit. Beban manajemen rumah sakit makin berat manakala harus menerapkan suatu sistem tanpa persiapan sumber daya dan metode penerapan yang jelas dan rinci. Pada tahap ini, manajemen rumah sakit yang diberikan kewenangan untuk mengatur berbagai sistem di rumah sakit, membutuhkan kepercayaan dari semua SDM. Rumah sakit merupakan suatu organisasi besar yang memiliki berbagai sistem di dalamnya. Rumah sakit mempekerjakan banyak orang yang terdiri dari berbagai macam profesi. Masing-masing individu cenderung akan mengelompok dan membentuk budaya dan mindset tersendiri tentang kelompoknya dan pandangannya terhadap kelompok lain. Oleh karena itu dibutuhkan kelompok manajerial yang berfungsi mengatur, tanpa keberpihakan.