Salah satu karakteristik rumah sakit adalah adanya mekanisme pembayaran jasa pelayanan dalam sistem remunerasinya. Akan tetapi pembagian jasa pelayanan ini seringkali menjadi sumber konflik di rumah sakit. Beberapa metode pembagian jasa pelayanan telah diterapkan dari tahun ke tahun untuk meminimalisir hal ini. Namun munculnya kebijakan baru dapat mempengaruhi metode pembagian jasa yang sudah ada, sehingga dibutuhkan metode baru lagi yang mampu meminimalisir rasa keadilan semua pihak.
Jasa pelayanan merupakan bagian dari sistem remunerasi rumah sakit. Remunerasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai pemberian hadiah (penghargaan atas jasa dan sebagainya) atau imbalan. Dalam PerMenDagri No. 61 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Badan Layanan Umum Daerah, dikatakan bahwa remunerasi merupakan imbalan kerja yang dapat berupa gaji, tunjangan tetap, honorarium, insentif, bonus atas prestasi, pesangon, dan atau pensiun. Sedangkan dalam KepMenKes No. 625 tahun 2010, dikatakan bahwa ketentuan dalam sistem remunerasi harus diatur sedemikian rupa secara jelas dan terkendali implementasinya, sehingga melalui sistem remunerasi tersebut pegawai akan mendapatkan rasa aman, berharga dan merasa diperlakukan adil serta memiliki daya dorong, motivasi dalam mendukung sasaran usaha serta pengembangan BLU rumah sakit.
Sistem remunerasi meliputi 3 komponen utama :
- Pembiayaan untuk Pekerjaan/Jabatan (Pay for Position), jenis remunerasi ini terkait dengan pekerjaan berupa gaji pokok dan tunjangan pekerjaan. Besarannya bersifat tetap dan rutin setiap bulan. Tujuan dari komponen ini adalah memberikan penghargaan atas komitmen dalam melaksanakan tuntutan pekerjaan.
- Pembiayaan untuk Kinerja (Pay for Performance), komponen ini berhubungan dengan pencapaian total target kinerja rumah sakit, dapat berupa insentif atau bonus pendapatan langsung dan rutin secara periodik. Besarannya tergantung pencapaian total target kinerja.
- Pembiayaan untuk Perorangan/Individu (Pay for people), komponen ini terkait kondisi individu yang dianggap perlu mendapat penghargaan melalui remunerasi sesuai kemampuan.
Dari ketiga komponen remunerasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa jasa pelayanan, terdapat pada komponen Pembiayaan untuk Kinerja (Pay for Performance). Jasa pelayanan bersama jasa sarana merupakan bagian dari tarif rumah sakit. Hal ini ditegaskan dalam UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yang mengatakan bahwa rumah sakit berhak menerima imbalan jasa pelayanan, serta menentukan remunerasi, insentif dan penghargaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Melalui regulasi di atas, legalitas mengenai jasa pelayanan bagi pegawai rumah sakit, diterapkan. Berbeda dengan jasa sarana yang menjadi penerimaan rumah sakit, jasa pelayanan akan dibagikan kepada pegawai yang berhak menerimanya. Tarif rumah sakit untuk kegiatan pelayanan diperhitungkan berdasarkan komponen jasa sarana dan jasa pelayanan pada rawat jalan, rawat inap dan rawat darurat.
Komponen jasa sarana merupakan imbalan yang diterima oleh rumah sakit atas pemakaian akomodasi, bahan non medis, obat-obatan, bahan habis pakai (BHP), yang digunakan langsung dalam rangka pelayanan medis dan pelayanan penunjang medis. Sedangkan komponen jasa pelayanan merupakan imbalan yang diterima oleh pemberi pelayanan, atas jasa yang diberikan kepada pasien dalam rangka pelayanan medis, pelayanan penunjang medis dan atau pelayanan lainnya.
Dalam PerMenKes No. 85 tahun 2015 tentang Pola Tarif Nasional Rumah Sakit, penetapan tarif rumah sakit ditetapkan berdasarkan komponen biaya satuan (unit cost) dengan memperhatikan kondisi regional. Tarif rumah sakit berdasarkan unit cost diharapkan tidak merugikan rumah sakit setelah dihitung secara rinci semua penggunaan biaya sarana dan pelayanan. Dengan menggunakan unit cost, otomatis pembagian jasa pelayanan berprinsip pada sistem fee for services.
Sistem fee for services merupakan cara yang biasa digunakan untuk pembagian jasa pelayanan di rumah sakit. Cara ini menguntungkan pemberi pelayanan langsung, karena kemungkinan untuk memperoleh jasa pelayanan yang tidak terbatas sangat dimungkinkan. Demikian pula potensi seorang oknum pemberi pelayanan untuk melakukan moral hazard. Oknum pemberi pelayanan, dapat memberikan pelayanan tambahan yang sebenarnya tidak diperlukan untuk meningkatkan penerimaan jasa pelayanannya. Pada metode ini, jasa pelayanan berfokus pada petugas yang memberikan pelayanan langsung kepada pasien, tidak ada insentif untuk petugas bagian preventif care. Sistem fee for service menggunakan metode retrospektif, yaitu metode pembayaran yang dilakukan setelah layanan kesehatan diberikan yang dihitung berdasarkan setiap kegiatan yang dilakukan.
Kelemahan pada metode ini memacu Pemerintah untuk menerapkan sistem baru melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yaitu sistem tarif INA-CBGs. Berbeda dengan penetapan tarif unit cost yang berdasarkan biaya satuan, sistem INA-CBGs ini menetapkan tarif berdasarkan paket pelayanan kesehatan, yang mencakup seluruh komponen biaya rumah sakit, mulai dari pelayanan non medis hingga tindakan medis berdasarkan penyakit pasien. Sistem ini mendorong rumah sakit dan pemberi pelayanan untuk memberikan pelayanan yang lebih efisien.
Masalah muncul ketika sistem tarif INA-CBGs diterapkan pada sistem pembagian jasa pelayanan di rumah sakit. Berdasarkan sistem paket, maka jasa pelayananpun dihitung secara paket bersama-sama jasa sarana dalam suatu proses pelayanan. Beberapa rumah sakit berusaha melakukan pembagian jasa pelayanan berdasarkan berbagai metode serta pertimbangan rasa keadilan, melalui kebijakan pimpinan rumah sakit. Rumah sakit lain bahkan melemparkan issue sistem pembagian jasa pada kelompok fungsional untuk didiskusikan, dengan alasan mencari sistem yang tepat untuk diterapkan. Cara terakhir ini seringkali memicu konflik ketidakpuasan dan diskusi yang tidak pernah selesai. Setiap profesi tentu saja akan melihat keadilan dari sudut pandangnya masing-masing. Sementara pimpinan otomatis akan dihadapkan pada pilihan berbagai tuntutan yang sulit.
Sebetulnya, dengan berkembangannya Sistem Jaminan Kesehatan Nasional saat ini, sistem pembagian jasa pelayanan juga terus berkembang di berbagai rumah sakit di tanah air. Hingga saat ini, ada beberapa metode yang sudah diterapkan, dengan tetap berpatokan pada tarif rumah sakit berdasarkan perhitungan unit cost yang sesuai kondisi regional di mana rumah sakit itu berada.
Metode Fee for Services merupakan sistem pembagian jasa yang sudah biasa digunakan untuk pembagian jasa di rumah sakit. Metode ini bisa tetap digunakan apabila hasil keseluruhan penerimaan rumah sakit menghasilkan surplus (keuntungan), jika dihitung selisih antara pendapatan yang seharusnya diterima rumah sakit ketika menggunakan tarif rumah sakit, dengan klaim pembayaran yang diterima dari BPJS. Dengan metode ini rumah sakit dapat melakukan pembagian jasa berdasarkan tarif rumah sakit. Rumah sakit juga dapat melakukan subsidi silang, antara jasa pelayanan yang mengalami surplus dan jasa pelayanan yang mengalami defisit.
Metode Konversi adalah metode yang berkembang setelah muncul sistem perhitungan per paket pelayanan. Metode ini sering digunakan karena rumah sakit kesulitan menggunakan metode fee for service secara langsung akibat pendapatan rumah sakit yang bervariasi setiap bulannya, kadang mengalami surplus, kadang terjadi defisit. Metode konversi dilakukan dengan cara mengkonversi komponen tarif berdasarkan proporsi yang sudah ditetapkan dalam tarif rumah sakit, terhadap jumlah pembayaran klaim BPJS. Konversi positif akan terjadi jika pembayaran klaim BPJS lebih besar dari total tarif rumah sakit untuk pelayanan yang diberikan. Sebaliknya konversi negatif terjadi jika pembayaran klaim BPJS lebih kecil daripada total tarif rumah sakit. Kelebihan sistem ini, bila rumah sakit mengalami keuntungan akan dinikmati secara bersama, bila rugipun ditanggung bersama.
Metode Flat digunakan pada rumah sakit yang pembayaran BPJS nya selalu lebih rendah daripada potensi pendapatan bila menggunakan tarif rumah sakit. Pada metode ini, rumah sakit menetapkan prosentase tetap pada tiga komponen tarif yang utama, yaitu biaya obat dan BHP, jasa sarana dan jasa pelayanan. Biaya obat dan BHP merupakan komponen penting dan harus diprioritaskan. Obat dan BHP adalah biaya yang sudah terukur, namun rumah sakit sering kewalahan membayar hutang ke distributor akibat kelalaian memprioritaskan komponen ini. Pada sistem flat, jasa pelayanan menjadi prioritas yang terakhir, dimana penetapannya antara 30 - 50 % total pendapatan. Pada tahap ini dibutuhkan keikhlasan dari jasa pelayanan, untuk lebih memprioritaskan komponen obat dan BHP serta komponen jasa sarana, untuk keberlangsungan rumah sakit.
Berbagai metode terus berkembang hingga saat ini. Metode terbaru adalah gabungan antara fee for service dan konversi atau metode konversi dan proporsi, semua itu merupakan upaya-upaya dalam rangka mencari solusi terhadap pembagian jasa pelayanan. Rumah sakit senantiasa mencari metode yang paling mendekati rasa keadilan semua pihak, dengan tidak mengorbankan anggaran operasional rumah sakit, terutama pada obat dan BHP. Pekerjaan ini tidak mudah, karena pada sistem INA-CBGs yang menggunakan perhitungan per paket pelayanan, tidak membagi per item seperti halnya pada sistem yang menggunakan perhitungan unit cost.
Keterbatasan sumber daya dapat menyebabkan beberapa sistem di rumah sakit butuh bantuan. Bekerjasama dengan lembaga konsultan rumah sakit atau mengikuti pelatihan merupakan salah satu cara yang bisa membantu rumah sakit dalam menerapkan sistem pembagian jasa pelayanan. Bagaimanapun, rumah sakit harus memperhatikan kepuasan customer internal yang merupakan salah satu elemen penting dalam penilaian standar akreditasi.
Metode Fee for Services merupakan sistem pembagian jasa yang sudah biasa digunakan untuk pembagian jasa di rumah sakit. Metode ini bisa tetap digunakan apabila hasil keseluruhan penerimaan rumah sakit menghasilkan surplus (keuntungan), jika dihitung selisih antara pendapatan yang seharusnya diterima rumah sakit ketika menggunakan tarif rumah sakit, dengan klaim pembayaran yang diterima dari BPJS. Dengan metode ini rumah sakit dapat melakukan pembagian jasa berdasarkan tarif rumah sakit. Rumah sakit juga dapat melakukan subsidi silang, antara jasa pelayanan yang mengalami surplus dan jasa pelayanan yang mengalami defisit.
Metode Konversi adalah metode yang berkembang setelah muncul sistem perhitungan per paket pelayanan. Metode ini sering digunakan karena rumah sakit kesulitan menggunakan metode fee for service secara langsung akibat pendapatan rumah sakit yang bervariasi setiap bulannya, kadang mengalami surplus, kadang terjadi defisit. Metode konversi dilakukan dengan cara mengkonversi komponen tarif berdasarkan proporsi yang sudah ditetapkan dalam tarif rumah sakit, terhadap jumlah pembayaran klaim BPJS. Konversi positif akan terjadi jika pembayaran klaim BPJS lebih besar dari total tarif rumah sakit untuk pelayanan yang diberikan. Sebaliknya konversi negatif terjadi jika pembayaran klaim BPJS lebih kecil daripada total tarif rumah sakit. Kelebihan sistem ini, bila rumah sakit mengalami keuntungan akan dinikmati secara bersama, bila rugipun ditanggung bersama.
Metode Flat digunakan pada rumah sakit yang pembayaran BPJS nya selalu lebih rendah daripada potensi pendapatan bila menggunakan tarif rumah sakit. Pada metode ini, rumah sakit menetapkan prosentase tetap pada tiga komponen tarif yang utama, yaitu biaya obat dan BHP, jasa sarana dan jasa pelayanan. Biaya obat dan BHP merupakan komponen penting dan harus diprioritaskan. Obat dan BHP adalah biaya yang sudah terukur, namun rumah sakit sering kewalahan membayar hutang ke distributor akibat kelalaian memprioritaskan komponen ini. Pada sistem flat, jasa pelayanan menjadi prioritas yang terakhir, dimana penetapannya antara 30 - 50 % total pendapatan. Pada tahap ini dibutuhkan keikhlasan dari jasa pelayanan, untuk lebih memprioritaskan komponen obat dan BHP serta komponen jasa sarana, untuk keberlangsungan rumah sakit.
Berbagai metode terus berkembang hingga saat ini. Metode terbaru adalah gabungan antara fee for service dan konversi atau metode konversi dan proporsi, semua itu merupakan upaya-upaya dalam rangka mencari solusi terhadap pembagian jasa pelayanan. Rumah sakit senantiasa mencari metode yang paling mendekati rasa keadilan semua pihak, dengan tidak mengorbankan anggaran operasional rumah sakit, terutama pada obat dan BHP. Pekerjaan ini tidak mudah, karena pada sistem INA-CBGs yang menggunakan perhitungan per paket pelayanan, tidak membagi per item seperti halnya pada sistem yang menggunakan perhitungan unit cost.
Keterbatasan sumber daya dapat menyebabkan beberapa sistem di rumah sakit butuh bantuan. Bekerjasama dengan lembaga konsultan rumah sakit atau mengikuti pelatihan merupakan salah satu cara yang bisa membantu rumah sakit dalam menerapkan sistem pembagian jasa pelayanan. Bagaimanapun, rumah sakit harus memperhatikan kepuasan customer internal yang merupakan salah satu elemen penting dalam penilaian standar akreditasi.