Memahami sistem organisasi rumah sakit merupakan langkah awal dalam menjalankan semua kegiatan pelayanan rumah sakit. Kegagalan dalam memahami sistem organisasi, berdampak pada penerapan seluruh sistem rumah sakit, mulai dari prosedur kerjanya hingga sistem pelaporan. Rumah sakit bisa saja memberikan pelayanan kepada masyarakat, namun berbagai ketimpangan dalam sistem akan terus mengganggu proses pelayanan rumah sakit. Ibarat membangun rumah tanpa tiang-tiang penyangga, dinding rumah senantiasa bergoyang dan mengancam keselamatan penghuni rumah.
Pada umumnya suatu organisasi memiliki stakeholder tertentu. Rumah sakit memiliki keistimewaan, dimana organisasinya memiliki stakeholder yang tidak terbatas, baik internal maupun eksternal. Stakeholder internal rumah sakit terdiri dari berbagai macam profesi, pengetahuan dan ketrampilan. Tingkat pendidikan yang ada di rumah sakit beragam, mulai dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Demikian pula stakeholder eksternal rumah sakit, tidak hanya terbatas pada orang sakit, namun semua elemen masyarakat dan Pemerintah adalah stakeholder eksternal rumah sakit. Dan kewajiban rumah sakit memberikan kepuasan pada semua stakeholdernya baik internal maupun eksternal.
Rumah sakit dikenal sebagai suatu organisasi yang paling unik. Rumah sakit mempekerjakan berbagai macam profesi dalam satu organisasi dengan jumlah yang banyak. Ada profesi dokter, perawat, apoteker, fisioterapis, analis, sanitarian, radiografer dan lain-lain. Masing-masing profesi itupun terbagi lagi dalam beberapa kelompok profesi yang lebih kecil. Jumlah kelompok profesi yang lebih kecil ini, ada yang hanya terdiri dari 1 hingga 5 orang di satu rumah sakit, namun ada juga yang hingga ratusan orang. Tetapi yang uniknya, mereka terhubung dengan organisasi profesinya yang memiliki anggota lebih banyak dengan budaya organisasinya sendiri, yang sedikit banyak mampu mempengaruhi sistem di rumah sakit.
Masing-masing profesi akan membentuk suatu budaya yang memiliki kesamaan dalam bekerja ataupun kesamaan pandangan dalam menanggapi masalah. Kelompok profesi terikat oleh etika profesionalismenya. Berbeda dengan organisasi birokratis yang bersifat hierarkis, hubungan struktur kelompok profesi bersifat setara. Melalui komunitas yang setara inilah para profesional mempertahankan kontrol atas bidang mereka. Dalam bidang tersebut mereka bekerjasama untuk meningkatkan kepentingan bersama, mempertahankan monopoli atas pengetahuan mereka, melindungi diri dari serangan pihak lain, serta mengawasi keahlian dan etika anggota-anggota kelompoknya. Anggota-anggota suatu profesi memiliki tingkat otonomi yang tinggi dalam praktek memberikan pelayanan.
Ketika berbagai macam profesi itu bergabung dalam kelompok unit kerja atau instalasi di rumah sakit, maka akan terjadi interaksi antar budaya. Perbedaan profesi, derajat pengetahuan dan tata nilai menjadi penghalang utama. Kegagalan beradaptasi satu orang dapat mengganggu unit kerja yang bersangkutan. Meskipun benar bahwa "budaya pribadi" yang dianut para anggota akan selalu dipertimbangkan, namun budaya organisasilah yang harus lebih dominan. Bila kelompok unit kerja itu memiliki suatu budaya yang kuat, maka proses adaptasi dapat berjalan dengan lancar dengan budaya unit kerja yang sesuai dengan karakteristik atau prosedur kerja kelompok itu.
Semakin tinggi tipe suatu rumah sakit, maka akan semakin kompleks sistem-sistem kecil yang ada di dalamnya, dengan budayanya masing-masing. Rumah sakit diharapkan dapat membangun budaya rumah sakit yang dipatuhi oleh semua unit kerja beserta anggota-aggotanya. Untuk membangun budaya organisasi rumah sakit, sosialisasi visi dan misi dari organisasi harus menjadi bagian keseharian dari semua petugas yang tergabung dalam unit-unit kerja. Visi dan misi merupakan landasan untuk memotivasi pemanfaatan Sumber Daya serta menjadi moral dan dasar perilaku dalam organisasi. Dan tugas utama pengelola rumah sakit adalah memanejerial sistem-sistem kecil ini, dengan membangun budaya organisasi rumah sakit yang kuat, agar dapat berkolaborasi membentuk satu sistem besar yang biasa dikenal sebagai Sistem Manajemen Rumah Sakit.
Berbeda dengan sistem organisasi lainnya, rumah sakit menjalankan dua sistem manajerial sekaligus, yaitu manajemen administrasi dan manajemen klinik. Manajemen administrasi telah banyak dipahami dikalangan manajer secara umum, namun untuk memahami manajemen klinik dibutuhkan profesi tertentu. Itulah sebabnya dalam Undang-undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah sakit, dikatakan dengan sangat jelas bahwa, "direktur rumah sakit harus seorang tenaga medis". Hal ini sangat berhubungan erat dengan bagaimana sistem manajemen rumah sakit dijalankan. Sebagai tenaga medis, diharapkan pimpinan rumah sakit mampu menjalankan kedua sistem manajemen ini secara lebih efektif dan efisien.
Dalam sistem organisasi rumah sakit, manajemen klinik sama pentingnya dengan manajemen administrasi, dan keduanya harus dijalankan secara bersama-sama. Apabila manajemen obat, manajemen rekam medis atau bahkan manajemen klinik SDM atau manajemen klinik keuangan tidak mampu dikelola secara baik, maka rumah sakit tetap akan dinilai tidak menjalankan sistem organisasi sebagaimana mestinya. Dan hal ini akan langsung dapat dirasakan oleh kalangan internal rumah sakit ataupun masyarakat umum pengguna jasa rumah sakit.
Kebingungan sering kali terjadi di tingkat unit-unit kerja, ketika rumah sakit lebih fokus menjalankan sistem manajemen administrasi. Laporan yang bersifat birokrasi seperti halnya pada "manajemen keuangan" bisa saja menperoleh penilaian Wajar Tanpa Pegecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan karena pemeriksaan secara administratif telah dikelola dengan baik. Di sisi yang lain, pengelola rumah sakit dituntut juga untuk mampu mengelola manajemen keuangan yang bersifat manajemen klinik.
Rumah sakit memiliki sistem keuangan yang lebih kompleks daripada organisasi lainnya. Sistem keuangan rumah sakit bukan hanya mengelola anggaran operasional dan penggajian secara umum, tetapi juga mengelola sistem remunerasi. Komponen remunerasi lebih luas cakupannya, karena tidak saja mengatur penggajian bulanan berdasarkan job grade. Sistem remunerasi juga mengatur indikator penilaian berdasarkan kompetensi, resiko, emergensi, posisi dan kinerja. Kesemuanya itu sangat berhubungan dengan kegiatan pelayanan medis kedokteran yang dijalankan rumah sakit.
Bisa dibayangkan bagaimana kacaunya pengklasifikasian besaran jasa petugas, bila pengelola keuangan tidak memahami kompetensi dan resiko yang dijalani petugas pemberi jasa pelayanan. Hanya melalui diagnose dan terapi yang tertulis pada rekam medis, petugas dituntut untuk mampu menerjemahkan klasifikasi pekerjaan para pemberi jasa pelayanan. Inilah yang melahirkan perasaan adil serta kepuasan stakehorder internal, yang akan tercermin dalam kenyamanan bekerja dan kesetiaan pada organisasi.
Dalam hal manajemen SDM juga demikian. Manajemen SDM bukan hanya mengatur masalah kepegawaian seperti kepangkatan, tetapi juga mengelola SDM berdasarkan profesi, kewenangan klinik dan lain sebagainya. Dan ini tentunya sangat berhubungan erat dengan kompetensi SDM dalam memberikan kegiatan pelayanan di rumah sakit. Pengelola SDM dituntut untuk dapat menghitung dengan akurat, perencanaan tenaga yang disesuaikan dengan kompetensi, jumlah dan kebutuhan di setiap unit kerja. Pengelola SDM rumah sakit diharapkan mampu mengelola sistem manajemen klinik ini dan mampu mengintegrasikan sistem ini dengan sistem lainnya di rumah sakit. Ada begitu banyak ancaman hukum yang bisa menjerat pengelola rumah sakit atau pemberi jasa pelayanan di rumah sakit, apabila manajemen SDM tidak dikelola dengan baik.
Sistem manajemen obat yang tidak terkoordinir dengan baik, sangat mengganggu seluruh sistem pelayanan rumah sakit. Perencanaan persediaan obat melalui perhitungan yang detail, merupakan bagian dari sistem manajemen obat. Pelayanan rumah sakit yang beroperasi 24 jam non stop membutuhkan ketersediaan obat setiap saat. Ada 3 logistik yang perlu mendapat perhatian utama di rumah sakit yaitu, logistik farmasi, logistik non medis dan dapur. Logistik farmasi yang terdiri dari obat dan Bahan Habis Pakai (BHP) medis, merupakan salah satu pendukung utama proses pelayanan di rumah sakit. Namun keberadaan sistem manajemen obat, mulai dari kebijakan pengadaan hingga pendistribusian membutuhkan pengedalian yang tepat.
Akreditasi yang diwajibkan untuk rumah sakit telah mengatur berbagai standar yang wajib dipenuhi oleh rumah sakit. Standar-standar itu ditulis secara rinci dalam elemen-elemen penilaian yang ada dalam tiap bab dan dilaksanakan melalui kelompok-kelompok kerja (pokja). Namun seringkali, pokja-pokja hanya berkutat pada sistem-sistem kecil, sesuai elemen penilaian yang terdapat pada pokjanya masing-masing. Kewenangan pokja yang terbatas ini tidak mampu menembus sistem di luar kewenangannya tanpa bantuan kewenangan lain yang seharusnya mengelola sistem yang lebih luas.
Sebenarnya struktur rumah sakit telah memberi jalan keluar terhadap masalah ini, yaitu dengan adanya Komite dan Satuan Pengawas Internal (SPI) dalam struktur organisasi rumah sakit. Komite dan SPI merupakan unit kerja non struktural dan terdiri dari petugas-petugas fungsional, sehingga diharapkan mampu memahami sistem manajerial klinik di rumah sakit. Fungsi Komite dan SPI diharapkan dapat membantu Direktur untuk menjalankan sistem manajemen rumah sakit dengan menyatukan sistem-sistem kecil untuk membentuk sistem manajemen rumah sakit.
Komite memiliki kewenangan khusus pada satu sistem tertentu sesuai dengan bidangnya. Tugas komite mengintegrasikan antara sistem manajemen klinik dan manajemen administrasi pada unit-unit kerja. Komite Medis, Komite Keperawatan dan Komite Nakes Lain/Penunjang, membantu direktur dalam hal pengaturan SDM yang disesuaikan dengan profesi dan kompetensinya dalam melakukan tugas-tugas pelayanan serta semua permasalahan antar SDM kesehatan dengan menerapkan tata kelola klinik (clinical governance). Demikian pula Komite-komite lainnya, dibentuk atas dasar kebutuhan rumah sakit untuk mengelola suatu sistem, dalam rangka membantu Direktur dan jajaran strukturalnya dalam tugas-tugas manajerial rumah sakit.
Sedangkan tugas SPI adalah memastikan bahwa semua sistem yang ada berjalan sebagaimana mestinya. Petugas SPI harus mampu memahami dengan baik sistem manajemen mulai dari tingkat unit-unit kerja, hingga pada sistem jabatan struktural dibawah Direktur rumah sakit. Tugas SPI yang utama adalah membantu Direktur dalam perbaikan sistem pengawasan internal serta memberi masukan dalam hal tugas direktur sebagai governing board di rumah sakit.
Meskipun kegagalan memahami keunikan sistem manajemen rumah sakit, bukanlah satu-satunya penyebab rumah sakit masih sering mendapat banyak keluhan dari berbagai pihak, namun dengan memahami sistem kita sudah selangkah lebih maju. Dengan memahami sistem, jalan mencapai tujuan akan tampak lebih jelas. Namun demikian, memahami sistem tidak bisa menjamin penerapannya akan mudah. Ada banyak faktor yang turut berperan menentukan sistem bisa jalan atau tidak. Salah satu faktor penting penerapan sistem, adalah otonomi rumah sakit. Bagi rumah sakit, otonomi bisa diartikan seberapa luas Direktur rumah sakit diberikan kewenangan melakukan berbagai kebijakan manajemen.
Di beberapa negara konsep otonomi rumah sakit merupakan bagian dari reformasi pelayanan publik. Di Indonesia, isu-isu tentang konsep otonomi rumah sakit sudah dibicarakan sejak lebih dari dua dekade yang lalu. Bentuk BLU adalah salah satu upaya ke arah otonomi rumah sakit. Model perencanaan yang sebelumnya birokratis, mengalami perubahan menjadi perencanaan strategis yang biasa disebut Renstra rumah sakit. Semua itu merupakan upaya-upaya ke arah otonomi rumah sakit. Tetapi hingga saat ini, otonomi yang dimaksud hanyalah sebagian kecil dari berbagai aspek otonomi rumah sakit. Otonomi rumah sakit seringkali hanya sebatas penyebutan atau penggunaan istilah baru, sedangkan penerapannya masih tetap menggunakan cara lama. Penentuan tarif pelayanan rumah sakit dan rekrutmen SDM rumah sakit, adalah salah satu contoh bahwa otonomi rumah sakit belum benar-benar diterapkan.